Beranda Mimbar Ide Perbandingan Pemikiran Natsir dan Sayyid Abul A’la Maududi, Telaah Teori Kenegaraan Pemikiran...

Perbandingan Pemikiran Natsir dan Sayyid Abul A’la Maududi, Telaah Teori Kenegaraan Pemikiran Yusril Ihza Mahendra

0

Oleh: Muhammad Al-Amin Jurdi*

Islam adalah merupakan ajaran yang bersifat universal dan dinamis, Islam bisa diimplementasikan dan interpretasi untuk diperhadapkan dalam konteks sosial politik dewasa ini, Islam bukan saja membicarakan semata-mata masalah salat, jakat, haji, ibadah, dan seterusnya, tapi ajaran Islam membicarakan dalam konteks kenegaraan, sosial, dan budaya.

Kalangan modernis, yang kemudian dikenal dengan sebutan kelompok nasionalis Islam seperti A. Hassan dan Mohammad Natsir, berhadapan dengan kalangan nasionalis sekuler dengan tokohnya Soekarno. Persoalan yang muncul adalah menyangkut hubungan agama dan negara. Hal tersebut kemudian berkembang menjadi konflik yang cukup tajam ketika negara Indonesia yang akan mereka. Hadirnya gerakan pembaruan atau modernis Islam dengan misi pemurniaan ajaran Islam dari segala hal yang bersifat bid’ad, khurafat, syirik dan tahayul sebagai gelombang baru pencerahan agama, harus berhadapan dengan Islam yang telah “mapan”, yaitu ajaran Islam, persoalan ini kembali diangkat dalam sidang Konstituante tahun 1956, yang beranggotakan wakil rakyat hasil pemilihan umum pertama.

Pemilu pertama terlaksana sepuluh tahun selepas disahkannya konstitusi negara RI (Pancasila dan UUD ’45), yaitu tanggal 15 Desember 1955 yang saat ini dikenal sebagai masa “demokrasi parlementer”. Saat itu yang menjadi perdana menteri adalah Burhanuddin Harahap yang berperan selaku kepala pemerintahan sedangkan Presiden Soekarno selaku kepala negara.

Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Partai-partai Islam saat itu berhasil meraih 230 kursi, sedangkan partai-partai lainnya (nasionalis, Protestan, Katolik, sosialis, dan komunis) merah 286 kursi sehingga perbandingan menjadi 4:5. Perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante berakhir dengan dikeluarkan Dekrit Presiden RI Soekarno tanggal 15 Juli 1959 yang intinya membubarkan parlemen dan kembali ke UUD ’45 dan menghapus Piagam Jakarta dari konstitusi. Pembubaran konstituante itu telah mengubah perjalanan politik Indonesia dari sistem parlementer ke sistem demokrasi terpimpin (Firdaus Syam, 1995: 18).

Berdasarkan pendapat diatas bahwa ajaran Islam tidak boleh dipahami secara parsial (khusus) tapi Islam harus dipahami secara universal (umum) juga. Tingkah laku dan tindakan kehidupan  sosial, ekonomi, budaya, negara, dan politik kita sehari-hari, berpotensi tidak terlepas dari agama. Jadi agama mempengaruhi hati dan otak seseroang, dan mereka berpolitik!

Kasus Natsir dan Maududi

Menurut Yusril Ihza Mahendra adalah:
“…Natsir dan Maududi adalah dua tokoh sezaman yang sama-sama dikenal luas di dunia Islam. Tetapi kedua-duanya lahir dan hidup dalam suasana persekitaran sosial dan politik yang berbeda. Natsir (1908-1993) lahir di Indonesia dan bergerak dalam konteks Indonesia. Maududi (1903-1979) lahir di India, dan kemudian “hijrah” ke Pakistan, Natsir menempuh pendidikan Barat namun mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh. Maududi sepenuhnya, menempuh pendidikan tradisional Islam, namun cukup luas menela’ah literatur-literatur Barat secara otodidak. Kedua-duannya sama-sama aktif dalam pergerakan Islam. Natsir tampil menjadi ketua Masyumi, partai Islam terbesar di Indonesia – dan juga di dunia – pada zamannya. Maududi menjadi ketua Jama’at-i-Islami, partai Islam bercorak elit dan beranggotakan relatif sedikit (tahun 1958 anggota partai ini berjumlah 1258 orang). Bedanya. Natsir dan Masyumi terlibat langsung ke dalam politik. Masyumi pernah memegang kekuasaan politik di Indonesia. Sebaliknya, Jama’at-i-Islami selamanya menjadi partai “marginal” baik di India maupun di Pakistan, dalam buku Pemikiran Dan Perjuangan Mohammad Natsir (1996: 64-65).”

