Beranda Fajlurrahman Jurdi Syamsul Bachrie, Guru Yang Bijaksana

Syamsul Bachrie, Guru Yang Bijaksana

0
Fajlurrahman Jurdi
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Syamsul Bachrie, guru besar Fakultas Hukum Unhas, adalah lelaki bersahaja, bawaannya tenang, merangkul semua orang, dan kelembutan hatinya, membuat mahasiswa banyak yang terkesan. Lelaki dengan usia senja, yang menapaki karir dosen sejak masih muda, telah melahirkan banyak sarjana. Di bawah asuhannya, selalu kesan baik yang ditinggalkan.

Lelaki ini, tak pernah terlihat marah, selalu memanggil dengan suara lembut. Sifatnya ini melekat bersama setiap mahasiswa yang dibimbingnya. Setelah di yudisium, biasanya, Prof Syamsul akan mengirimkan pesan lagi secara personal, “langsung lanjut nak, potensi mu sangat baik, kamu harus sekolah terus”. Atau kalimat serupa yang ia kirim secara personal kepada mahaswa yang ia bimbing.

Saya adalah salah satu anak asuhnya, dengan segenap hati, beliau tak pernah sama sekali suaranya tinggi, nadanya selalu rendah, sikapnya bersahaja dan caranya yang selalu berkesan. Beliau selalu memulai dengan kata pembuka “mohon maaf”. Jika mengirim pesan via WA Masengger, kalimatnya dibuka dengan “mohon maaf”. Caranya ini membekas pada hati setiap orang, dan ia memang seorang guru. Merendah, mengayomi, menjaga kalimat dan ucapannya, serta berhati-hati sekali dalam melontarkan kalimat. Prof Syamsul selalu memuji, tak pernah merendahkan, dan pujian itu menunjukan ia adalah seorang guru. Guru yang baik, bijaksana dan tenang.

Hari ini, lelaki bersahaja itu akan memasuki usia pensiun, usia purna bhakti, suatu usia yang panjang. Perjalanan yang tidak mudah, dengan waktu yang lama, diatas semua ujian dan tempaan, lelaki kelahiran Sinjai 20 April 1954 ini akan mengakhiri pengabdiannya sebagai abdi negara dengan rekam jejak yang ‘sempurna’. Pencerahan, penyadaran dan pemahaman telah ia trasnformasi puluhan tahun, dan para muridnya telah menyebar di seluruh pelosok negeri.

Syamsul Bahcrie adalah mantan dekan Fakultas Hukum, suatu jabatan penting di tingkat Fakultas. Beliau juga pernah menjadi direktur Pasca Sarjana Unhas dan terakhir sebelum purna bhakti, beliau menjadi wakil ketua Majelis Wali Amanat Unhas. Jabatan-jabatan itu menjadi pertanda, bahwa beliau lelaki dengan segenap kesibukan yang luar biasa, tetapi tak pernah lupa pada kewajiban utamanya, mengajar dan mentranformasikan ilmu pengetahuan pada mahasiswa.

Sebagai sebuah upacara perpisahan, Pidato purna bhaktinya cukup penting bagi saya, sebab sebagai ahli hukum tata Negara, sang professor menyinggung tema penting yakni Pengadilan Konstitusi dan Konstitusionalisme di Tengah Dinamika Politik. Pidato ini penting, sebab MK adalah pengadilan konstitusi, yang oleh Syamsul Bachrie, tidak saja mengadili teks UUD, tetapi lebih jauh dari itu, dasar-dasar konstitusionalisme menjadi incarannya.

Syamsul Bachrie memulai pidato itu dengan kalimat pembuka dan rasa hormat kepada semua pihak, sebelum ia merambah pada substansinya. Menurutnya, Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD NRI tahun 1945, MK sebagai lembaga peradilan konstitusi tidak berdiri dalam ruang hampa sosial dan politik. MK selalu berada dalam relasi yang bersinggungan dengan kekuasaan. Guru besar Fakulas Hukum ini menegaskan bahwa MK diberi perkakas, yakni empat kewenangan dan satu kewajiban.

Pertama, Kewenangan Menguji Konstitusionalitas UU terhadap UUD NRI tahun 1945. Kewenangan ini merupakan kewenangan yang memiliki relasi politis dengan DPR dan Presiden. Pasal 20 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 menyebutkan, bahwa; “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Itu artinya, produk legislasi DPR dan Presiden adalah konsensus politik. Sebagai keputusan politik, jika punya celah, warga negara yang merasa dirugikan akibat konsensus itu harus mengambil langkah hukum yakni menggugat ke MK.

Dengan demikian, MK akan mengadili produk politik DPR dan Presiden, yang tidak lain adalah kamar kekuasaan tersendiri dalam lingkup cabang kekuasaan trias politica. Dalam konteks ini, relasi kuasa antara tiga institusi ini akan menjadi pertanyaan publik, sebab bisa muncul pertanyaan, akankah putusan MK dalam mengadili UU terhadap UUD NRI tahun 1945 bisa imparsial?.

Pada sisi yang lain, rekruitmen hakim konstitusi juga berasal dari institusi politik. Pasal 24C ayat (3) UUD NRI tahun 1945 menegaskan bahwa: “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”. Dari sisi unsur hakim, juga terdapat aktor yang diusulkan oleh lembaga politik, yakni DPR dan Presiden.

Dengan nada skeptis, sang Profesor mengatakan, bahwa relasi kuasa antara MK dengan kekuasaan politik menjadi tidak terhindarkan, sehingga bisa mempengaruhi imparsialitas dan independensi hakim konstitusi. Untuk itu, Ia mengusulkan, agar pengisian jabatan hakim konstitusi harus dijauhkan dari anasir-anasir politik. UUD NRI tahun 1945 khususnya pasal 24C ayat (3) harus diubah dengan menghilangkan unsur kekuasaan politik di dalamnya, yakni DPR dan Presiden.

Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Bagi Syamsul Bachrie, dalam kewenangan ini, terdapat dua lanskap yang tidak dapat dihindari, yakni relasi hukum dan politik. Kewenangan antar lembaga negara berada dalam lanskap hukum administratif, sementara pada sisi yang lain, lembaga-lembaga negara ini sebagian besarnya di isi dengan jabatan politik. Misalnya jabatan menteri negara, di isi dengan mekanisme politik, sebab Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa; Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, dan Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Disamping itu, terdapat pula lembaga-lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh Konstitusi.

Relasi kuasa kewenangan MK dengan institusi lain dalam “sengketa kewenangan” akan mengalami dinamika yang cukup penting secara politis. Atas dasar argumen itu, maka MK harus benar-benar sebagai penengah yang netral untuk menafsir makna konstitusi. Hakim MK harus memahami, bahwa UUD NRI tahun 1945 yang tertulis adalah statis, dan ia harus menggunakan pendekatan konstitusionalisme, agar makna konstitusi yang substantif bisa digali. Sebab itu, hakim MK haruslah manusia “setengah dewa” yang memahami denyut nadi konstitusi.
Ketiga, Kewenangan lain MK adalah memutus pembubaran partai politik. “Partai politik adalah institusi pure politik. Dengan demikian, pembubaran partai politik akan meningkatkan intensi politik para pihak terhadap MK”, demikian sang profesor menguraikan.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memuat pengertian mengenai partai politik. Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk secara sukarela atas dasar kesamaan, kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republk Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dijelaskan mengenai pembubaran dan penggabungan partai politik, dimana partai politik dapat bubar apabila terpenuhi tiga unsur yaitu: membubarkan diri atas keputusan sendiri; menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Perlu dipahami, posisi partai politik sebagai organisasi kepentingan yang memiliki legalitas untuk menduduki jabatan politik seperti di DPR akan berkaitan dengan eksistensi mereka apabila diperhadapkan pada proses peradilan. Bagaimanapun juga, tensi politik dan relasi kuasa tidak mungkin dihindari, sehingga hakim MK harus benar-benar imparsial. Sekali lagi, imparsialitas menjadi kata kunci dalam argumen Prof Syamsul.

Keempat, Kewenangan MK yang juga sangat penting adalah; “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Pemilu adalah merupakan peristiwa politik. UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan; Pasal 1 angka 1 undang-undang ini yang berbunyi: Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut pemilu sarana kedaulatan ratkyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945.

Jenis jabatan yang di isi dalam Pemilu adalah jenis jabatan politik, yang memiliki intensi politik yang cukup kuat. Di dalam pemilu, gesekan kepentingan dan kejahatan Pemilu tidak terhindarkan. Sementara, muara dari semua jenis pelanggaran dalam Pemilu diadili di MK. Itulah sebabnya, relasi kuasa politik MK dalam mengadil perselisihan halim Pemilu sangat kuat.

Kelima, selain empat kewenangan diatas, terdapat satu kewajiban MK, yakni; ”Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.

Kewenangan ini juga memiliki relasi kuasa yang kuat dengan sejumlah lembaga negara. Kita bisa bayangkan, bagaimana MK dapat bertahan dalam prinsip imparsialitasnya, sementara yang diadili adalah jabatan presiden. Presiden dalam sistem presidensial adalah pemegang kekuasaan kepala pemerintahan dan kepala negara sekaligus. Dua rumusan kekuasaan yang ‘maha besar’, melekat dalam satu jenis jabatan. Disamping itu, DPR sebagai kekuatan politik yang plural dan besar juga harus bisa diyakinkan.

Maka, tafsir hukum hakim MK harus melampaui kepentingan material, ia harus terus mencari hakikat tafsir itu melalui pendekatan transendetal. Bagi saya, hakim MK sebagai representasi separuh kaki Tuhan di Bumi, harus mampu melampaui kekuasaan manusia. Mereka harus mendekat kepada “yang adi kuasa”, dan yang “adi kuasa” itulah Tuhan. Dengan demikian, anasir politik dikurangi, dan pertimbangan prinsip konstitusionalisme harus dikedepankan. Jika tidak, putusannya akan memicu perang antara anak bangsa, sebab perebutan kekuasaan tidak akan segan menelan tumbal.

Setelah pidato purna bhakti, Prof Syamsul tidak mungkin berdiam tanpa memberi dan mencerahkan. Di usianya yang makin “menguning”, beliau akan tetap hadir sebagai cahaya yang menerangi ilmu pengetahuan. Cahaya itu akan selalu bersinar meskipun cuaca politik makin gelap, sebab ilmu pengetahuan adalah pemberi warna pada peradaban, dan prof Syamsul adalah aktor yang selalu menyalakan cahaya itu, jikan bukan ia sendiri yang akan menjadi cahaya.

Gelapnya tujuan ilmu hukum belakangan ini, juga tak menentunya penegakan hukum di belantara politik, telah memantik pertanyaan dari semua pihak. Masih adakah cahaya masa depan hukum di tengah muram durjanya wajah penegakan hukum?. Dan masih adakah aktor yang akan berdiri dan bersuara nyaring ditengah sepinya subyek yang mencerahkan di dunia hukum?. Maka, hadirnya manusia arif dan bijaksana seperti Prof Syamsul selalu di nantikan di setiap pergantian generasi. Zaman yang selalu berubah menuntut subyek yang selalu memahami dinamika yang selalu berganti.

Selamat kepada Prof Syamsul, terima kasih atas dedikasi dan luasnya samudra ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada kami. Semoga menjadi amal jariyah sepanjang masa.

*) Penulis adalah Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT