Oleh : Ian Hidayat*
Bagaimana kabar kanda yunda sekalian?…
Semoga sehat sehat saja…
Bagaimana soal konsolidasinya? Saya harap rekonsialisasi pasca Muktamar bisa disegerakan. Kami di tataran komisariat maupun cabang menunggu kabar baiknya. Pun, jika masih linglung soal rekonsiliasi pasca Muktamar bekukan saja DPP periode ini. Pun, kami masih bisa bersabar menunggu kekosongan kepempimpinan DPP.
Sedari tadi, saat tulisan ini saya kerjakan. Orang orang di persyarikatan sudah ramai merayakan tarwih pertama bulan Ramadhan. Tidak jauh waktu berselang pasca perhelatan Muktamar Palembang diselesaikan. Sehari setelah Muktamar, saya sempat menemui beberapa kawan yang menjadi peserta penuh Muktamar.
Selain merayakan kepulangan mereka dengan selamat, saya juga penasaran perihal apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi pasca Muktamar.
“Bagaimana dengan Tanwir dan Pedoman Pengkaderan?”
“Tidak terlalu banyak berubah” jawabnya
Saya paham, andinamisasi tersebut sebab kita hanya me-reformasi kepemimpinan tanpa merancang serius bentuk IMM ke depannya.
Saban hari, sebelum memasuki Bulan Ramadhan. Teman teman IMM Gowa mengadakan diskusi soal Kekerasan Seksual, ini juga untuk memperingati International Women Day (IWD). Pematerinya dari DPD IMM Jateng, pasalnya DPD IMM Jateng baru saja merilis SOP KS. Sebuah angin segar di IMM, mengingat selama ini kita masih gagal menangani perkara yang dianggap tabu ini.
Selain itu, diskusi tersebut juga menghadirkan Kabidim DPP IMM. Sebagai salah satu narasumber dalam diskusi tersebut saya sempat menyinggung persoalan “budaya patriarki” yang masih tumbuh mapan di IMM. Baik secara kultur maupun pikiran. Jawaban yang diberikan pun cukup memuaskan.
“yah, saya sepakat budaya patriarki masih subur di IMM” timpalnya
“di Muktamar kemarin saja, tidak ada formatur immawati yang terpilih” sambungnya. Narasi yang menurut saya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan patriarki. Nanti lah kita bahas soal itu.
Budaya patriarki di IMM memang rawan tumbuh, bukan sekedar karena IMM menyembah lelaki. Tapi relasi kuasa yang begitu subur di IMM. Mari kita kaji hal tersebut sebagai bahan refeleksi milad IMM yang ke 60 tahun.
Bukannya menumbuhkan budaya kesadaran kritis kita semakin hari mendekati dehumanisasi.
Di IMM, kita memiliki tujuan sebagai penyambung misi tujuan Muhammadiyah. Saya ingin berangkat dari gerakan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pencetus organisasi Muhammadiyah. Teologi al-Maun yang dijadikan nyawa gerakan Muhammadiyah, dari Tafsir Ibnu Katsir surah al-Maun semacam bentuk hubungan horizontal dengan manusia.
Dari Teologi al-Maun ini juga yang menegaskan untuk menjaga kesetaraan kita dengan manusia sebagaimana nilai Islam yang sebenanrya. Beberapa ulama tafsir berpendapat, Islam bersama Muhammad sebenarnya dimusuhi oleh Kaum Quraish bukan sebab ajaran teolog yang dibawanya. Namun, Islam dimusuhi akibat nilainya yang menyebabkan egiter. Hal ini nantinya mempengaruhi perekonomian Kaum Quraish pada saat itu. Memang dahulu kala Kaum Quraish dikenal dengan usahanya dalam bidang perbudakan. Kedatangan Islam yang egaliter menyebabkan mereka kehilangan bisnis tersebut.
Konsep hamba sahaya dengan tuannya (perbudakan) adalah bentuk mapannya relasi kuasa pada saat itu. Kedatangan Muhammad sedikit demi sedikit merusak tatanan tersebut. Hingga pada akhirnya konsep perbudakan dihilangkan.
Mari kita bawa tatanan tersebut dalam konteks Muhammadiyah. Perjalanan K.H. Ahmad Dahlan sejatinya adalah merusak status quo pada saat itu. Organisasi Muhammadiyah menjadi alatnya. Setidaknya Ahmad Dahlan melawan imperalisme Belanda dan feodalisme masyarakat lokal pada saat itu.
Hegemoni yang dilakukan oleh Muhammadiyah cuup cerdas waktu itu, melalui dua aspek dasar kehidupan yaitu pendidikan dan kesehatan. Sampai saat ini, ada 334 sekolah didirikan oleh Muhammadiyah yang tercatat oleh Dikdasmen Muhammadiyah. Sedangkan, ada 126 Rumah Sakit yang beroperasi oleh Muhammadiyah.
