Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Pemindahan ibu kota sedang serius diperbincangkan, karena berkaitan dengan banyak hal. Bukan hanya nama “nusantara” yang dikerdilkan, tetapi juga masa depan tanah yang dianggap “tak bertuan” itu sehingga harus diberi nama.
Dalam studi postkolonial, pemberian nama atas suatu wilayah tertentu oleh orang lain yang tidak punya latar sejarah dengan tanah tersebut, adalah cara kerja colonial. Mereka datang dan menemukan areal tak bertuan, tak ada orang, tak ada kehidupan, lalu mereka memberi nama, mendefinisikan dunia disekitarnya dank arena itu, sejak kedatangan mereka, peradaban di tanah “tak bertuan” itu mulai dikerjakan.
Mereka menyebut penduduk setempat sebagai “orang-orang terbelakang”, sehingga perlu ditata agar lebih maju. Mereka juga kadang menyebut masyarakat setempat sebagai “orang yang tidak beradab”, sehingga perlu dibangunkan peradabannya. Kalimat yang viral “disana adalah tempat Jin” atau sejenisnya adalah cara pandang si penjajah. Mereka “menemukan”, “memberi nama” dan “mendefinisikan” apa yang ingin mereka kuasai.
Penduduk lokal, penduduk setempat seolah “bukan manusia”, atau seperti “bukan masyarakat”, sehingga tidak perlu di dengar, dihargai dan diberikan posisi yang tepat menurut kebudayaan, adat istiadat kelaziman mereka.
Pemberian nama Nusantara atas suatu tempat yang sudah memiliki nama disana, adalah cara kerja menghapus memori publik. Mereka hendak menyebut, bahwa disana tidak ada kehidupan yang layak dipertahankan. Tidak ada nama yang perlu di ingat. “Kita datang membentuk sejarah baru” lalu seraya dengan sewenang-wenang “menghapus sejarah” yang sudah ada. Kejahatan macam ini adalah kejahatan kolonialisme.
Studi ini banyak dan bisa dilacak ke Edward Said (1978), Ania Lomba (2003), Hamzah Alavi (1972) dan sejumlah nama lain yang bisa di deret panjang. Mereka berhasil menyingkap kedok tak terlihat dari skema kerja kolonial dalam hal “menemukan” dan “mendefinisikan” apa yang hendak mereka kuasai.
Dalam konteks regulasi, pemindahan Ibukota Negara, jelas publik sudah membaca dan memahami sebagian isinya. Tetapi juga patut diduga, UU se-tipis dan se-singkat itu, adalah cara kerja kekuatan ultra-kuasa pada proyek legislasi. Hanya 39 Pasal untuk memindahkan seluruh arsitektur, manusia, dan mimpi ke daerah yang mereka anggap “tak bertuan” itu.
Mereka hanya mengatur hal-hal yang mereka “anggap penting”, lalu selebihnya diserahkan sepenuhnya pada “Kebijaksanaan” kekuasaan. “Kemurahan hati” dan mimpi kekuasaan tak perlu harus diatur lebih detail. Karena mereka adalah primus interpares. Orang-orang yang “terlanjur dikutuk sebagai mahluk baik oleh Tuhan”. Dan tindakannya adalah “demi menyelamatkan bangsa dan Negara”.
“Kemurahan hati” dan “kebaikan kekuasaan” inilah nanti yang diterjemahkan dalam bentuk “beleidsregel”, yang akan menjadi tumpukan “peraturan kebijakan” sebagai bentuk kewenangan bebas pemerintahan. Kewenangan bebas ini hanya bersumber pada pengaturan sumir, tidak jelas dan tidak ditemukan di norma peraturan lainnya, kecuali hanya prinsip dan batas longgar yang disebutkan dalam UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika ada hal yang “dianggap penting dan mendesak”, maka dibutuhkan “kemurahan hati” kekuasaan untuk menyelesaikan apa “yang terdesak” dan apa “yang penting itu”. Kemurahan hati itu, bentuknya adalah “peraturan kebijakan”.
UU Ibu Kota Negara ini tak lebih dari paper blank, cek kosong yang tak bisa menjamin kepastian hukum apapun bagi publik. Semuanya akan diserahkan kepada “kebaikan” dan “kemurahan hati” kekuasaan. Mereka yang akan menterjemahkan apa yang “diperlukan” dan yang “tidak diperlukan”.
Karena itu, ada “mahluk lain” yang akan mengambil untung dari semua ini di masa yang akan datang. Sebab, kenyataannya, “mahluk lain” itu mulai dibuka satu demi satu oleh sebagian orang. Kelompok oligarki rakus, datang “menjajah” disana, dan hendak “menjarah” dalam ketidakpastian. Akankah paper blank yang bernama UU Ibu Kota Negara akan bertahan atau di “dibakar” di kantor MK?. Kita tunggu, apa putusan Majelis Hakim MK atas gugatan JR terhadap UU ini.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UNHAS