Dapat kita ambil kesimpulan dari pemikiran atau pendapat yang kita kutip diatas bahwa perbedaan latar belakang antara Natsir dan Maududi memiliki gaya ciri khas pemikiran kenegaraan yang sangat berbeda dan berlainan titik tolaknya. Karena Natsir terlibat secara langsung di dalam sistem pemerintahan, dan memperbaiki di dalamnya. Wajar Maududi menolak teori atau paham demokrasi di Barat. Karena Maududi tidak pernah masuk dan terlibat langsung di dalam sistem pemerintahan, sedangkan Natsir objektif dalam menerima teori pemikiran-pemikiran Barat mengenai masalah demokrasi, negara, dan  politik. Saya masi ingat beliau pernah mengatakan bahwa tidak semua teori yang datang dari Barat benar maupun dari Timur,  kita ambil dari sisi baiknya saja.

Menurut Yusril Ihza Mahendra adalah:
“….Maududi sendiri tak pernah memegang jabatan politik formal. Ia dan partainya lebih banyak memainkan peranan sebagai kelompok oposisi dan kelompok penekan dalam sejarah politik Pakistan. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Jama’at-i-Islami ikut dibubarkan oleh Jenderal Ayyub Khan bersama seluruh partai di Pakistan pada tahun 1958 (namun dihidupkan kembali pada tahun 1962). Usaha merehabilitasi Masyumi setelah kejatuhan pemerintah Presiden Soekarno tidak berhasil. Secara resmi Masyumi sudah tidak ada lagi. Namun sebahagian ide-idenya nampak masih tetap hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia (Yusril Ihza Mahendra, 1996: 65).”

Kasus Natsir dan Maududi, agak relevan untuk menunjukkan bagaimana dinamik doktrin Islam ke dalam realitas sosial dan politik dalam dua masyarakat yang berbeda. Dinamik itu, sekaligus menunjukkan bagaimana Islam yang ditampilkan dalam bentuk ideologi dan perilaku politik  dapat menimbulkan nuansa-nuansa yang berbeda, yang mendorong adanya karakter-karakter pemikiran itu. Karena ada faktor-faktor dan kondisi-kondisi yang menimbulkan  terjadinya perbedaan tertentu, yang satu menerima demokrasi di Barat secara tidak keseluruhan. Sementara yang satu lagi menolak demokrasi di Barat.

Titik Tolak Pandangan: Natsir dan Maududi

Natsir dan Maududi sama-sama melihat Islam sebagai yang “lengkap dan sempurna”. Akan tetapi walaupun sama-sama  melihat Islam sebagai ajaran yang “lengkap”, tapi  ketika menafsirkan ajaran Islam dalam konteks demokrasi dan sosial politik Islam sangat berbeda. Sehingga Yusril berpendapat bahwa Natsir lebih cenderung menafsirkan doktrin sosial politik Islam itu secara “elastis dan fleksibel”. Sementara Maududi lebih cenderung menafsirkannya secara “rigit” dan “literalis”.

Menurut Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa kecenderungan titik tolak penafsiran ini, dalam kajian politik Islam kontemporer, sering dikatergorikan sebagai kecenderungan ke arah “modernisme” dan “fundamentalisme”. Natsir agaknya, dapat dikategorikan sebagai sosok dari tokoh modernisme politik, sementara Maududi agaknya dapat digolongkan ke dalam eksponen fundamentalisme politik Islam (1996: 65).

Latar Belakang pendidikannya, membuat lingkungan sosial politik mempengaruhi karakter dan pemikiran Natsir maupun Maududi, Natsir berpendidikan Barat. Dan berguru pada ulama-ulama dan pergerakan Islam memang terdorong untuk melakukan pendekatan demikian  pada saat itu. Sementara Maududi, yang dididik dalam lingkungan  madrasah tradisional menurut Yusril memang menentang ide-ide kaum modernis Sayyid Ahmad Khan, dapat dimengerti jika cenderung menggunakan pendekatan yang berbeda dari Natsir (1996: 66).

