Oleh: M. Al-Amin Jurdi*
Pada umumnya kaum modernis percaya bahwa ajaran Islam adalah universal, dan ajaran Islam dapat kita kaji ulang kembali, lalu kita perhadapkan dengan masalah konkrit yang sedang kita hadapi sekarang ini.
Masalah pertentangan antara tradisi pemikiran kaum modernis dan kaum nasionalis sekuler, memang tidak akan bisa ketemu satu dengan yang lainnya. Ideologi yang satu bersifat cenderung sekuler dan ideologi yang satu lagi cenderung bersifat agamais religius.
Kita ingat perdebatan tajam antara “M. Natsir vs Bung Karno” atau “Agus Salim vs Bung Karno” atau “A. Hassan vs Bung Karno”, pada awal-awal abad ke-20 atau di Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan PPKI, yang dikenal dengan anggota sembilan orang itu.
Tidak berhenti sampai disitu, di konstituante pun terjadi perdebatan sengit. Pembahasannya sama di BPUPKI dan PPKI, disitu ada Aidit dan tokoh-tokoh PKI yang lainnya, ada tokoh yang beragama Kristen, yang mewakili Umat Kristen, ada Bung Karno yang mewakili golongan nasionalis, ada Masyumi yang mewakili golongan Islam, dan lain sebagainya.
Tokoh-tokoh PKI (Partai Komunis Indonesia) seperti Aidit, Njoto dan Sakirman menafsirkan “Ketuhanan” di dalam Pancasila sebagai “kebebasan beragama”. PKI, kata tokoh-tokoh itu, memandang keberadaan agama-agama di Indonesia adalah “suatu realitas”. Penafsiran demikian sesuai dengan dasar-dasar Marxisme-Leninisme.
Tokoh-tokoh Masyumi mengkritik tajam penafsiran terhadap Pancasila sebagaimana yang dikemukakan oleh pendukung-pendukungnya itu. Termasuk juga penafsiran Presiden Soekarno yang berpendapat bahwa kelima asas dalam Pancasila itu bisa “diperas” ke dalam dua tahap. Pertama diperas menjadi “Trisila”, yaitu “sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan sosio-ekonomi”. Trisila ini kemudian dapat diperas lagi menjadi “eka sila”, yaitu “gotong royong”. Seorang tokoh Masyumi, Osman Raliby, mengecam keras penafsiran Soekarno ini. Bagaimana mungkin Pancasila yang semacam itu dapat dijadikan sebagai asas negara, katanya. Asas “Ketuhanan” yang diyakini oleh orang-orang beragama sebagai persoalan fundamental di dalam hidupnya, ternyata dapat dilenyapkan karena “diperas” hingga menjadi “gotong royong”. Padahal, menurut pendapat Osman, gotong royong itu tidak lebih dari pada suatu rumusan etika sosial, yaitu prinsip tolong-menolong dalam menyelenggarakan kehidupan bersama.
Berarti tidak bisa sama-sama dikompromikan, karena tidak berhasil mencapai kompromi yang bulat. Masing-masing golongan itu, baik golongan Islam, golongan Nasionalis, golongan Tradisionalis, golongan Kristen, dan golongan Komunis.
Ketika tokoh-tokoh Masyumi di bebaskan dari tahanan Orde Lama (Seokarno), Pak Natsir dan kawan-kawan sesama Masyumi berinisiatif untuk merehabilitasi kembali Partai Masyumi, Muhammadiayah tampil terdepan, dan ikut menyokong meyakini pemerintahan Orde Baru (Seoharto), tapi sayangnya tidak mendapatkan lampuh ijo dari Soeharto, dan umat Islam melelan kembali kekecewaannya pada Soeharto.
Karena Soeharto berdalil bahwa tokoh-tokohnya pernah terlibat dalam sebuah peristiwa pemberontakan PRRI di Sumutra. Berarti kalau Partai Masyumi diaktifkan dan dihidupkan kembali, maka akan mengulang kembali pemberontakan yang lama.
