Oleh : Muh. Gulam*
Pendahuluan
Indonesia, negara kepulauan dengan bentang alam yang memesona, menyimpan paradoks yang memilukan. Di balik gemerlap kota metropolitan dan keindahan pantai nan eksotis, tersimpan realita pahit mengenai ketimpangan pendidikan, terutama di kawasan tertinggal. SD 31 Duampanua di Dusun Tanroe, Desa Bababinanga, Kabupaten Pinrang menjadi cerminan nyata kondisi tersebut. Atap yang bocor, lantai yang lapuk, dan minimnya fasilitas belajar, bukan pemandangan asing di sekolah ini. Kondisi yang memprihatinkan ini diperparah dengan keterbatasan guru berkualitas dan akses yang sulit. Seperti yang diungkapkan dalam laporan “Kondisi Pendidikan di Kawasan Tertinggal Tahun 2023” oleh Kemendikbudristek, infrastruktur, aksesibilitas, dan sumber daya manusia menjadi tantangan utama.
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya “Ketimpangan Pendidikan di Indonesia: Sebuah Kajian Sosiologis” (2017), menjelaskan bahwa kesenjangan ekonomi, sosial, dan geografis menjadi akar permasalahan. Akibatnya, seperti yang disoroti Dr. H. Muh. Nasir, M.Si. dalam “Pendidikan di Kawasan Tertinggal: Tantangan dan Solusi” (2020), kualitas pendidikan menurun, berdampak pada masa depan anak-anak. SD 31 Duampanua adalah potret buram, namun sekaligus menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah hak asasi.
Pembahasan
Kondisi memprihatinkan SD 31 Duampanua menjadi pengingat bahwa hak asasi anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas masih terganjal oleh berbagai hambatan. Bangunan sekolah terbuat dari kayu dengan dua ruangan, satu untuk kelas dan satu untuk ruangan guru tidak cukup bagi siswa-siswi menjalani pelajaran. Para siswa di gabung dalam satu kelas terdiri dari kelas 1 sampai 5, Hal ini membuat siswa sulit memahami pelajaran.
Kondisi bangunan sekolah SD 31 Duampanua jauh dari kata layak. dimana bangunannya terbuat dari kayu yang hampir rapuh. Salah satu warga mengatakan bahwa siswa harus membayar 25 ribu untuk memperbaiki sekolah setiap 1 tahun sekali. minimnya fasilitas belajar menjadi rintangan bagi para siswa untuk menimba ilmu dengan nyaman. Hal ini merupakan menjadi tugas pemerintah dalam mengatasi kondisi pendidikan di Dusun Tanroe. Infastruktur jalan menuju SD 31 Duampanua sangat tidak layak karena harus melewati jalan pinggir tambat warga yang dimana jalannya sempit dan tidak bisa dilewati saat musim hujan. Ini menjadi kendala dari guru-guru dalam mengajar di SD 31 Duampanua Dusun Tanroe. Guru-guru yang berdedikasi pun tak kuasa melawan keterbatasan, berjuang tanpa henti untuk memberikan pendidikan terbaik bagi para siswa di Dusun Tanroe. Kondisi ini tak pelak berdampak pada kualitas pendidikan. Semangat belajar para siswa terkikis, digantikan rasa frustrasi dan kekecewaan. Mimpi mereka untuk meraih masa depan yang cerah seakan tergadaikan di tengah keterbatasan.
Penutup
SD 31 Duampanua bukan lagi simbol ketimpangan, melainkan simbol kebangkitan dan harapan. Kita tak boleh tinggal diam. Diperlukan perhatian serius dari pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan seluruh elemen masyarakat untuk membangkitkan kembali harapan di sekolah ini. Mari jadikan jeritan ini sebagai pengingat, bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap anak bangsa, tanpa terkecuali. Mari bergandengan tangan, bahu membahu, demi masa depan pendidikan yang lebih cerah dan merata bagi seluruh anak bangsa.
*) Penulis adalah peserta Pelatihan Advokasi (PEKA) KMP-UNHAS