Latar belakang pendidikan Barat yang dialami Natsir mendorongnya untuk secara langsung berkenalan dengan alam pikiran Barat modern. Baginya  menurut Yusril mengatakan pengetahuan demikian adalah “hikmah”, sebagai hasil dari perkembangan sebuah peradaban. Dengan berpegang kepada hadis Nabi bahwa hikmah adalah ibarat harta orang beriman yang hilang, sehingga di manapun hikmah itu ditemui, ia wajib diambil, maka menurut Yusril Natsir leluasa saja menggunakan alam pikiran Barat modern itu dalam usahanya untuk mentransformasikan doktrin (Natsir dalam Yusril Ihza Mahendra, 1996: 66).

Pemikiran Natsir mengenai nasionalisme dan demokrasi misalnya. Menurut keterangan Yusril ia menilai positif kepada nasionalisme dan menganggapnya sebagai fithrah manusia yang wajar untuk mencitai tanah airnya, sepanjang tidak menjadikan nasionalisme itu sebagai yang dipertaruhkan.

Dalam membahas demokrasi. Natsir yakin bahwa prinsip-prinsip Islam tentang “syura” lebih dekat kepada rumusan-rumusan demokrasi modern, dengan meletakkan prinsip-prinsip “hudud” (batas-batas) dan etik keagamaan sebagai panduan dalam mengambil keputusan.

Selanjutnya pemikiran Natsir dengan konsep pemikiran politik Islam, Natsir melihat Islam tidak bertentangan dengan politik, justru saling mendukung satu dengan yang lainnya. Seperti gula dengan manisnya atau api dari panasnya.

Menurut Yusril bahwa tidak terlalu mengherankan. Jika dalam perilaku politiknya, Natsir senantiasa bersedia bekerjasama dengan pihak-pihak lain, bahkan dengan kelompok bukan Muslim, atas dasar kejujuran dan kemasalahatan bersama.

Menurut Yusril Maududi yang juga meyakini kesempurnaan Islam, lebih cenderung melihat Islam itu benar-benar mencakupi segala-galanya. Maududilah yang nampaknya mula-mula mengatakan bahwa Islam itu adalah sebuah supra sistem, yang di dalamnya mengandung berbagai sistem, seperti sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sebagainya (1996: 68).

Selanjutnya Maududi mengatakan menurut Yusril mengatakan bahwa perjuangan Islam, dimengerti berusaha untuk membentuk sebuah negara-bangsa(nation-state), tetapi perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai “jalan hidup dan sistem kehidupan di atas dunia ini “. Maududi pun menentang cita-cita demokrasi yang dikemukakan Muslim League sehubungan dengan ide mereka dalam pembentukan Pakistan sebagai “a Muslim state”. Secara literalis, dengan menunjuk kasus demokrasi di Barat, Maududi mengartikan demokrasi sebagai pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas (1996: 68).

Kehendak mayoritas adalah hukum, karena “kedaulatan ” ada di tangan rakyat. Dengan demikian. Menurut Maududi, demokrasi adalah “syirik” karena menyenyampingkan Tuhan sebagai satu-satunya pihak yang berwenang dalam menetapkan hukum. Sejalan dengan teori Maududi tentang “kekhalifahan manusia”, maka baginya dalam Islam tidak ada tempat bagi demokrasi.

Pandangan Maududi ini menurut Yusril mengatakan mempengaruhi kecenderungan prilaku politiknya yang juga enggan untuk bekerjasama dan berkompromi dengan pihak-pihak yang lain. Bukan saja dengan pihak Hindu, tetapi juga dengan kelompok-kelompok Muslim yang tidak sefaham dengan pikirannya. Maududi akhirnya cenderung bersikap negatif dalam memadang pluralisme masyarakat. Maududi, nampaknya mengambil pendirian yang berbeda dengan Natsir (1996: 69).

Kesimpulan dari semua pembahasan tulisan ini, yaitu adalah Natsir lebih fleksibel dalam melihat sosial politik Islam, tidak menolak teori demokrasi di Barat. Tapi Natsir belajar teori Barat. Setelah itu. Dikontekskan dalam doktrin, sementara Maududi tidak mau terima kedaulatan Tuhan dikesampingkan oleh kadaulatan rakyat. Hanya berdasarkan suara mayoritas, itu “syirik” namanya. Di situlah letak perbedaannya.

)* Penulis adalah Kader IMM Makassar Timur dan Aktivis Politik Islam

Facebook Comments
ADVERTISEMENT