Oleh: Ermansyah R. Hindi*
Di suatu kampung, delapan orang dari sekeluarga dicurigai oleh penduduk setempat mengalami kerasukan setan. Kedelapan orang menggorok leher anak gadisnya dan tewas. Momen kelahiran tembok yang terakhir memasuki irasionalitas figur iblis. Tidak sedikit tindakan irasionalitas dari kerasukan setan terjadi di tempat lain. Tindakan irasionalitas lebih dekat dengan suatu peristiwa kegilaan sebagai akibat dari akutnya delirium paranoid atau schizofrenia secara individual dan kolektif. Tetapi, kesempatan kita ini tidak untuk membicarakan tentang kegilaan sebagai akibat dari sakit jiwa yang menjelma menjadi sebuah gambaran kengerian.
Kegelapan tidak muncul di bawah arus kedalaman, sebagaimana sang pemabuk kehilangan jejak-jejaknya. Setiap kegelapan adalah lubang dangkal dari ketidaksumbuan, tetapi lubang buta saling bergerak memutar dan bergerak keluar dengan permukaan melalui ketidaksumbuan kutub muncul dalam banyangan, jejak dan tanda yang tidak terbatas, tempat dimana aliran arus cahaya dalam lubang buta dan celah jejak yang dapat diterobos melalui tubuh pada permukaan tembok. Akhirnya, tubuh bergulat kembali diantara ketidaksumbuan grativitasi. Sebaliknya, ada kilat dan petir menyambar-nyambar, pelangi di kaki langit menghilang dalam cakrawala, bukanlah tanda-tanda kelahiran manusia, karena aliran gambar alam yang dimunculkan tidak meninggalkannya. Jejak-jejak alam adalah ketidaksumbuan bayangan tembok, dari lubang ledakan tanpa kelahiran tembok diantara kebenaran bertopeng, dibumbuhi jeritan, musik, tarian, dan komat-kamit mulut yang pucat. Di luar tembok, sang pembunuh berdarah dingin menghancurkan dirinya sendiri. Jauh sebelum seseorang melihat malam yang dihiasi tanda firasat, badai dan petir menyambar-nyambar menghampiri tembok-tembok penjara, tatkala tembok penjara masih tetap kuat; luapan-luapan amarah nampaknya ditemukan dalam ‘ruang kosong’. Disitulah, kadangkala, tanda-tanda dari ruang kosong tidak terlihat dalam teks ilmiah, gambar komikal serta-merta muncul di tengah ketidakhadiran lukisan tentang tembok; tubuh baru bertugas untuk merangsang pikiran yang tidak terpikirkan. Melalui suatu alasan dianggap tidak masuk akal, bukan karena tanda kegilaan mengalahkan khayalannya sendiri. Tidak seorangpun begitu gegabah memiliki peramalan atau prediksi tentang apa sesungguhnya kelahiran kegilaan diantara tembok. Di balik sebuah tembok, tipu muslihat dihembuskan oleh figur iblis yang menyelinap dalam aliran darah, mimpi, ingatan, dan khayalan tidak terbatas, tetapi bayangan tembok disamarkan dalam tubuh-tubuh baru.
Permukaan tembok dipertajam pada permukaan tubuh, karena tersekap dalam ruang samar-samar. Ketidakhadiran tembok dalam figur dan naskah tergantung kepada celupan tinta, garis, bidang dan kanvas yang sama. Tubuh berubah menjadi marabahaya bagi seseorang yang masih berdiri di luar tembok.
Tembok adalah kelahiran, tempat dimana kata-kata dan suara-suara bercampur-aduk dengan kegilaan yang meronta; saluran pembatasan dibukakan bagi orang yang ingin melihat khayalan dan mimpinya. Kelahiran tembok melalui tubuh. Rezim ketidaksadaran juga bersifat mekanistik menjadi bentuk berbeda hanya setelah ia bersentuhan dengan bui arus-arus tidak terhasratkan dan terprediksikan dalam tubuh. Karena apapun bentuknya, kelahiran yang tidak tragis, kecuali separuh ironis. Sang pengkhotbah moral menyerukan tentang pentingnya kelahiran cinta sejati dengan membebaskan. Dalam pergerakan tidak terputus-putus, kegilaan tidak dapat diuraikan oelh tanda kelahiran tembok. Kelahiran berarti ledakan permukaan. Cairan-cairan dari kegilaan tidak diadili melalui kelalaian total dari pikiran. Ada lagi yang disebut kelahiran daging di tengah kegilaan mencairi semangat melalui tubuh. Pesta kelahiran rasa sakit dari ruang persalinan, tidak berkaitan dengan hal-hal yang membahayakan maupun mencerahkan, karena kita belum mampu memahami kelengahan. Kita sebenarnya hidup dalam jarak nol besar dengan dunia luar melalui ‘despermatisasi birahi’. Menarik kembali cahaya dari lingkaran menuju lubang gelap; ego cogito bersiasat untuk memberi sejenak kemiripan melalui imajinasi, di saat tubuh yang ditandai mimpi muncul dalam kelengahan. Kegilaan bersama penghancuran ‘kelahiran yang tidak berberkah’. Mengapa ada pikiran dan kegilaan? Selama ini, kita acapkali mempertentangkan antara pikiran dan kegilaan dalam pemikiran atau pengetahuan. Pikiran adalah pembalikan dari kegilaan dan kegilaan juga adalah sisi pembalikan dari pikiran. Pergerakan kegilaan memperkaya pemahaman yang belum tersentuh dengan kekuatan pikiran. Kita tidak akan membenturkan antara pikiran dan kegilaan, tatkala kegilaan menjadi pikiran mengalami masa perkemabangan alam. Pikiran merupakan nama lain dari kegilaan. Kekuatan tubuh lebih ajaib jika kegilaan sebagai kekuatan hidup (seperti gairah, dandanan, inovasi, teror, dan kejahatan). Kegilaan juga mengambil arah pembalikan pengetahuan. Pikiran dan kegilaan merepresentasikan sumbu, teladan dan nasehat bernilai bagi kehidupan. Mendekatkan mesin abstrak dengan pikiran dan kegilaan seperti sebuah cermin yang bersih dikelilingi ruang terang, terpantul wajah diri kita, misalnya alokasi upah, laba dan bunga. Pikiran dan kegilaan dalam rezim tanda bukanlah pemikiran dialektis, selama konsep menjadi dan meniada dalam dunia dongeng. Kita perlu meniada hingga seseorang tidak menjilat tubuhnya sendiri. Kita juga masih perlu mengosongkan sintesa citra pikiran dari tipu muslihat stereotipikal; karena ia bukan pemangsa agung bagi kewarasan pikiran. Setelah gairah meluapi permukaan tubuh, arus-arus uang muncul dalam patahan tanda kegilaan setelah membuahi ‘sel-sel’ mode wujud yang dihubungkan dengan mode kehidupan. Momentum kegilaan tidak saling mendahului dengan pikiran. Lantas, sebagian bukanlah bahaya kegilaan, melainkan bagaimana memperoleh kegilaan baru setelah pikiran dikotori oleh dirinya sendiri diantara kehidupan yang menantang. Teks-teks Foucault, Derrida, Delesuze, dan Guattari menyediakan paragraf tersendiri tentangnya sebelum ketidakhadiran kitab berubah menjadi permulaan teks tertulis yang baru.
Kemanakah seluruh kehidupan, apabila tidak ada pikiran murni? Ketidakhadiran kegilaan akan melemahkan tubuh, karena individu berasal dari tubuh. Bukan lagi cara menghakimi tubuh untuk menunduk dalam kesadaran palsu, melainkan tubuh merupakan dunia paling menggiurkan bagi daya hidup. Insting mereka terhadap permukaan tubuh diambil-alih oleh alam, tetapi juga kemurniannya mengembalikan dirinya pada permainan topeng. Kembali pada satu alasan, bahwa pikiran dan kegilaan sebagai melintasi eksistensi cahaya dan berada di luar ujung kegelapan malam yang panjang. Misalnya, kita akan menghitung semua bilangan menjadi ‘angka infinitas’. Dunia akan berakhir pada pemusnahan setiap takhyul yang dikalikan dengan ratusan angka ”nol kecil”― anehnya, angka nol merupakan bagian dari kebenaran matematika. Pikiran dan kegilaan hanya mencirikan kekuatan perbedaan kualitas dan kuantitas sebagai gairah. Keduanya menukik, menerjang dan menyebar di atas permukaan tubuh. Sudah jelaslah, bahwa pikiran dan kegilaan tidak berasal dari arus sendiri, melainkan titik kewaspadaan pada gravitasi tubuh, bukan kerataan permukaan. Berpikirlah mengelabui tipu muslihat! Kita cukup sulit untuk menyeru. Berpikirlah dengan kegilaan! Dalam Kegilaan dipandang setengah dan dipaksa tunduk melalui pengalaman batin atau ‘sensasi yang halus’. Tanda kegilaan sebagai akhir artikulasi kebenaran dari pikiran. Seseorang tidak melatih dirinya untuk berpikir, bahwa keteraturan hidup dimulai dari kegilaan. Ambiguitas pikiran menjadi bahaya tersendiri, karena menolak kegilaan sebagai asal-usul alam.
Heraclitus hanyalah salah satu manusia kuno yang dihidupkan dengan pikiran, tetapi sangat rakus pengetahuan tentang kegilaan. Alam yang dipahaminya sebagai alam bersifat mengalir bebas yang harus dicairkan juga oleh zat mengalir (termasuk aliran darah), mengambil afirmasi dan penghakiman dari hukum alam. Kebenaran per se berada di luar pikiran dan dalam kegilaan. Kant percaya bahwa sintesis a priori dan kategori imperatif sebagai kebenaran universal, karena secara umum dikatakan rasional menjadi logika transendental yang cair dan solid sesuai logika kausalitas. Sebagai contoh hukum alam yang anti citra komedi, seperti kendaraan beroda empat memuat barang ratusan ton tiba-tiba melaju cepat dan berhenti sebelum memasuki jembatan layang. Tetapi, apa yang terjadi? Kendaraan dapat melaju dengan baik oleh karena dirancang dayanya untuk memuat sekian ton. Representasi pikiran pun menimbang jika melalui jembatan layang akan tidak masuk pikiran karena tidak sesuai kausalitas. Seorang dewasa dengan berat badan seratus kilo akibat tubuh kegemukan mampu terapung bebas dalam air (lelucon fenomena Laut Hitam mengandung air asin dibuktikan secara ilmiah dan menopang hukum kausalitas). Jadi, kegilaan seiring dengan nilai ilmiah.
Apapun definisi pikiran dan kegilaan selalu mendekati dan mengorbitkannya dalam rahasia kehidupan. Karena itu, kehidupan dirahi, tatkala kegilaan tidak diidentikkan dengan rumah sakit, berbicara sendiri dan menggelandang di ruang terbuka. Lihatlah kedalam! Ens rationis (wujud rasional) menggantikan ‘tatanan ada sang Lain’ dalam rentetan ilusi; menandingi ambisi gilanya. Kegilaan dicemoohi ‘wujud dalam dirinya sendiri.’ Tanda kegilaan hanya sampai pada kegilaan. Sementara, esensi kegilaan dipinjamkan pada Cogito Cartesian; tubuhlah menjadi tumbal dari kelelapan ilusi dari mimpi indah kita. Cobalah kita menahan diri! Terlalu jauh kita mengatakan di sini, perkara asal-usul itu tidak relevan lagi untuk ditelaah, karena ia berasal dari “air liur”. Kegilaan ada dalam cahaya redup imitatio Dei (tiruan Tuhan). Manusia yang sadar akan tujuan rasional dunia disamakan dengan ‘Manusia Citra’. Permasalahan tentang kegilaan dan pikiran, berarti membicarakan ‘Dunia’ dan sang ‘Iblis’. Disamping itu, satu hal yang mesti dicamkann, bahwa advocatus diaboli (pengacara setan) mengambil korban kehidupan dari produksi selera mengambil alih suatu kebenaran tipikal Kita tidak perlu menlenyapkan “daging menumpang”, karena ada unsur yang lebih busuk dari yang kita lihat untuk segera dibersihkan dalam pikiran kita. Dunia yang tidak nyata ditransparansikan oleh kegilaan, berjuang dari dalam secara riil dan bersentuhan dengan dunia yang menampakkan diri. Eksistensi kegilaan berada antara advocatus diaboli dan advocatus dei (pengacara Ilahi); ia menjelma menjadi sebuah prasasti kuno yang disembunyikan dalam jiwa. Dari ‘pikiran yang terakhir untuk memahami’ dan ‘kegilaan untuk menjelaskan’. Pikiran berbolak-balik untuk mengalami dan tidak mengalami seperti beban tubuh, kegilaan melompati halangan dari apa yang tidak diterobos oleh tubuh. Tubuh dibalas dengan tubuh. Memang betul pikiran tidak tergantung pada kegilaan, demikian juga sebaliknya. Satu gerakan nyata dari kegilaan secara otomatis sesuai titik akhir dari pikiran. Di saat kita merenung sebelum teridur di bawah kilatan cahaya siang hari, mengosongkan pikiran dan mengendalikan kegilaan akibat gangguan saraf atau sakit jiwa.
Melalui artikulasi kegilaan, kelenyapan realitas ditutupi oleh seberapa banyak hukum alam sesuai dengan hukum rasional. Pada taraf pikiran rasional, kebenaran yang dihubungkan dengan persepsi indera dan dikacaukan ilusi setelah kegilaan menghilang dalam dirinya. Tidak mungkin suatu ide, pikiran dan persepsi indera memulai dan mengakhiri realitas, kecuali keterlibatan kegilaan. Seorang pemimpi paling waras dengan tangan dingin memainkan persepsi indera yang dipadatkan melalui tubuh. Tetapi, pikiran akan bertentangan dengan kegilaan yang mengacaukan selera humor-humor yang tinggi, tidak menunduk di bawah air empedu yang diterima menjadi obyek pengetahuan. Kegilaan yang tidak akal akan mengontrol kemarahan adalah titik akhir dari representasi. Di luar penangkapan indera, obyek benda-benda tersingkap ketika ia menghentikan kegilaan dalam kelengahan untuk berpikir, berakhir tatkala seluruh pemikiran tentang dunia dipengaruhi oleh sesuatu yang bukan dirinya. Pikiran dan kegilaan dalam titik singgung sebagai dunia terpencar sejelas-jelasnya dari luar. Tanda kegilaan yang lugu dan solid mendapatkan dirinya diantara kelahiran perang dan asal-usulnya untuk menyamarkan cahaya dan kegelapan jiwa sampai tidak mencapai titik cair eksistensinya kembali. Jarak antara lingkaran ‘cahaya’ dan ‘kegelapan’, pikiran dan benda, jiwa dan tubuh dari daya tarik-menarik (kesamaran atau suram), berakhir pada kekosongan ruang hidup. Marilah kita renungkan kembali isi dan representasi diri! Kegilaan merancang kelahirannya. Hal ini, kegilaan menampakkan dirinya untuk menyingkap permainan topeng, kegilaan baru tidak mungkin mengetahui keseluruhan realitas. Kegilaan mulai menempelkan dirinya pada asal-usul dalam peristiwa kritis. Kegilaan dibutakan oleh ilusi. Bentuk kegilaan hanyalah dari dunia yang tersembunyi di luar teks. Kita dapat melihat, bahwa semakin banyak melihat kedalam diri, dia semakin kuat kegilaannya.
Sejauh penilaian kita, bahwa pengucilan dunia luar tidak berasal dari jiwa kerdil, melainkan permainan besar dari alat pembayaran yang dihasilkan dalam kuasa modal-uang berubah menjadi darah-daging kehidupan. Suatu permainan topeng yang tidak terpecahkan, tunggal dan abstrak. Asal-usul perang terhadap permainan topeng atau formalisme kuasa; mesin perang penuh rumor memiliki segmentasi garis batas, yaitu garis rezim tanda dan garis permainan topeng. Kegilaan (ide tentang perdamaian) terletak pada kekacauan pikiran dapat dinetralkan berdasarkan kesatuan kegilaan. Meskipun kegilaan dengan kelahirannya sebelum kelahiran binatang rasional, benda-benda bukan saja dalam dunia benda, tetapi juga suatu irasionalitas kegilaan. Ia berada dalam lingkaran yang lain, dari pantulan ‘benda-benda’. Kita keluar dari pemikiran yang samar-samar, kegilaan tidak lebih dari retakan pax melior est quam iustissimum bellum (perdamaian lebih baik ketimbang perang yang beralasan). Mesin perang yang terbebas dari kegilaan, karena perang adalah perdamaian yang tergoyak-koyak. Disamping krisis, permainan kuasa bank-uang sebagai struktur keuangan yang tersembunyi mencukongi permainan baru; titik kegilaan sebagai dampak pemantulan benda-benda pikiran di atas panggung perang aktual. Barisan mesin perang terhadap formalisme kuasa yang bertopeng hanya mampu ditaklukkan melalui rezim tanda kegilaan, yang tidak berhubungan dengan benda-benda yang bergerak secara psikis, melainkan bergerak secara mekanis. Peristiwa kegilaan menandai batas garis mesin perang terhadap permainan kebenaran atau permainan topeng. Kegilaan sebagai momentum. Dalam momentum kelahiran perang, kita tidak terbebas dari realitas digambarkan yang bukan diri kita. Kegilaan mampu menghubungkan setiap peristiwa basa-basi dengan wujud aktual. Betapa tingginya jati diri, saat kegilaan melintasi dirinya sendiri. Apabila kita ingin selalu bertanya tentang ‘kegilaan’, maka hidupkanlah perang terhadap permainan topeng! Lebih dari itu, kegilaan bukanlah akibat gangguan saraf atau sakit jiwa, melainkan tanda kegilaan yang lain. Belum lagi, kita diberitahukan tentang koruptor yang menjadi burunon dan narapida yang dibebaskan secara bersyarat karena kebijakan asimilasi dan integrasi ternyata berulah lagi sebagai orang-orang kambuhan ditandai dari kasus penjambretan, pembegalan, penodongan, pembunuhn, hingga perampokan di minimarket dan gardu jalan tol (Kompasiana. Com, 2020). Mereka tidak dibekali hidup atau disediakan pekerjaan setelah bebas dari penjara, akhirnya tanda kegilaan yang khas mengikutinya dari samping kiri.
*) Penulis adalah ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto







































