
Matakita.co – Opini , MK sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka (Open List Proportional Representation) dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022, Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup, Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Sejarah panjang pemilu di indonesia dimulai pada tahun 1955 sampai tahun 2019 saat ini mengalami kemajuan dalam dunia politik, pada tahun 1955 disebut sebagai pemilu Masa parlementer dengan menggunakan sistem pemilu proporsional, untuk memilih calon anggota legeslatif dan Anggota Dewan Konstituante. Pada tahun 1971-1997 disebut sebagai pemilu pada Masa Orde Baru dengan Sistem Perwakilan Berimbang Proporsional,Selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto, telah terjadi enam kali penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II, Pada era ini Presiden dipilih oleh MPR. Kemudian tahun 1998 Soeharto digantikan oleh Presiden BJ. Habibie. Pada tahun 1999 disebut sebagai pemilu masa reformasi masih dengan Sistem Perwakilan Berimbang Proporsionaltertutup, hampir tidak ada perubahan signifikan pada sistem pemilu yang digunakan.
Pemilu tahun 2004-2019 disebut sebagai pemilu paling bersejarah Di Indonesia sebagai negara penganut sistem Demokrasi, yang dimana awal mula seluruh anggota dewan DPR, DPD dan DPRD serta presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan secara serentak dan dipilih langsung oleh Masyarakat dengan sistem Pemilu Proporsional Terbuka untuk pertama kalinya, sistem pemilu tahun 2024 yang akan datang Ditentukan masih menggunakan Sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 168, sebagai berikut:
“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”
Perlu diketahui bahwa adanya dua sistem dalam pemilu di Indonesia yang disebut sistem proporsional terbukaatau tertutup yang diberlakukan diindonesia sebagaimana dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, merupakan sistem pemilu yang berkembang saat ini, Sitem Proporsional Terbuka (Open List Proportional Representation) adalah sistem yang menggunakan Surat suara untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi/ kabupaten/kota memuat gambar dan nomor partai politik, nomor urut dan nama caleg untuk setiap daerah pemilihan. Adapun Sistem Proporsional Tertutup atau Closed List Proportoinal Representation adalah Surat suara untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi/ kabupaten/kota memuat gambar dan nomor partai politik. Tidak ada nama caleg.
Kelebihan dan kekurangan kedua sistem tersebut;
Kelebihan Sistem ini memberikan kesempatan terhadap masyarakat untuk mengenal dan terlibat langsung untuk memilih calon legislatif serta calon legislatif tidak ditentukan berdasarkan nomor urut melainkan keterpilihan ditentukan atas perolehan suara masing-masing Caleg. namun kekurangan adalah partai politik tidak memiliki akatan idologi yang kuat terhadap caleg yang diusung karena dianggap mewakili pribadi bukan partai
Kelebihan sistem ini akan meperkuat ideologi serta peran partai politik dan dianggap dapat mencegah money politik dimasyarakat, sedangkan kekurangannya adalah masyarakat tidak terlibat langsung dengan memilih calon legislatif karena hanya diarahkan untuk memilih partai, serta keterwakilan calon legislatif ditentukan oleh partai
Pemilu tahun 2024 akan datang telah ditepakan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 168, sebagai berikut:
“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”
Maka tidak menutup kemungkinan apabila (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022, yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pemohon I) dkk, dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, terdapat beberapa asumsi yang terjadi: