Beranda Berdikari Ekonomi Sosialisasi Perawatan Pasca Tanam Bibit Kopi Kelompok Tani Bukit Cindakko

Sosialisasi Perawatan Pasca Tanam Bibit Kopi Kelompok Tani Bukit Cindakko

0

Oleh : Idham Malik*

Rabu, 22 Januari 2020, sekitar 30-an warga Dusun Cindakko, Desa Bonto Somba, Kec. Tompobulu, Kab. Maros duduk-duduk beralaskan terpal di halaman rumput, beratapkan tenda biru di antara perbukitan hijau, dengan hikmat mendengarkan penjelasan Saldi, seorang tokoh muda penggiat kopi. Bersama rizal terdapat Om Rudi dan Om Peppeng. Mereka bertiga rela bersusah-susah menelusuri lereng-lereng bukit demi bertemu dengan para petani kopi Cindakko. Terdapat pula Pak Ahmad, yang merupakan perwakilan dari KPH Bulusaraung. Ahmad turut menjelaskan tentang  perhutanan sosial yang akan diterapkan di Dusun Cindakko.

Pada 1 Januari 2020, para petani kopi telah melakukan praktek penanaman kopi di 4 area, yaitu Lehe’, Calangga, Pattoengang dan Tengkulu. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari penanaman tersebut. “Pertemuan kali ini untuk membahas penanganan bibit kopi yang telah ditanam sebelumnya. Ke depan, setiap bulan akan dilakukan pertemuan untuk membahas lebih teliti tahapan-tahapan dalam budidaya kopi,” jelas Hamri Pasau, yang merupakan koordinator budidaya kopi Cindakko dari LPPM Wanua Panrita.

Saat ini para petani telah menerima bibit kopi sebanyak 500 bibit untuk setiap kepala keluarga. Jumlah bibit yang telah dibagikan kepada warga sudah sebanyak 22.000 bibit kopi. Bibit ini berasal dari lokasi pembibitan kopi di Desa Topidi, Malino, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan. Kegiatan ini tak lain merupakan aksi sosial dari PT. Pertamina yang difasilitasi oleh Komunitas Wanua Panrita.

Sosialisasi berlangsung sekitar dua setengah jam, dari pukul 10.00 wita hingga 12.30 wita. Cukup memberikan waktu kepada Saldi untuk menjelaskan secara sederhana cara budidaya kopi yang baik.

Pertama, pembuatan media pembibitan bibit kopi dengan komposisi pasir, tanah dan pupuk kendang yaitu 1:1:1. Setelah benih berkecambah, berumur sekitar 15-20 hari, bibit tersebut harus diberi atap atau ternaung dari sinar matahari. Atap dapat berupa daun pohon aren/tala.

Pada fase ini, petani melakukan perawatan, rumput-rumput yang ada di sekitar bibit selalu dibersihkan dan bibit secara berkala disiram, dan atap sebaiknya tidak tertutup rapat. Baru setelah bibit siap tanam, bibit dipindahkan ke hutan. “Pemindahan ke lokasi tanam harus melihat terlebih dahulu pertumbuhan bibit, jika belum siap, jangan dulu dipindahkan,” kata Saldi.

Fase berikutnya adalah fase penanaman, jarak tanam yang baik yaitu 2,5 hingga 3 meter perbibit. Jarak ini merupakan jarak ideal, sehingga masing-masing bibit dapat tumbuh dengan normal dan menyerap unsur hara yang ada dalam tanah. Cabang-cabang juga dapat berkembang ke samping, sehingga konsentrasi energi dapat terpusat ke buah kopi nantinya. Bagusnya ditanam di area yang banyak pohon peneduh, sehingga tidak langsung terpapar sinar matahari.

Bagusnya secara berkala dilakukan pemangkasan, batang yang mengarah ke atas dipangkas dengan menggunakan gunting, agar batang melebar ke samping. Pemangkasan ini tujuannya untuk mengarahkan nutrisi langsung ke buah. “Lebih baik sedikit buah tapi daging padat, daripada banyak buah tapi tidak padat,”jelas Saldi.

Dalam perawatan, tidak dianjurkan untuk menggunakan pupuk kimia, karena dapat mempengaruhi rasa kopi. “Rasa asli kopi akan menghilang jika sudah menggunakan pupuk kimia,”tambah Saldi. Jadi, lebih baik menggunakan pupuk organik dalam perawatan. Pemberian pupuk hanya di awal-awal saja, tapi setelah tanaman kopi sudah agak besar, dan akarnya sudah menghunjam ke dalam, tidak perlu lagi diberi pupuk, karena akar tanaman kopi sudah mampu mencari nutrisi sendiri dalam tanah.
Buah pertama kopi pun dapat menjadi pupuk, dengan cara membiarkan buah pertama jatuh sendiri ke tanah, dan buah tersebut dengan sendirinya menjadi pupuk. Baru pada pembuahan berikutnya, dimana rentang pembuahan antara bulan April – Oktober, bisa diambil buahnya.

Sedangkan untuk memberantas hama, tanaman kopi pada dasarnya tidak memiliki banyak musuh, karena ia tumbuhan liar. Hama umumnya hanya semut, dapat diberantas dengan menggunakan pestisida organik, yang diperoleh dari bahan-bahan alami dalam hutan.

Jadi, soal rasa ini, kata Saldi, akan ada perubahan pada tahun-tahun berikutnya. Ada kemungkinan rasa kopi akan semakin menguat. Boleh jadi, pada tahun kedua buah kopi tidak sebanyak tahun pertama pembuahan. Sebab, hal itu sebagai adaptasi untuk persiapan penguatan rasa pada siklus tahun berikutnya.

Pada pertemuan ini, tidak banyak diskusi dengan petani, sehingga kegiatan ini perlu ditindaklanjuti dengan pendampingan langsung di lapangan. Ada baiknya juga, ke depan dilakukan sesi diskusi melalui model FGD (Focus Group Discussion), sehingga petani sebagai sumber informasi, pemateri dapat berubah fungsi menjadi fasilitator sekaligus dapat menanggapi secara langsung komentar-komentar dari para petani.

Kegiatan ini sangat ditunggu oleh warga Cindakko, mengingat perlunya alternatif ekonomi di samping sawah padi, aren, dan juga madu. Dengan hadirnya kopi yang dapat tumbuh di sela-sela hutan, para petani tidak lagi berfikir untuk eksploitasi hutan melalui konversi lahan menjadi kebun ataupun sawah.

Kopi pun menjadi trend saat ini dan telah dinobatkan menjadi minuman terlaris nomor dua setelah air putih. Karena itu, dengan budidaya kopi ini, apalagi dengan kualitas rasa yang bagus dan dapat dipertahankan, Warga Cindakko akan memberikan warna baru bagi rasa kopi kepada dunia. Cindakko tidak lagi dikenal sebagai pelosok, terpencil, tidak terdidik, tapi dikenal sebagai penghasil kopi terbaik di Sulawesi, dan juga mungkin juga dunia.

*) Pemerhati Pendidikan Pelosok Maros

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT