Oleh : Rizal Pauzi*
Intervensi merupakan istilah yang tak disukai banyak penggiat literasi. Mereka menganggap bahwa istilah ini membuat literasi tak dinamis. Bahkan menganggap cenderung menjadi instrument untuk mendikte pengetahuan. Hal ini pun membuat Gerakan literasi di masyarakat cenderung bergerak dengan basis komunitas masing – masing. Bahkan diantara komunitas literasi, seperti saling berkompetisi bahkan sampai saling mengkritik. Tentu sebuah wajah peradaban yang tak kunjung cerah,
Kembali ke soal intervensi, Komunitas dan penggiat literasi mulai mengapresiasi keterlibatan pemerintah secara terbuka Ketika Presiden Joko Widodo menggratiskan pengiriman buku melalui PT Pos Indonesia pada tanggal 17 untuk tiap bulannya. Kebijakan ini mendapatkan respon positif dan antusias dengan meningkatnya distribusi buku ke berbagai daerah di Indonesia. Begitu pun dengan berbagai program lain yang dicanangkan lintas kementrian. Semuanya dirumuskan untuk mewujudkan prioritas pemerintah pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 yang menitikberatkan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Pemerintah pun mulai sadar, Kualitas sumber daya manusia yang berkarakter hanya dapat dicapai lewat penguatan budaya literasi, inovasi, dan kreatifitas. Kesadaran itu pun di realsiasikan sejak usia dini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, juga sudah menyelenggarakan Festival Literasi Sekolah (FLS) setiap tahunnya. Program ini sebagai upaya untuk meningkatkan budaya literasi, mulai dari membaca, menulis literasi terhadap IT, serta untuk memotivasi agar gerakan literasi di sekolah dapat berjalan dengan baik dan benar. Pemerintah pun, baik secara langsung maupun tidak langsung turut mensupport program literasi yang dikemas dengan sangat baik bahkan mendatangkan para penulis dari mancanegara, seperti Indonesia International Book Fair (IIBF), Makassar International Writer Festival (MIWF), Ubud Writer Festival (UWRF), Jakarta International Literary Festival (JILF) dan sejenisnya.
Rentetan kebijakan dan program yang dikemas ini tentu punya berbagai capaian. Namun harapan kita akan semakin meningkatnya literasi masyarakat ternyata belum seperti yang kita harapkan. Literasi yang dianggap mampu mendorong sumber daya manusia yang berkarakter justru seperti berada pada persimpangan jalan. Bagaimana tidak, ditengah geliat Gerakan literasi yang terus digalakkan justru belum mampu mengkolaborasikan semua elemen dalam satu visi Gerakan yang sama. Bahkan pemerintah cenderung bekerja sendiri, bahkan sedikit mengesampingkan Gerakan literasi yang bertumbuh di masyarakat dengan alamiah.
Pemerintah dengan kekuatan kelembagaan yang kuat pasca terbentuknya dinas perpustakaan hingga kabupaten/kota cenderung bergerak sendiri. bahkan, parahnya lagi literasi disulap menjadi lumbung proyek baru. Dengan desain seperti itu, oknum tersebut membangun model proyek baru dalam literasi seperti penulisan buku profil pejabat/politisi, pengadaan buku tanpa analisis kebutuhan, serta melakukan kampanye Gerakan membaca dengan memperbanyak kegiatan seremonial dan berbagai jenis lainnya. Memang, kebijakan yang “diproyeknisasi” hamper selalu bernasib sama. Menjadi santapan sedap para pencari proyek.
Literasi yang di Kelola oleh pemerintah juga hamper bernasib sama dengan toleransi, menjadi seperti tak lagi jadi istilah positif dengan pendekatan proyek. Hal ini sejalan dengan pendapat Iqbal Aji Daryanto yang ditulis di akun twitternya “ dalam pengamatan saya, ada dua kata yang sesungguhnya bermakna sangat baik, tapi lambat laun mengalami deficit kesan – makna gara – gara terlalu sering dibawa – bawa oleh “para pembawa” yang kurang mewakili apa yang mereka bawa. Yang pertama : toleransi, yang kedua : literasi. Pembawa disini lebih ditekankan pada para penggiatan toleransi dan literasi partisan, serta pekerja “proyek” di dua bidang ini.
Lantas bagaimana literasi di intervensi pemerintah?
Sejatinya, kebijakan literasi yang digagas yang dijalankan oleh pemerintah patut diapresiasi. Apa lagi dengan penguatan kelembagaan dan peningkatan jumlah anggaran. Namun yang masih menjadi kendala yakni kemampuan kebijakan dalam mengorganisir kelompok sasaran serta model implementasi kebijakan dan perumusan program yang perlu dirumuskan lebih inovatif.
Kemajuan kajian dalam sektor publik harusnya di adopsi lebih baik oleh pemangku kebijakan seperti konsep Collaborative governance. Dimana konsep ini merupakan sebuah pendekatan pengambilan keputusan, tata kelola kolaboratif, serangkaian aktivitas bersama di mana mitra saling menghasilkan tujuan dan strategi dan berbagi tanggung jawab dan sumber daya (Davies Althea L Rehema M. White , 2012). Secara spesifik, dijelaskan oleh Ansell dan Gash (2007:544) yang mendefinisikan Collaborative Governance sebagai sebuah pengaturan yang mengatur satu atau lebih lembaga publik secara langsung terlibat dengan pemangku kepentingan non publik dalam proses pengambilan keputusan kolektif bersifat formal, berorientasi konsensus, dan musyawarah yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau mengelola program atau aset publik. Model ini sebenarnya mudah disebutkan, bahkan diklaim sudah direalisasikan. Namun nyatanya, lebih banyak pada aspek formalitas. Pelibatan swasta dan masyarakat masih terjebak pada formalitas dengan ruang partisipasi yang terbatas.
Kembali ke intervensi, Gerakan literasi memang butuh perhatian pemerintah. Sebab mental masyarakat kita sedikit banyak masih terpengaruh efek pernah terjajah dalam waktu yang laman. Namun, keterlibatan pemerintah dalam melakukan intervensi harusnya dirumuskan dalam dua model utama. Pertama, Gerakan literasi harus dinaik kelas, yakni bukan lagi sekedar membaca dan menulis. Tetapi literasi dalam hal semua sektor, misalnya literasi lingkungan, literasi digital, literasi pertaninan dan sejenisnya. Kedua, Gerakan literasi yang harus dilakukan yakni menjadi fasilitator dan mediator komunitas literasi yang ada di masyarakat untuk bisa bertumbuh dan berbuat lebih banyak di masyarakat. Fasilitator dan mediator ini dapat berupa dukungan forum Bersama, fasilitas penunjang, serta mendukung ruang public yang mendidik. Kedua hal ini membutuhkan sentuhan keras atau yang dikenal dengan istilah intervensi. Kedua model ini dapat dirumuskan dalam regulasi ditingkat daerah baik itu kabupaten maupun kota. Namun tentunya spririt regulasinya adalah kolaborasi antar semua elemen baik swasta maupun masyarakat.
Olehnya itu kita bersepakat bahwa literasi ini adalah jantung peradaban, juga tonggak kemajuan daerah dan bangsa. Argumentasi ini sejelan dengan pandangan Eko Prasojo (2020) bahwa Pengetahuan adalah kunci utama perubahan peradaban bangsa. Dengan begitu, negara harus hadir untuk memajukan literasi kita. Tentu dengan menghadirkan spirit itu di semua lini kehidupan kita.
*) Penulis adalah pimpinan redaksi matakita.co. Tulisan ini telah dipublikasikan pada buku satu tahun penerbit subaltren