Oleh : Andi Hendra Dimansa*
Jusuf Kalla (JK) pernah mengungkapkan “Dwi Fungsi Pengusaha” untuk menunjukkan posisi pengusaha yang sangat strategis dalam berbagai lini kehidupan termasuk dalam dunia politik. Kendati pernyataan itu disampaikan oleh JK beberapa dekade lalu, saat menjabat sebagai wakil presiden. Tetapi, ada satu kenyataan yang hendak disampaikan JK mengenai supremasi pengusaha, namun oleh Rizal Ramli ditentang dengan istilah “Pengpeng” (Pengusaha Penguasa) sebagai bentuk kritik.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) salah satu organisasi pengusaha yang saat ini beberapa pentolannya memiliki jabatan strategis seperti Sandiaga Uno, Bahlil Lahadalia, Muhammad Lutfi, Erwin Aksa, Roslan Roslani dan Erik Tohir. Joko Widodo (Jokowi) secara terbuka juga mengakui dirinya sebagai kader HIPMI, apakah ini artinya kalangan pengusaha tengah mendominasi kehidupan termasuk dalam hal politik?
Jika melacak tokoh-tokoh depan layar yang banyak menghiasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 maka akan menunjukkan tokoh-tokoh HIPMI memiliki peranan besar. Secara garis besar pentolan-pentolan HIPMI berada di ketiga calon presiden sebagai bagian penting. Tetapi, pentolan HIPMI paling banyak di pasangan Prabowo-Gibran seperti Bahlil Lahadalia, Erwin Aksa, Muhammad Lutfi, Roslan Roslani, Akbar Buchari dan Erik Tohir. Sedangkan pada pasangan Ganjar-Mahfud terdapat Sandiaga Uno dan ada juga di Anies-Muhaimin.
Keberadaan pentolan-pentolan HIPMI dalam barisan pendukung terdekat kandidat calon presiden memberikan sinyal kuat betapa pengusaha mampu masuk lebih dalam ke dunia politik. Apakah itu memberikan efek kepada kehidupan demokrasi yang lebih baik? Salah satu kritikan mendiang Rizal Ramli terkait fenomena pengusaha sekaligus penguasa menyangkut kebijakan yang lebih menguntungkan usaha mereka sendiri. Dunia usaha yang seharusnya dijalankan secara fear tanpa keberpihakan penguasa, namun lebih menjamin kesetaraan dan kepastian dalam dunia usaha yang lebih baik.
Bila keterlibatan pengusaha dalam dunia politik lebih bersifat pragmatis tanpa ada kehendak yang bersifat idealis, maka dunia politik sedikit banyaknya akan berwatak oportunis sekedar mengejar keuntungan diri dan lingkaran usaha belaka. Bangsa Indonesia pernah memiliki ingatan yang baik terhadap kalangan pengusaha lewat Sarekat Dagang Islam (SDI). Bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum bumi putra di masa penjajahan, mengapa kaum pedagang yang memiliki kesadaran itu? Hal itu disebabkan oleh kepekaan kaum pedagang terhadap kenyataan sosial ekonomi yang berdampak kepada sosial politik.
Kalau dulu perkumpulan pengusaha lewat SDI mampu menunjukkan jati diri sebagai pejuang terhadap ketidakadilan, mengapa tidak peran itu dimainkan oleh HIPMI? Tetapi, apakah HIPMI mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan usaha mereka? Tentu waktu yang akan menguji itu semua. Negara yang baik tentu membutuhkan pengusaha, namun pengusaha yang baik tidak mengintervensi negara untuk menjamin kelancaran usaha mereka. Bukan berarti negara tidak membutuhkan peran dari pengusaha mengingat pengusaha memiliki latar belakang sebagai kalangan professional/teknokratik yang kemampuan itu juga diperlukan oleh negara. Batu ujiannya mampukah pentolan-pentolan HIPMI menanggalkan kepentingan usaha mereka saat terserap dalam lingkungan kekuasaan.
Ada banyak contoh baik yang ditunjukkan oleh kalangan pengusaha dalam mengabdikan dirinya dalam kehidupan bernegara. Tetapi, apakah kualitas yang baik itu masih dimiliki oleh pengusaha saat berada di lingkaran kekuasaan? Mungkin ada baiknya kita menimbah ilmu dari Bung Hatta dengan latar belakang ilmu ekonomi dan berpengalaman sebagai bendahara saat aktif di organisasi, namun dalam pikiran dan tindakannya masih memikirkan ekonomi yang berkeadilan dalam bentuk koprasi. Mampukah pengusaha belajar teladan dari Bung Hatta?
*) Penulis adalah Alumni Filsafat UIN Alauddin Makassar dan Ketua Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Kabupaten Sinjai