Ketika membahas masalah “Sistem Proporsional Tertutup” dan “Sistem Proporsional Terbuka”. Disini ideologi modernis dan ideologi nasionalis bersatu, tapi itu tidak lama. Sekarang PBB ikut Prabowo dan PDI Perjuangan ikut Ganjar.
Dengan contoh yang kita paparkan diatas tersebut! Dapat kita ambil kesimpulannya bahwa memang sulit ketemu antara kedua ideologi besar itu (modernis dan sekuler), baik dalam konsep maupun dalam praktek dilapangan.
Akibat dari pertentangan ideologi-ideologi besar itu. Maka muncullah kekuatan ketiga. Kelompok ini mendesklemer dirinya sebagai gerakan baru, diantara kedua ideologi yang ada tadi, dengan istilah Gerakan Politik Hijau.
Isu yang menjadi agenda sentral kelompok ini adalah soal lingkungan dan lain-lainnya. Yang menjadi pertanyaannya bagaimana sikap kaum modernis atau bagaimana gerakan aktivis politik Islam dalam melihat gerakan ini.
Selama gerakan kelompok ini adalah gerakan yang demokratis, sah dan konstitusional, maka sejalan dengan perjuangkan dan pemikiran kaum modernis, baik pada awal zaman Negara Hukum Orde Lama maupun pada zaman Negara Hukum Orde Baru.
Terkait dengan bagaimana gerakan aktivis politik Islam dalam melihat gerakan itu, negara memiliki tanggungjawab besar kepada masyarakat dalam negaranya. Selama umat beragama memputuhkan campur tangan negara.
Misalnya saya bergabung dengan gerakan politik hijau tersebut? Apakah saya tidak berhak meminta pertanggungjawaban kepada negara. Untuk terlibat secara langsung dalam hal-hal terkait dengan urusan lingkungan dan kebersihan hidup dalam masyarakat. Saya berhak dong meminta pertanggungjawaban negara. Agar masalah lingkungan dan kebersihan hidup dalam masyarakat. Harus diperhatikan oleh negara secara detail, dan saya berpegang teguh pada prinsip perjuangan dan gerakan kaum modernis Islam, bukan fundamentalis Islam maupun tradisionalis Islam ataupun nasionalis sekuler.
Kelompok ini melihat bahwa kedua gerakan itu (gerakan politik Islam dan gerakan politik nasionalis), tidak ada ujungnya dan tidak ada kesepakatan yang final, artinya tidak bisa diajak kompromi satu dengan yang lainnya. Masing-masing berpegang teguh pada ideologi dan prinsipnya.
Dalam hal itu, lalu kelompok ini membentuk aliansi gerakan politik hijau, yang di dalamnya. Di huni oleh anak-anak muda dan para aktivis yang kompoten dan handal dibidangnya masing-masing.
Isu yang menjadi programnya adalah, misalnya masalah sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, dan masih banyak lagi, gagasan-gagasan sosial dan seterusnya itu adalah merupakan persoalan fundamental dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat! Menurut saya gerakan politik hijau adalah untuk memperjuangkan cita-cita UUD 1945 dan Pancasila.
Gerakan politik hijau ini adalah agak mirip dengan tujuan dan gerakan kaum modernis atau gerakan politik Islam, karena sama-sama menghendaki Indonesia menjadi negara adil dan makmur, gerakan politik Islam menyoroti isu-isu keislaman dan sosial dan gerakan politik hijau menyoroti isu-isu sosal dan lingkungan, dan kedua gerakan ini menurut saya adalah gerakan yang demokratis, sah dan konstitusional, yaitu melalui parlemen, bukan revolusi total dan memberontak berdarah-darah.
Gerakan politik hijau dalam perspektif politik Islam adalah merupakan gerakan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dari pada mengutamakan kepentingan pribadi, individu dan kelompoknya. Sama halnya dengan tokoh-tokoh modernisme Islam, kaum modernis juga mempunyai pikiran yang sama seperti itu juga.
)*Penulis adalah kader IMM Makassar Timur dan Aktivis Politik Islam