Pada dasarnya, pendidikan dapat menjadi alat hegemoni dan konter terhadap kekuasaan yang otoritarian. Istilah yan dipopulerkan oleh Paulo Fiere sebagi dehumanisasi pendidikan. Dehumanisasi dalam pandangan Paulo Freire (2002) adalah suatu bentuk ungkapan nyata yang menunjukkan terjadinya proses alienasi dan dominasi. Proses alienasi terjadi berbarengan dengan dominasi sebuah struktur kekuasaan atas suatu obyek dengan tujuan melanggengkan status quo.
Muhammadiyah dapat hadir sebagai antitesa dari dehumanisasi tersebut. Dengan menhadirkan sekolah dan sebagainya. Belakangan organisasi mahasiswa juga muncul sebagai pendidikan alternatif. Saya masih percaya kurikilulum di Indonesia masih gagal menciptakan narasi kritis, bahkan hadir sebagai doktrin terhadap kekuasaan.
Saya masih teringat dengan pidato wahda dari Tokoh IMM dalam pembukaan Musykom di salah satu komisariat cabang Gowa.
“IMM hadir sebagai pendidikan alternatif, ketika kampus gagal melahirkan kesadaran kritis dalam diri mahasiswa” pungkasnya.
Sayangnya, Muktamar kemarin tidak mencerminkan narasi tersebut. Belum lagi pada persoalan Pemilu 2024 kemarin yang melibatkan ortom ortom angkatan muda Muhammadiyah. Tidak ada yang salah soal keberpihakan para kakanda ketum ketum sekalian. Namun, nihilnya literasi maupun cerminan ideologisasi mempengaruhi kisah perpolitikan IMM. Kegagalan melahirkan diskurusus dalam Pemilu 2024 juga diikuti oleh IMM pada Muktamar muktamar belakangan.
Bahkan, kita lebih sering mendengar berita bentrok dibanding narasi visi misi dan tujuan IMM ke depannya di Muktamar kemarin. Untuk kakanda yang terpilih dan menasbihkan dirinya, selamat telah menunaikan Muktamar.
Namun, tugas kakanda sekalian belum selesai disitu.
Kakanda dan yunda sekalian, saya hanya mengingatkan kembali misi awal IMM adalah kaderisasi, peningkatan kuantitas kader dan kualitas kader sangat diperlukan.
Saya ingin membagi persoalan tersebut menjadi dua bagian,
Pertama, masalah kuantitas kader.
Saya disini berbicara sebagai seoarang kader yang tumbuh dari lingkungan non-PTM. Beberapa kakanda formatur terpilih pasti tau persis bagaimana menghidupkan IMM di lingkungan seperti itu. Melakukan pengkaderan tanpa dana dan fasiitas yang jelas menjadi masalah tersendiri. Namun, bukan itu yang menjadi masalah.
Hal yang sulit dilakukan adalah membicarakan bagaimana membujuk manusia manusia yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa untuk terlibat dalam IMM. Kakanda dan yunda sekalian…
Kami memperkenalkan IMM sebagai organisasi ideologis yang menjanjikan membawa perubahan kolektif pada setiap orang sesuai tujuan awal IMM. Jika melihat persoalan dan dinamika yang tidak melibatkan unsur ideologis. Maka, akan sulit rasanya menceritakan perdebatan tersebut yang jatuhnya pada hal pragmatis.
Kedua, masalah kualitas kader.
Selepas berhasil membujuk orang- orang terlibat dalam IMM. Persoalan belum selesai disitu. Saya ingin kembali membicarakan dehumanisasi oleh Piere. Pertanyaan kenapa kit perlu belajar pendidikan kritis akan sulit dicapai dengan gabaran dinamika perpolitikan yang ada.
Memikirkan permasalahan tersebut pada dasarnya adalah PR bersama. Namun, para elitis IMM diharap mampu menjadi patron dalam gerakan ideologisasi. Saya teringat dengan tulisan Murtada Murtahari, ideologi memerlukan patron sebagai cerminan ideologi tersebut. Melihat Muhamamd adalah melihat Islam, melihat Muhammadiyah adalah melihat K.H. Ahmad Dahlan atau Haedar Natsir saat ini. Sekarang siapa cerminan patron IMM? Orang akan mudah menyebut nya beban itu ada pada ketua umum dan elitis yang ada. Jika orang orang tersebut tidak memberikan cerminan yang baik. Maka kita akan kesulitan menjalankan tugas dan misi IMM kedepannya.
Untuk kakanda dan ayunda yang dipilih dan menasbihkan diri sebagai elitis IMM. Besar harapan kami agar tidak menjadikan IMM sebaai lompatan karir semata, tapi sebuah tujuan besar yang ditujukan untuk bersama.
Kakanda dan ayunda sekalian, kita bisa sepakat bahwa demokrasi bangsa ini betul betul cacat. Kami berharap agar IMM bisa membawa perubahan sesuai dengan cita-citanya.
*) Penulis adalah Kader IMM dan Persyarikatan Muhammadiyah