Oleh :Asratillah*
Saya pernah berdiskusi dengan salah satu aparat pemerintah di sebuah kota, yang bertanggung jawab dengan alat penyaring sampah yang dipasang dekat muara sungai dan kanal. Dia bercerita bahwa sampah yang terjaring pada alat tersebut, mulai dari sampah plastik berukuran kecil, hingga kursi plastik rusak bahkan kasur yang sudah tak digunakan lagi. Bayangkan smpah-sampah tersebut, belum lagi polutan cair yang mencemari air sungai, akan mengurangi kualitas sumber air PDAM, hingga merusak habitat hewan dan tumbuhan air yang hidup di situ. Belum lagi kualitas udara perkotaan kita yang semakin memburuk, suara-suara yang semakin bising, yang tidak hanya membuat kita rentan sakit secara biologis tapi juga psikologis.
Kota kita saat ini masih dibangun dengan “penglihatan yang rabun jauh”, sehingga kebijakan yang diambil seringkali menggunakan perspektif jangka pendek. Tersedianya ruang terbuka hijau seringkali tak begitu menjadi prioritas, bahkan kalah pesona dengan proyek-proyek yang memobilisasi semen dan besi beton dalam skala besar. Tidak sedikit proyek-proyek timbunan di daerah perkotaan, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang akut di daerah-daerah sekitar yang menjadi sumber tambang C. Hitung-hitungan keuntungan dari selisih pengangkutan sirtu per tonasenya masih jauh lebih menggiurkan ketimbang kengerian banjir bandang yang menyerang kota dan daerah sekitar saat musim penghujan tiba. Atau mungkin banjir sebagaimana kekeringan tidak lagi dianggap luar biasa ? tapi hanya dipandang sebagai rutinitas alam atau takdir ilahi ?, atau memang kita tidak punya kemampuan mencari hubungan antara kebijakan yang buruk (termasukn kesadaran lingkungan pada warga yang kurang) dengan banjir dan kekeringan ?
Saat ini kota lebih identik dengan kata “properti” ketimbang sebagai “ruang hidup bersama”. Bagaimana tidak, terkadang keberpihakan lebih besar kepada pengembang ruko-ruko yang berjejer di pinggir jalan, yang ramani diminati (dibeli atau disewa) tapi seringkali tidak digunakan untuk hal-hal yang produktif. Maka hal yang lumrah jika jumlah mall yang semakin bertambah, tetapi taman kota semakin berkurang, itupun jumlah pengunjungnya secara bertahap berkurang. Jaringan pasar swalayan semakin meluas, sementara pasar tradisional semakin tak terurus dan dibiarkan kumuh. Bangunan-bangunan tua yang bersejarah dirombak kemudian dijadikan sebagai bangunan modern yang bisa disewa sebagai kantor. Sebelum Covid-19 merebak, modal telah merebak bak virus dalam wilayah perkotaan, dan inilah yang membuat kota semakin rentan secara ekologis, ekonomi, kesehatan dan psiko-sosial.
Kota jika tidak dikelola secara bijak, maka tidak hanya menjadi pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi tetapi juga akan menjadi “pusat malapetaka” (urban ills) seperti yang dikatakan oleh Nirgono Joga dalam Kota, Habitat yang berkelanjutan (2015). Kota akan menjadi pusat kemacetan, pencemaran udara, kebisingan , ISPA, stress, wabah, banjir, krisis air besih, penurunan muka tanah, rob, abrasi, kampung kumuh, kriminalitas, sampah, pengangguran dll, jika kita tidak bisa mentransformasinya secara berkelanjutan.
Sekedar sebagai pengingat, ada enam karakter kota hijau cerdas versi European Smart Cities (2015), Pertama, Kota menjadi pusat berlangsungnya ekonomi ramah lingkungan, serta produktivitas dan semangat inovasi tinggi. Kedua, Mobilitas cerdas berupa kemajuan teknologi dan ketersediaan infrastruktur teknologi informasi serta sistem transportasi yang aman-inovatif. Ketiga, kota mesti menyelaraskan antara teknologi dengan keseimbangan ekologis. Meliputi efisiensi energi, pemanfaatan energi terbarukan dan pelestarian lingkungan. Keempat, kota mendorong partasipasi masyarakat dalam kepentingan publik, menjaga pluralitas serta memiliki layanan utilitas cerdas. Kelima, kota menyediakan kualitas hidup cerdas dan keenam pemerintah yang cerdas.
Namun keenam karakter di atas masih perlu dikontekstualisasikan dengan situasi kita di sini. Tapi yang terpenting adalah political will para pengambil kebijakan, walaupun kita tidak boleh menyerahkan semuanya pada mereka. Masyarakat memang sudah mesti mengorganisir dirinya dan memberdayakan dirinya dalam konteks komunitas. Karena jika kita melihat gelagat negara-negara di tengah pandemi Covid-19, saya melihat adanya ketidakbulatan tekad mereka dalam menjadikan pandemi ini sebagai momentum untuk meremajakan solidaritas kemanusiaan global kita, atau memang hal tersebut hanya dipandang absurd, dan yang dipandang konkret adalah penguasaan sumber-sumber dan persaingan ekonomi. Kalau solidaritas kemanusiaan saja dianggap absurd, apatah lagi solidaritas ekologis.
Soal political will bukan sesuatu yang sederhana, karena banyak politisi dan pejabat kita sebenarnya orang-orang yang siap berkarir tapi belum begitu siap menjadi negarawan. Menjadi negarawan berarti menuntut kerja ekstra dan kadang menuntut penderitaan terutama fisik, tapi siapa yang berdasi di sana dan duduk enak di kursi empuknya rela merasa derita padahal dirinya telah menjadi pejabat ?. Ini juga bahan instropeksi bagi kita semua, karena memilih mereka dengan imbalan yang sebenarnya merendahkan harga diri kita.
*) Penulis adalah Direktur Profetik Institute