Beranda Mimbar Ide Apakah Sudah Membaca UU Cipta Kerja?

Apakah Sudah Membaca UU Cipta Kerja?

0
Aksi tolak UU Cipta kerja, sumber foto : antara

Oleh : Wahyudi Akmaliah*

Pernyataan ini sederhana tapi bisa meruntuhkan argumen terkait mereka yang mengkritik dan bersuara terhadap UU Kerja Cipta Kerja. Dokumen hampir setebal 1000 halaman juga menjadi alasan yang memungkinkan orang untuk kemudian malas membacanya. Karena itu, pernyataan “Apakah sudah membaca” ini menjadi semacam penggugat untuk meruntuhkan bangunan argumen yang sudah diberikan ruang terbuka untuk dikritik. Meskipun demikian, mereka yang mengesahkan UU CIPTA Kerja sendiri juga bisa dibalikkan pertanyaan ini, apakah mereka benar-benar juga sudah membaca atas regulasi yang mereka setujui? Saya yakin 100 % mereka pasti juga dibantu oleh asistennya untuk membaca dan poin-poin apa yang dianggap penting untuk mereka. Selain itu, persetujuan hampir sebagian dari anggota DPR RI ketika itu menunjukkan adanya kordinasi untuk saling sepakat.

Bagi saya, yang perlu dilihat di sini bukan “Apakah sudah membaca” UU Cipta Kerja tersebut, tetapi melihat keganjilan dari upaya disahkannya UU tersebut. Apalagi kita tahu, paska rekonsiliasi Pilpres 2019 tidak ada kubu oposisi kecuali PKS. Alhasil, persetujuan politik di balik itu semua tanpa adanya oposisi sangat mungkin dilakukan. Di sini, gejolak yang muncul di publik tanpa adanya kubu oposisi menjadi penting untuk dilihat. Ini karena, kita dengan mudah bisa mencium bau amis, meskipun tidak benar-benar membacanya. Reaksi publik yang keras di tengah minimnya kubu oposisi menjadi titik terang mengapa keganjilan disahkannya UU Cipta Kerja itu harus disikapi.

Keganjilan pertama adalah mengapa disahkannya begitu cepat dan berlangsung malam hari tanpa adanya berdebatan yang cukup keras dari setiap fraksi? Ya, kita tahu ada Demokrat dan PKS yang tidak setuju, namun disahkannya malam hari dan mengalami proses yang begitu cepat sebenarnya menunjukkan adanya upaya untuk menyembunyikan kepentingan tertentu yang sangat ganjil untuk diketahui publik. Padahal, setiap regulasi yang dibikin dan kemudian disahkan untuk menyangkut publik Indonesia secara keseluruhan, yang akan terimbas.

Keganjilan kedua adalah mengapa itu disahkan saat pandemi sedang berlangsung? Ya, sebuah pekerjaan memang harus diselesaikan dan menjadi tugas bagi mereka yang memang pekerjaannya adalah mengesahkan UU. Namun, dalam situasi pandemi seperti ini harapannya tentu saja agar orang tidak marah untuk kemudian turun ke jalan di tengah virus covid yang bisa berada di mana saja. Namun, justru itu persoalannya, pandemi ini membuat banyak orang-orang kecil di level bawah dan menengah mengalami kekalahan berkali-kali. Adanya UU ini yang berpihak kepada oligarki dan investor tentu saja melukai hati mereka, memungkinkan untuk meledakkan amarahnya.

Keganjilan ketiga adalah mengapa tidak sedikit pendukung Jokowi yang masih percaya buzzers politik yang sejurus dengan kebijakan yang dibuat. Jika kita amati satu persatu. Buzzers-buzzers ini selalu memiliki cara bagaimana melegitimasi sebuah regulasi dari pemerintah, tanpa menimbang apakah benar itu untuk kebaikan publik ataupun tidak. Di sisi lain, buzzer ini dengan sangat baik berusaha mempertahankan polarisasi politik seperti Pilpres dan Pilkada, meskipun mereka menggunakan terma yang berbeda, yaitu “kadrun” (Kadal Gurun), sebuah ungkapan bagi yang tidak setuju terhadap kebijakan yang dibuat oleh Jokowi. Kita tahu, pillpres sekali lagi sudah selesai, Jokowi sudah jadi pemenang, tapi terma polarisasi itu tetap dimainkan. Sementara yang buntung dan terdampak kebijakan ini ya kita semua.

Dari tiga hal kecurigaan tersebut, kita harus belajar dari kasus Revisi UU KPK. Meskipun ada gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di pelbagai daerah, revisi UU KPK itu tidak menyurutkan untuk dilakukan. Argumen publik yang diumumkan ketika itu adalah bahwasanya KPK harus ada yang mengawasi dan bukan sebagai badan yang bersih dari pengawasan. Di sisi lain, upaya untuk mengkritik dan bersuara mengenai upaya revisi UU KPK yang dianggap menguntungkan koruptor dianggap sebagai hoaks, sehingga masyarakat diharapkan untuk tidak mudah percaya. Akibatnya apa? Kita tahu bahwasanya KPK sebagai institusi cita-cita reformasi sedikit demi sedikit mengalami penumpulan dari dalam. Sebagai bagian dari masyarakat umum kita tidak lagi mengalami kegembiraan kecil ketika para koruptor yang menjarah uang rakyat ini ditangkap setiap hari Jum’at. KPK menjadi seakan menjadi pisau tumpul ketika berhadapan dengan para koruptor setelah UU-nya direvisi. Jika kegembiraan kecil ini saja hilang dari cara kita mentertawai koruptor, apakah kita masih terus berharap kepada “orang baik”?.

*) Penulis adalah Peneliti LIPI

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT