Oleh : Hasan Basri Baso*
Suasana jelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 mulai memanas. Usungan-usungan partai politik mulai mengerucut bahkan beberapa partai telah memutuskan untuk mengusung calon, arah dukungan koalisi partai politik pun semakin nampak. Netizen di dunia maya pun tak ketinggalan memberikan sikap terhadap pasangan kandidat yang bersaing merebut simpati rakyat. Kampanye dunia maya, kadang lebih dahulu sebelum jadwal resmi yang dirilis KPU.
Serupa di Makassar, sebagai salah satu kota yang ikut melaksanakan Pilkada serentak, warga dunia maya pun ikutan nyinyir dan saling sindir.
Seusai deklarasi pasangan Tim Pemenangan SADAPmi Danny Pomanto-Indira Mulyasari di Anjungan Pantai Losari, 22 November 2017. Serangan warga dunia maya semakin bermunculan. Opini menyebar dan semakin liar. Menggiring dan menggoeng persepsi, hingga bermakna bias.
Sebelum menulis opini ini, saya pun sempat memantau media sosial beberapa hari setelah deklarasi pasangan DIAmi tesebut. Salah satu akun yang cukup “nakal” bagi saya, yaitu
akun facebook yang mengatas namakan ‘chia’. Saya tidak tahu, apakah akun tersebut dikelola oleh pemilik aslinya ataukah cuma akun fiktif buatan orang tak bertanggung jawab? Saya tidak ingin membahas hal itu. Ataukah membahas akun tersebut perlu dilaporkan ke satuan cyber cryme, itu juga bukan domain saya. Toh, bukan saya yang dihina dan dicaci. Lalu, untuk apa tulisan ini? Minimal membuka pikiran si pemilik akun atau si pembuat tulisan, bahwa tak ada kata pengkhianatan, jika itu untuk kepentingan rakyat.
Berikut petikan akun tersebut, “……….., bagaimana caranya makassar jangan. mundur lagi calon wakilnya pengkhianat partai dan pengkhianat teman sendiri dia sudah menanda tangani surat dukungan sama Cicu ketua DPD nya NasDem Baru berhianat…….”
Menyimak tulisan ini, jelas mengarah pada “pembusukan karakter” bakal calon wakil Wali Kota Makassar, Indira Mulyasari Paramastuti, yang baru saja melakukan deklarasi berpasangan dengan petahana Danny Pomanto.
Mengenai tulisan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Pertama, budaya Makassar mengendapankan prinsip saling menghormati, menghargai, serta sopan santun yang lebih dikenal dengan Sombere’. Hal ini merupakan identitas dan berlaku dimanapun, baik dalam kondisi demokrasi atau perebutan kekuasaan sekalipun. Dengan demikian, sangat disayangkan budaya yang mampu membangun karakter dengan baik ini, malah dirusak oleh segelintir oknum yang ingin “tuannya” berkuasa.
Pada kondisi seperti ini, tentunya warga dunia maya dan juga warga Kota Makassar secara keseluruhan, tentunya sudah dapat menilai pemimpin yang dapat mengahrgai rakyat, menghormati rakyat dan Sombere’ terhadap rakyatnya. Sebab pemilih Makassar adalah pemilih yang cerdas dan cinta damai, tak termakan dengan hasutan belaka.
*) Penulis adalah ketua Tim Pemenangan SADAPmi







































