Oleh : Andi Hendra Dimansa*
Kenyataan pasca-Pemilu 2024 akan membawa beberapa dampak baik secara politik maupun secara hukum. Secara politik terlah menunjukkan kenyataan yang menarik sekaligus menimbulkan pertanyaan. Kenyataan bahwa Partai Nasional Demokrat (Nasdem) lewat Ketua Umum Surya Paloh telah memberikan selamat kepada presiden dan wakil presiden terpilih yakni H. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Tetapi, apakah ucapan selamat itu tanda awal keinginan Nasdem untuk bergabung kepada koalisi Prabowo-Gibran?
Secara sigap Prabowo mengunjungi Surya Paloh di Nasdem Tower, bak gayung bersambut setelah Surya Paloh mengucapkan selamat. Apakah ini akan berlanjut menjadi bagian dari koalisi? Selain itu, yang menarik pernyataan Prabowo bahwa “Ketua Partai harus bersatu”. Kenyataan lain juga, perlahan membuka Pandora-nya berupa gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pasangan presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, begitu pula oleh pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang turut menggugat.
Bila melihat dan berkaca pada Pemilu 2019 saat Jokowi dan Prabowo bertemu sekaligus saling bergabung dalam koalisi pemerintah. Apakah hal itu akan diulang kembali oleh Prabowo? Siasat merangkul setelah pemilu menjadi kenyataan yang sering dilakukan oleh partai dan tokoh politik guna mendapatkan tempat pada pemerintahan baru. Apakah itu baik bagi demokrasi? Alasan persatuan dan stabilitas kerap menjadi alasan pamungkas yang digunakan dalam membungkus peristiwa politik praktis yang “pragmatis”.
Tampak budaya demokrasi masih sekedar kelakar dengan jargon-jargon yang masih dangkal dan cenderung mengaburkan kenyataan. Misalnya, suara rakyat adalah suara Tuhan, rakyat adalah prioritas dan demi rakyat, menjadi jargon-jargon yang bertebaran, namun tidak memiliki kenyataan. Menerima hasil pemilu tidak lantas berarti kesiapan untuk bergabung kepada pemenang, lalu berkuasa bersama. Apa arti pemilihan? Bila yang menang dan kalah akhirnya berbagi jabatan. Apakah itu artinya rakyat-lah yang mengalami kekalahan? Akibat pemilu hanya sekedar berburu siapa yang memperoleh suara tertinggi, lalu elit saling berkompromi.
Prabowo-Gibran memiliki kekuatan partai pendukung yang banyak termasuk partai parlemen maupun non-parlemen. Kalau setiap partai pendukung akan memperoleh jabatan maka setelah ada anggota koalisi yang baru bergabung, secara praktis akan ada anggota koalisi yang berkurang jatahnya. Demikianlah kompromi politik akan menyajikan pemandangan elok di panggung depan, namun di balik layar menimbulkan gejolak internal. Apakah kasus Jokowi merangkul Prabowo 2019 berdampak kepada PDIP hari ini? Tentu dampak itulah yang tersaji hari ini.
Kalau Prabowo kembali merangkul partai-partai parlemen guna mendominasi kekuatan parlemen demi jaminan berjalannya semua program-programnya. Secara kalkulasi politik bukan hanya menguntungkan Prabowo, namun juga partai yang merapat pasca-pemilu. Kenyataan itu akan berdampak besar bukan hanya secara politik, namun lebih jauh terhadap budaya demokrasi di Indonesia. Partai-partai belum cukup puas dengan kekuatan dan kenyataan pasca-pemilu, bahwa terdapat partai yang kalah, memang suatu hal yang harus diterima. Kemudian mengevaluasi diri. Bukan malah sibuk mencari jalan merapat kepada pemenang, lalu rakyat sebagai pemilih kehilangan pegangan terhadap partai.
Kenyataan yang terseingkir pasca-pemilu tidak lain, adalah rakyat. Mengingat belum ada partai-partai yang memiliki kesiapan dan kesigapan ideologi untuk bertahan dengan prinsip-prinsip yang diperjuangkan. Kondisi ini sekaligus memberikan pertanyaan, apakah budaya demokrasi/kekuasaan di Indonesia membuka ruang untuk “bersahabat” kepada pihak-pihak yang kalah? Selain PDIP belum ada yang benar-benar teruji.
Kompromi politik akan berdampak kepada perilaku KKN yang ditandai dengan menambah jabatan baru guna mengakomodir teman koalisi. Secara praktis menimbulkan dan menghasilkan orang-orang yang tidak kompeten untuk jabatan tersebut, sekedar memenuhi pembagian jabatan. Kalau ini yang akan terjadi, maka rakyat bisa mengatakan “kita kembali tersingkir”.
*) Penulis adalah ketua Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Kabupaten Sinjai dan Alumni Filsafat UIN Alauddin Makassar