Oleh : Andi Hendra Dimansa*
Teori-teori bernegara telah menguraikan bahwa kekuasaan tidak absolut dan terbagi dalam tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan itu muncul sebagai akibat dari peristiwa revolusi Prancis yang menghendaki kebebasan, persamaan dan kemanusiaan. Efek dari revolusi itu menimbulkan berbagai pemikiran bernegara, berdemokrasi dan berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Kurang lebih dalam konteks Pilkada yang muncul pasca reformasi yang menghendaki desentralisasi atau otonomi daerah. Yang memberikan peluang bagi daerah mengurus diri-nya, tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pusat. Ruang daerah mengelola dan menata sesuai dengan kebutuhan sekaligus berbasis aspirasi masyarakat. Tapi, apakah kenyataan itu demikian dalam praktik-nya?
Otonomi daerah sebagai buah dari reformasi belum seutuhnya dirasakan, mengapa demikian? Bila dicermati semenjak pelaksanaannya pasca 2004 atau tepatnya 2006, Pilkada yang dilakukan secara langsung telah melahirkan “raja-raja kecil” di daerah. Kendati ada hasil dari otonomi daerah lewat Pilkada langsung yang menghasilkan pemimpin yang bagus. Tetapi, dalam perjalanannya tidak sedikit juga menghasilkan dinasti-dinasti dan banyak yang ikut terjaring KPK.
Agenda otonomi daerah teralihkan kepada oligarki daerah yang juga ikut bersimbiosis-mutualisme dengan kepentingan partai politik yang tersentral di pengurus pusat. Otonomi daerah terlelap dan terjerembab jauh, partai politik tidak lagi melihat dinamika dan kebutuhan daerah secara proporsional. Tidak ada partai politik yang memberikan dukungan atau usungan calon secara gratis maupun melihat kualifikasi.
Masyarakat hanya disuguhkan calon oleh partai politik, tanpa melihat dan memahami apakah yang diajukan tersebut memiliki kualifikasi untuk mengurus dan
menyelesaikan persoalan di daerah? Efek dari suguhan calon yang belum memahami kondisi daerah, akan menimbulkan praktik lain yang jamak disebut politik uang. Calon yang tidak memiliki kualifikasi dan tidak punya jejak bersentuhan dengan masyarakat mengambil jalan pintas. Politik uang menjadi jalan yang bisa “memuluskan” harapan untuk menjadi kepala daerah.
Kemudian rata-rata daerah yang kini jadi kota atau kabupaten dulunya merupakan kerajaan. Jadi, secara kultur masih kental nilai-nilai feodal dan yang menjadi pemimpin masih “mengimajinasikan” diri sebagai raja. Karena itu, pengelolaan daerah masih jauh dari harapan yang memberikan peluang bagi yang memiliki kualifikasi dan meritokrasi.
Coba perhatikan perkembangan Pilkada 2024 yang akan diselenggarakan, siapa yang membutuhkan Pilkada itu? Hampir pasti rakyat tidak ikut bergumul dalam proses itu, hanya sebagian kecil orang yang terlibat. Mereka yang punya partai atau uang-lah yang terlibat secara aktif. Lalu, mengapa itu disebut demokratis? Padahal, rakyat hanya diminta berpartisipasi di ujung untuk melihat akumulasi dukungan yang diperoleh.
Secara prosedural itu dikatakan demokratis untuk tidak mengatakan secara langsung sebagai sekedar simbolis.
Saat-saat ini, orang yang berkeinginan berkompetisi di Pilkada 2024 akan disibukkan untuk memperoleh rekomendasi dari partai politik dan hal itu ditentukan di Jakarta. Jadi, untuk melihat siapa-siapa yang akan maju akan terlihat lalu-lalang di kantor-kantor partai. Rakyat cukup untuk sementara melihat baliho dan atribut kampanye lainnya tersebar sekaligus menghiasi jalan-jalan.
Kalau melihat pelaksanaan otonomi daerah masih jauh dari harapan, selanjutnya praktik Pilkada langsung juga belum menghasilkan pemimpin daerah yang cakap dalam mengembangkan daerah. Lalu,mengapa harus ada Pilkada? Bukankah pengalaman membuktikan kepala-kepala daerah akhirnya berakhir di Rutan KPK. Pikiran alternatif meski dilontarkan dan mengambil jalan perbaikan semestinya dilakukan.
*) Penulis adalah Peneliti Public Policy Network