Oleh : Taufik Hidayat*
World Health Organization (WHO) telah menetapkan coronavirus disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi yang menjangkit dan menjalar ke Negara-negara di dunia dan seluruh benua. Keberadaan COVID-19 telah menjadi malapetaka yang menghantui masyarakat dunia saat ini, betapa tidak wabah yang datang dan menyerang umat manusia dalam waktu bersamaan ditambah dengan penularan virus yang cepat menyebabkan korban terinfeksi meningkat dalam jumlah besar dengan waktu singkat. Disinilah titik masalah Negara, korban terinfeksi dengan jumlah besar dalam waktu bersamaan menuntut Negara bertindak cepat dan tepat dalam melawan musuh tak bersejata nuklir ini. Tindakan yang dipilih Negara menjadi penentu kelangsungan hidup rakyatnya. Negara diharapkan menjadi pelindung rakyat dari pandemi ini, tak terkecuali Indonesia yang juga telah terinfeksi virus mematikan. Kasus pertama yang terjadi di Indonesia menimpa dua warga Depok, Jawa Barat, yaitu seorang ibu dan anaknya yang langsung diumumkan di gedung kebesaran Istana Negara pada 2 Maret 2019. Pada hari itu dengan penuh percaya sang Presiden mengumumkannya, seperti tak melihat bahwa hari itu ada pesan yang harus didengarkan oleh telinga kekuasaan.
Hari ini tepat 31 Maret 2019 136 rakyat Indonesia telah menjadi korban keganasan virus ini dan 1.528 yang berstatus positif terinfeksi. Tentu jumlah-jumlah ini akan bertambah diakibatkan masih banyaknya pasien yang berstatus ODP dan PDP. Tentunya jumlah ini bukan hanya nilai statistik belaka, tapi jumlah ini telah memberikan isyarat bahwa Negara kita dalam keadaan yang mengkhawatirkan dan memperihatimkan mereka adalah warga Negara Indonesia, saudara sebangsa da se-tanah air kita. Melihat Perkembangan jumlah kematian, positif terinfeksi yang sampai hari ini teru mengalami pertambahan signifikan telah mengonfirmasi bahwa Negara dalam keadaan tidak siap untuk menjaga dan melindungi keselamatan warga negaranya. Melindungi segenap tumpah darah Indonesia pada hakikatnya telah memberikan makna bahwa Negara memiliki tanggungjawab moral memastikan rakyatnya dalam keadaan yang aman, itulah gunanya bernegara, untuk apa kita bernegara jika ketakutan terus datang menghantui pikiran kita. Kegelapan itu telah datang bukan waktunya kita mengutuk kegelapan itu tetapi harus berikhtiar untuk menyalakan pelita menghilankan kegelapan ini.
Tepat hari ini pula diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keputusan presiden tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Terbitnya dua peraturan perundang-undangan ini yang pada hari sebelumnya menyebut kata darurat sipil tentulan hal ini semakin menambah gaduh keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Hal yang tidak elok dan tak pantas keluar dari mulut seorang presiden di waktu rakyat membutuhkan sentuhan-sentuhan tindakannya untuk mengatasi pandemic COVID-19 ini. Penerbitan PP dan KEPPRES tersebut yang setidaknya membuat rakyat menunnggu 29 hari, hal inilah membuat pemerintah lamban mengambil tindakan. Menunggu jatuhnya korban jiwa yang begitu besar barulah pemerintah memberlakukan ketentuan UU No 6 Tahun 2018 ini. Pada hakikatnya jika melihat rumusan pasal 1 ayat (2) undang-undang ini sudah dapat dilaksankan jauh-jauh hari. Amanat undang-undang ini juga dapat ditafsirkan setelah terjadi kasus pertama pada 2 maret 2019 seharusnya pemerintah telah melakukan penelitian terlebih dahulu untuk menetapkan jenis penyakit dan faktor resikonya. Akan tetapi, hal ini dihiraukan pemerintah, dapat kita lihat dari dasar penetapan kedaruratan kesehatan yang hanya melihat dari besarnya jumlah yang telah menjadi korban, bukan berdasarkan perhitungan resiko sesuai amanat Pasal 10 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018 atau dengan melihat Negara yang terdampak lebih dahulu seperti di wuhan, China.
Langkah pemerintah dengan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah untuk memilih dan menerapkan kebijakan. Seharusnya yang diterapkan adalah karantina wilayah sebagai langkah efektif jika Negara memang bersunggu-sungguh untuk mengatasi pandemic dalam waktu cepat, hal ini dilakukan untuk menekan jumlah korban yang semakin hari akan bertambah. Mengapa karantina wilayah, karena karantina wilayah berdasarkan UU No 6 Tahun 2018 lebih mendekati unsur pasal dibandingkan dengan kebijakan PSBB. Dapat kita lihat pada Pasal 53 ayat (2) bahwa, karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Pada realitas saat ini hasil laboratorium telah ada, dan membuktikan bahwa terjadi penyebaran penyakit tentulah hal ini telah memenuhi pengambilan kebijakan karantina wilayah. Tetapi presiden malah sebaliknya menetapkan pembatasan sosial berskala besar yang tidak memenuhi unsur penentuan kebijakan berdasarkan realitas saat ni. Kesalahan ini adalah kesalahan yang disengaja mengapa demikian, mengingat jika yang ditetapkan adalah karantian wilayah maka konsekuensinya selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup rakyat dan bahkah makanan hewan ternaknya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Kembali lagi Negara kita dalam keadaan tidak siap dan tak ingin berkorban untuk rakyatnya, dimanakah Salux Populi Suprema Lex itu? Bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
*)Penulis adalah ketua bidang kader IMM Fakultas Hukum Unhas