(Refleksi Hukum Putusan Nomor : 2/MKMK/L/2023)
Oleh : Dr. Safrin Salam, S.H., M.H.*
Putusan MKMK Nomor : 2/MKMK/L/2023 yang berisi tentang putusan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim mahkamah konstitusi yang dilaporkan oleh 16 Pelapor terhadap beberapa Hakim Konstitusi menarik untuk dikaji baik dari sisi dogmatika hukum, teori hukum maupun filsafat hukum. Putusan MKMK Nomor : 2/MKMK/L/2023 dalam pertimbangan hukumnya, memberikan terobosan hukum atas kekosongan hukum dalam pengaturan penerapan sanksi kode etik dan perilaku hakim mahkamah konstitusi sebagaimana diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang majelis kehormatan mahkamah konstitusi (Selanjutnya disebut PMK No. 1 tahun 2023). Dalam ketentuan Pasal 40 PMK No. 1 Tahun 2023, diatur bahwa “Dalam hal menjatuhkan sanksi, Majelis Kehormatan mengedepankan prinsip menjaga keluhuran martabat dan perilaku hakim konstitusi”. Ketentuan Pasal 40 PMK No. 1 Tahun 2023 menjadi dasar hukum bagi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam menjatuhkan sanksi kode etik hakim konstitusi dalam perkara pelanggaran kode etik terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi dalam penanganan perkara putusan 90/PUU-XXI/223.
Keampuhan Pasal 40 PMK No. 1 Tahun 2023 yang dijadikan dasar hukum MKMK dalam menangani perkara pelanggaran kode etik hakim ini digunakan dalam lingkup pembatasan limitatif sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 41 PMK No. 1 Tahun 2023, bentuk sansi yakni teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian tidak dengan hormat . Terkait bentuk sanksi tersebut, yakni teguran lisan, teguran tertulis telah dikenakan kepada beberapa hakim konstitusi yang telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim namun terkhusus sanski berupa pemberhentian tidak dengan hormat yang diberikan kepada Ketua Mahkamah Konstitus ditafsirkan oleh MKMK dalam perkara a quo,. Penafsiran hukum tersebut dapat ditelaah dari pertimbangan hukum Putusan MKMK Nomor : 2/MKMK/L/2023, yakni (Putusan MKMK Nomor : 2/MKMK/L/2023 Hlm. 377-379) :
a. Variabel-variabel yang dapat dijadikan alat timbang dalam melakukan pengukuran terkait dengan etika sangat luas dan tidak hanya terbatas pada sisi hukum dan perundang-undangan tetapi juga hubungan sosial kemasyarakatan. Sebab etika, seperti halnya juga hukum, tidak berada pada ruang hampa. Oleh sebab itu, terobosan dalam rangka memperpendek jarak spektrum pilihan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi yang tersedia dalam PMK menjadi hal yang layak untuk dilakukan.
b. PMK memberi kesempatan bagi Hakim Terlapor untuk membela diri dalam Majelis Kehormatan Banding. Di satu sisi, kesempatan untuk melakukan banding memunculkan pertanyaan mengenai sifat final dari putusan yang telah dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan. Disisi lain, terdapat persoalan administratif bahwa hingga kini pengaturan mengenai pembentukan maupun tata beracara Majelis Kehormatan Banding yang seharusnya dituangkan dalam PMK belum tersedia. Hal ini dapat mengakibatkan putusan Majelis Kehormatan atas perkara ini menjadi menggantung atau setidaknya berlarut-larut tanpa ada kepastian waktu penyelesaian akhirnya. Padahal, agenda penyelesaian perselisihan hasil pemilu sudah di depan mata.
c. Majelis Kehormatan memutus bahwa bentuk sanksi yang memenuhi ukuran proporsionalitas atas pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor adalah memberhentikan nya dari jabatan sebagai Ketua MK. Konsekuensinya, Mahkamah Konstitusi harus segera menggelar rapat untuk memilih pimpinan baru dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pertimbangan hukum MKMK tersebut memberikan tafsiran hukum terhadap ketentuan Pasal 41 poin c PMK No. 1 Tahun 2023 terkait pemberhentian tidak hormat hakim mahkamah konstitusi sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara a quo, MKMK menggunakan ukuran keadilan proporsional dalam menjatuhkan sanksi kode etik. Ukuran keadilan proporsional ini mempertimbangkan beberapa hal yakni, aspek hukum, aspek hubungan sosial kemasyarakatan, aspek integritas hakim mahkamah konstitusi dan aspek jasa ketua mahkamah konstitusi selama menjadi hakim mahkamah konstitusi. Sehingga dengan pertimbangan hukum tersebut, MKMK melakukan terobosan hukum terhadap bentuk sanksi pemberhentian tidak hormat dalam jabatan sebagai ketua Mahkamah Konstitusi agar terhindar dari ketidakpastian hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 42 PMK No. 1 Tahun 2023 sekaligus juga menjaga marwah putusan MKMK. Ketentuan Pasal 42 PKM No. 1 Tahun 2023 mengatur bahwa hakim terlapor wajib diberikan kesempatan membela diri dalam forum majelis kehormatan banding. Maknanya bahwa, hakim terlapor yang diputus diberhentikan sebagai hakim konstitusi akan melakukan upaya hukum atas pemberhentian sebagai hakim mahkamah konstitusi melalui mekanisme banding dalam kehormatan majelis banding. Sehingga dengan mekanisme hukum tersebut putusan MKMK akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam penanganan perkara pelanggaran kode etik dan perilaku hakim. Oleh karena itu dengan adanya putusan MKMK yang memberikan sanksi pemberhentian tidak hormat sebagai ketua mahkamah konstitusi merupakan jalan tengah yang merupakan perwujudan keadilan proporsional yang digunakan oleh MKMK dalam melihat kekosongan hukum dalam penerapan sanksi kode etik dan perilaku hakim mahkamah konstitusi.
Ukuran keadilan proporsional yang digunakan oleh MKMK dalam memutus perkara a quo sebenarnya telah diungkapkan oleh Plato dan Aristoteles dalam menjelaskan konsep keadilan. Plato mengatakan bahwa arti aturan negara yang adil dapat dipelajari dari aturan lain yakni aturan yang baik dari jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, bagian pikiran (logistikon), bagian perasaan dan nafsu, baik psikis maupun jasmani (epithumetikon), dan bagian rasa baik dan jahat (thumoides). Jiwa itu teratur secara baik, bila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga bagian itu. Hal ini terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Maka keadilan (dikaiosune) terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa, sesuai dengan wujudnya masing-masing. Plato menekankan bahwa keadilan terletak pada 3 bagian utama yakni, pikiran, perasaan dan nafsu dan rasa baik dan jahat. Pandangan Plato ini telah diimplementasikan oleh MKMK dalam pertimbangan hukum putusan nya yang tidak melihat perkara a quo pada aspek hukum an sich tapi MKMK mempertimbangkan aspek-aspek di luar hukum secara proporsional. Pandangan Plato ini, sejalan dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa keadilan sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positif) terdapat juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu. Menurut Aristoteles, keutamaan yang dimaksud adalah hubungan yang baik antara orang yang satu dengan yang lain, keadilan berada di tengah dua ekstrem, tercipta lah keseimbangan dua pihak : jangan mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga mengutamakan pihak lain, untuk mengetahui letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan; kesamaan dihitung secara aritmetis atau geometris. Pendapat Aristoteles tentang keadilan ini sejalan dengan keadilan proporsional yang digunakan MKMK dalam melihat dan menerapkan bentuk sanksi hukum dimana MKMK memberi nilai keadilan pada penerapan sanksi kode etik dan perilaku hakim dalam bentuk keseimbangan dan keadilan kepentingan dari pengadu dan hakim terlapor sehingga tercipta bentuk sanksi kode etik dan perilaku hakim MKMK yang adil sesuai dengan porsi kepentingan masing-masing pihak. Dengan demikian, Putusan MKMK Nomor : 2/MKMK/L/2023 bukan hanya soal pemberian sanksi kode etik hakim mahkamah konstitusi, tetapi putusan tersebut merupakan bentuk komitmen MKMK dalam menjaga marwah dan martabat Mahkamah Konstitusi.
*) Penulis adalah Dosen Tetap Prodi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton