Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Perawakannya ganteng, jalannya menunduk, tuturnya yang pelan, senyumnya yang khas. Laki-laki usia lebih setengh abad itu, duduk sambil menghisap “cerutu” di kantin Fakultas. Laki-laki yang saya maksud adalah Prof Muhammad Ashri, senior kami di Fakultas Hukum.
“Jurdi, bikin buku apalagi?”, Tanya nya sambil memegang pundak saya. Kadang-kadang beberapa dosen memanggil nama saya dengan panggilan mendiang almarhum ayah saya. “Jurdi”.
“Tidak prof, ini lagi nulis-nulis artikel”, jawab saya sambil hormat, khas murid terhadap guru.
Di jam-jam istrahat, beberapa dosen ngumpul di kantin, sambil ngopi dan menikmati “gosip” hukum dan politik. Cerita tanpa latar yang jelas, namun selalu berakhir dengan kualitas isi yang luar biasa. Kadang-kadang saya mendengarkan penjelasan tentang metode penelitian hukum dari ahlinya, Prof Irwansyah, kadang lebih sering “bersenggama” dengan Prof Anshori, ahli hukum tata Negara.
“Pertengkaran” ide dan argumen kerap kali terjadi, dan sebagai mahasiswa mereka, saya tak berani terlalu menimpali. Mendengar, menghirup dan menikmati “ceruru” intelektual yang mereka hembuskan. Inilah cara menikmati tradisi intelektual yang tak bisa saya peroleh di tempat lain. Egalitariasme tumbuh begitu saja, tanpa sekat dan penghalang. Itulah mungkin, kenapa Fakultas Hukum Unhas memiliki 40 Profesor, (yang aktif 37), karena mereka saling mendorong, tak pernah saling menjegal, saling tumbuh bersama, tak pernah saling menegasikan.
Senioritas tumbuh dengan rasa hormat, junior juga tumbuh dengan cara yang khas. Kelihatan feudal, karena sikap merendah junior yang ikhlas terhadap senior. Mungkin itu yang jadi penyebab ilmu itu berberkah. Soal pintar, saya pikir banyak orang pintar, tapi soal berkah, tidak selalu bisa diperoleh setiap orang. Saya membayangkan, keberkahan di fakultas hukum unhas, karena keikhlasan antar para dosen.
Teman-teman, Prof Ashri, adalah salah satu dari sekian banyak orang yang selalu “singgah” dikantin. Dengan menenteng tas di satu tangan, beliau selalu berjalan pelan. Sikap menunduknya, menunjukkan beliau seperti padi, kian tua, kian berkuah.
Jika berbiacara soal fisolofi hukum, mungkin rata-rata akan menunjuk prof Ashri sebagai rujukan. Kedalaman isi, runutnya cara berpikir, ketenangan menjelaskan, tentu saja tak bisa dianggap sederhana. Prof Ashri mungkin bukan tipe pemikir yang suka selebrasi ide keluar. Tapi “kejernihan” ide dan strukturasi gagasan, Prof Ashri adalah orangnya.
Suatu hari anak-anak mahasiswa datang memintanya menjadi narasumber. Melalui istrinya, anak-anak ini sudah minta izin, karena kebetulan satu garis gerakan sosial antara para mahasiswa itu dengan istrinya. Mereka datang, duduk dan menyodorkan surat. Dengan pelan dan sederhana, beliau menolaknya. “Cari yang lain dek”, katanya singkat.
Di dampingi perempuan dengan latar belakang aktivis Muhammadiyah, Ibu Afdalia, ketenangan dan kedalaman isi pikiran Prof Ashri tentu menjadi satu dan tak terpisahkan dari topangan sang istri. Saya membayangkan, bagaimana mereka menguatkan tradisi dalam rumah tangga, yakni tradisi berpikir dan tradisi aktivis.
Hari ini, tiba-tiba group WA disesaki oleh berita duka, Innalillahi wainna ilaihi raaji’un. Prof Ashri telah berpulang kepada Allah. Sontak semua kaget. Saya sedang ngobrol bersama ibu Dr. Birkah Latif diruangan dekan, karena ada tamu dari Komisi Kejaksaan RI yang akan mengisi kuliah umum. Sambil ngobrol sama tamu, saya izin pamit keluar sama Pak Bhatara dari Komisi Kejaksaan dengan ibu Birkah.
Saya ingin jalan ke RS Pusat Jantung. Tetapi di parkiran, dua dosen senior yang siap-siap menginjak gas mobil memanggil saya. “Fajlur”, bunyi suara panggilan itu. Saya menoleh, ternyata Prof Razak dak Pak Dr. Syamsuddin Muhtar. “Mau ki ke rumah sakit?”, Tanya pak Syam. “Iye pak”, jawab saya.
Akhirnya saya menumpang mobilnya pak Syam. Menuju Rumah Sakit. Setelah berputar di RS, ternyata beliau sudah dibawa pulang ke rumah. Kami akhirnya menuju ke rumah duka. Kali ini saya menumpang mobilnya ibu Wakil dekan dua, yang juga mengejar jenazah di RS. Tiba dirumah, ambulan masih terparkir, jenazah almarhum baru saja diturunkan.
Saya melihat beberapa derai air mata. Anaknya, tentu, kehilangan sang ayah. Istinya, jelas kehilangan suami. Menantu yang kehilangan mertua, dan cucu yang kehilangan sang kakek. Beberapa kolega nya dan pegawai fakultas Hukum sudah tiba. Meskipun belum ramai, kami mungkin kloter kedua yang tiba di rumah duka.
Saya memandang dari jauh, tidak berani mendekat. Saya paling tidak kuat melihat tetes air mata di depan jenazah. Berdiri mematung di depan pintu, menyaksikan sang guru berbaring kaku, dalam bungkusan kain.
Saya meresapi kembali perjumpaan yang seringkali kami lalui di pelataran fakultas, kantin, di ruangan dosen. Gayanya yang bersahaja, tuturnya yang lembut, sikapnya yang tenang, senyumnya yang menawan, menunjukan bahwa beliau orang yang selalu ikhlas.
Prof Ashri adalah orang yang tak kelihatan punya ambisi, selain berkhidmat pada ilmu. Beliau mencintai profesinya sebagai guru. Kita tau, mengajar itu adalah seni. Jika tidak dinikmati dan menjadi hobi, maka akan jadi beban. Jika jadi beban, ilmu-nya pasti gak berberkah, karena terselip rasa tak ikhlas. Ikhlaslah yang membuat ilmu menjadi berberkah. Dan prof Ashri adalah hamba yang mewakafkan dirinya dengan ikhlas untuk mendidik anak-anak muda di Fakultas hukum.
Selamat jalan guru kami. Selamat jalan professor kami. Kita semua akan menuju tempat yang sama. Hanya soal waktu saja, siapa yang duluan dan siapa yang belakangan. Antrian kita tak lama, hanya Allah yang tau.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin