Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Jejak masa lalu bisa kita temukan dalam arkeologi pengetahuan yang ditinggalkan oleh para founding fathers melalui bacaan, gambar, narasi, dan dokumen-dokumen lain yang bisa ditelusuri jejaknya. Dalam kaitannya dengan ini, ketika pidato 1 Juni 1945, Soekarno menguraikan panjang lebar soal dasar Negara yang hendak dibangun, dan ia menyebutkan nama terhadap lima butir konsep yang diuraikannya, dan bahwa lima butir yang ia maksud diberi nama Pancasila. Nama ini menurutnya adalah hasil bisikan dari seorang teman, yang hingga detik ini, teman yang dimaksud tidak diketahui.
Sejarah jelas mencatat, bahwa Soekarno meletakkan Pancasila sebagai lima dasar, lima pondasi. Dari pidato ini pula, rapat-rapat BPUPKI membahas berbagai konsep tentang Indonesia merdeka. Setelahnya dibentuk panitia kecil yang disebut dengan PPKI yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Panitia kecil inilah yang melahirkan Piagam Jakarta, yang meletakkan Islam sebagai dasar Negara. Meskipun sehari setelah proklamasi, yakni 18 Agustus, frase-frase tentang Islam dihapus, dengan alasan untuk menjaga kesatuan dan persatuan.
Secara Formal, sebenarnya Pancasila itu lahir pada 18 Agustus 1945. Namun secara politik, saat pidato pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 itu, ia menetas, menjadi ide, diperbincangkan, diperdebatkan, di diskusikan dan diarak dengan argumen-argumen. Memang isi Pidato Soekarno memukau, perpaduan bahasa Belanda, Jerman dan Inggris yang disisipkan dalam setiap kalimat dari konten pidato itu menjadi begitu bernas. Dan semuanya ia gali dari tradisi marxis, tradisi eropa dan tentu ia tak lupa, apa yang hidup dan menjadi habitus masyarakat Indonesia.
Minimal ada tiga “tuduhan” pada pancasila yang dialamatkan setelah menjadi dasar Negara.
Pertama, tuduhan yang mengatakan bahwa pancasila adalah ideologi Negara atau “weltanschauung”. Maksudnya Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, ada yang menyebutkan ideologi yang terbuka, bisa menerima heterogenitas dan menembus batas yang menjadi sekat antara primordialisme, sektarianisme serta radikalisme suku dan agama.
Kedua, Tuduhan bahwa Pancasila adalah dasar Negara. Dalam hal ini, pancasila menjadi lambang, menjadi dasar bagi pembentukan Negara Indonesia merdeka. Kekuatan sihir Pancasila sebagai dasar Negara ini setidak-tidaknya menjadi sumber tata laku dan perbuatan, ia menjadi pedoman bagi kehidupan segenap warga Negara.
Ketiga, Tuduhan bahwa Pancasila adalah Volkgeist, Jiwa bangsa. Argumen ini meletakkan bahwa Pancasila adalah merupakan energy bagi persatuan, kesatuan dan sifat gotong royong masyarakat Indonesia. Sebagai jiwa, Pancasila yang memberi dorongan. Sebagai jiwa, Pancasila yang menetapkan hati tiap orang untuk terus menjaga agar kita selalu bersama menggenggam jemari untuk maju tanpa saling meninggalkan. Pancasila itu energy yang sungguh menakjubkan.
Selamat hari Pancasila.
*) Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unhas