Oleh : Ummu Saadah*
Pendidikan dewasa ini telah mengalami perkembangan yang begitu pesat utamanya Pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Ada peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun dalam bidang penelitian dan pengembangan yang ditandai oleh gencarnya perguruan tinggi di Indonesia untuk melakukan publikasi ilmiah pada jurnal internasional terindeks scopus. Berdasarkan publikasi Vít Macháček dan Martin Srholec yang berjudul Predatory Publishing in Scopus: Evidence on Cross-country Differences, Scient metric, Indonesia termasuk negara dengan publikasi artikel di jurnal predator nomor dua tertinggi di dunia setelah Kazakhstan terhitung pada kurun waktu 2015-2020. Tolak ukurnya adalah persentase artikel yang terbit di jurnal predator terhadap seluruh artikel yang diterbitkan.
Para akademisi kemudian dituntut untuk melakukan publikasi jurnal yang terindeks scopus, karena hal tersebut yang menjadi salah satu penilaian dalam perankingan universitas, salah satu lembaga pemeringkat universitas global adalah Academic Ranking of World University (ARWU) yang menjadikan scopus sebagai lembaga pengindeks jurnal sebagai salah satu patokannya. Bahkan di Indonesia sendiri, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menjadikan Quacquarelly Symonds (QS) sebagai patokan untuk mengukur performa universitas di Indonesia. Ada beberapa indikator yang telah ditetapkannya, salah satunya adalah jumlah sitiran karya ilmiah (citations per faculty). Pada poin penilaian inilah yang kemudian menjadikan para akademisi berlomba-lomba untuk melakukan publikasi jurnal terindeks scopus agar sitasinya terus naik yang bisa menjadikan skor pada poin tersebut bisa naik. Apalagi setelah terbitnya surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bernomor 152/E/T/2012 yang mewajibkan baik kampus PTN maupun PTS untuk melakukan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan. Inilah asal muasal yang menjadikan para akademisi terjebak dalam perangkap scopus.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan sangatlah diperlukan, utamanya pada era 5.0 ini. Pertanyaannya kemudian adalah apakah perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diiringi dengan dampak yang signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia? Apakah dengan publikasi ilmiah yang digencarkan oleh perguruan tinggi telah memberikan kontribusi bagi perbaikan bangsa? Atau jangan-jangan publikasi hanya dilakukan untuk mengejar ranking? Inilah kemudian yang menjadi tanda tanya besar yang perlu kita jawab bersama. Jangan sampai kegiatan publikasi ilmiah hanya menggugurkan kewajiban mahasiswa akhir ataupun dosen dan guru besar yang nyatanya tidak ada dampak sama sekali untuk perbaikan dan kemajuan bangsa sendiri, atau bisa dikatakan bahwa yang kita lakukan adalah hanya untuk ‘meninggalkan bangsa sendiri’.
Kita telah tau bersama bahwa bangsa Indonesia memiliki keragaman geografis, ekonomi, sosial, dan budaya, juga keragaman sumber daya alam dan tingkat Pendidikan warganya. Menurut Ki Darmaningtyas dalam bukunya Pendidikan Rusak-rusakan bahwa yang amat dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia bukanlah professor doktor yang mampu menulis pemikirannya di jurnal internasional, tetapi justru professor doctor yang mampu menuliskan pemikirannya dalam Bahasa lokal yang mudah dicerna dan dipahami oleh orang-orang kampung halamannya. Apalah artinya mampu menulis di jurnal internasional, sementara sebagian masyarakatnya tidak mampu baca tulis? Atau mereka mampu baca tulis, namun tidak tersedia informasi yang mereka perlukan untuk bekal bertani, berkebun, berladang, beternak, melaut, dan mengembangkan perikanan.
Betullah apa yang disampaikan oleh Ki Darmaningtyas bahwa sebenarnya yang kita lakukan di perguruan tinggi yaitu publikasi ilmiah sangatlah minim kontribusi untuk perkembangan dan kemajuan bangsa. Justru hanya minimbulkan kesenjangan antara kaum terpelajar dan masyarakat itu sendiri. Tak bisa kita pungkiri bahwa zaman semakin laju dan menghantarkan kita pada era society 5.0 namun kita juga tak boleh menutup mata dengan masyarakat disekitar yang masih membutuhkan uluran tangan untuk bisa berdiri dan bangkit. Jangan sampai Perguruan Tinggi kita di Indonesia hanya akan mencetak generasi yang lupa dengan bangsanya sendiri. Sensitivitas sosial yang menurun diakibatkan fokus Perguruan Tinggi saat ini hanyalah terus mengejar publikasi jurnal internasional yang terindeks scopus.
Di era society 5.0 ini. pekerjaan manusia semakin mudah dengan bantuan teknologi, seperti Artificial intelligence (AI), Big data (data dalam jumlah besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup. Tentunya dengan teknologi tersebut menjadikan pekerjaan manusia serba instan dan tanpa memerlukan kerja otak berlebih. Bahkan para akademisi sudah tidak perlu lagi susah payah untuk memikirkan narasi pada topik artikel yang akan dibuatnya, sebab ada fitur AI yang bisa mereka gunakan seperti google docs, dengan hanya mengetikkan judul pada chat box yang akan dicari maka chat GPT bisa langsung memunculkan narasi yang begitu apik.
Sebenarnya, kemudahan tersebut akan memunculkan masalah-masalah baru bagi Pendidikan kita, utamanya pada kualitas sumber daya manusia (SDM) didalamnya. Sebab para akademisi akan malas menggunakan otak kanannya karena telah diambil alih oleh AI. Belum lagi masalah orisinalitas karya seorang akademisi, inilah yang menyebabkan munculnya kejahatan baru dalam dunia akademik yaitu plagiarism.
Jika kita akumulasikan arus perkembangan zaman maka kita bisa melihat bahwa peran listrik dan mesin pada revolusi industry 2.0 telah menggantikan otot manusia, dan komputer di revolusi industry ke 3.0 mulai mengambil alih pekerjaan otak kiri kita maka kemungkinan besar peran Artificial Intelligence (AI) juga akan segera mengambil alih pekerjaan otak kanan kita. Untungnya manusia masih di karunia hati nurani oleh Tuhan sehingga memiliki kesadaran untuk membedakan antara tindakan yang benar dan salah.
Para akademisi diharapkan memiliki kesadaran sosial masyarakat yang baik, menurut Paulo Freire adalah mereka yang tidak terjebak pada kesadaran magis ataupun naif tapi mampu meningkatkan kesadaran pada tingkat kritis, bahkan lebih tinggi lagi menurut Muhammad Iqbal yaitu pada tingkat kesadaran profetik.
Membudayakan untuk menulis dan menerbitkannya pada jurnal-jurnal nasional maupun internasional sangatlah baik apabila memberikan sumbangsih bagi keilmuan dan kemanusiaan. Dan tidak memandang bahwa jumlah sitasi tulisan kita yang berupa angka-angka itu lebih penting dari sejauh mana riset kita memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi masyarakat.
*) Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta