Oleh : Wahyudi Akmaliah*
Hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Indikator Politik harus menjadi alarm untuk kita semua. Survei yang dilakukan pada 24-30 September 2020, dengan total responden 1.200 orang yang dipilih secara acak, mengajukan pertanyaan ‘setuju atau tidak warga makin takut menyatakan pendapat?’. Hasilnya, sebanyak 21,9 persen menyatakan sangat setuju dan 47,7 persen menjawab agak setuju. Sementara itu, yang kurang setuju adalah 22,0 persen dan yang tidak setuju sama sekali 3,6 persen. Lebih jauh, pertanyaan diajukan terkait dengan menyatakan pendapat untuk melakukan demonstrasi, apakah sulit atau tidak? Jawabannya adalah 53 persen responden menyatakan agak setuju, dan 20,8 persen sangat setuju dan 19,6 persen kurang setuju.
Data ini menunjukkan bahwasanya kebebasan untuk berpendapat sebagai bagian dari proses demokrasi partisipatoris menjadi persoalan besar di tengah kepemimpinan Jokowi Saat ini. Tentu saja, hasil survei itu belum bisa menggambarkan secara kualitatif untuk menjawab mengapa kemudian orang menjadi takut berbicara dan menyatakan pendapatnya di publik. Namun, penangkapan sejumlah orang melalui UU ITE terkait dengan mereka yang berbeda pendapat secara politik sekaligus juga adanya upaya pemelintiran dan pembunuhan karakter yang dilakukan oleh buzzers-buzzers politik menunjukkan hal tersebut.
Tesis yang dikemukakan sebelumnya oleh Thomas P. Power pada tahun 2018 yang terbit di Jurnal Bulletin of Indonesian Economy, di mana pemerintahan Jokowi sedang mengarah kepada otoriter seiring dengan menurunnya demokrasi Indonesia tampaknya semakin menguat apabila kita menyandingkan argumennya dengan data hasil survei tersebut. Meskipun harus diakui, argumen Power itu sempat saya ragukan karena memang saat tahun tersebut sedang terjadi kerasnya kontestasi politik menuju Pilpres 2019, yang membelah masyarakat menjadi dua kubu. Serangan terhadap Jokowi saat itu, dengan demikian, upaya untuk menurunkan elektabilitasnya. Posisi, yang sekali lagi saya amini juga secara subyektif.
Namun, Pilpres telah usai. Jokowi dan Prabowo telah melakukan rekonsiliasi politik dan mereka sama-sama masuk dalam kabinet periode kedua ini. Jadi, suara kritik saat itu sebagai upaya yang memungkinkan untuk penurunan elektabilitas Jokowi dengan saat ini tentu sangat berbeda. Meskipun harus diakui, orang masih menempatkan spirit dan perspektifnya dalam logika Pilpres 2019. Di sini, orang kemudian sangat berhati-hati untuk bicara mengenai politik ataupun mengkritik kebijakan yang sedang dibuat. Ini karena, jika itu sangat sensitif, maka bisa berujung kepada pelaporan melalui UU ITE.
Dalam level ringan, apabila kamu menyatakan pendapat di media sosial, khususnya di Twitter yang dianggap mengkritik dan menyinggung pemerintah, maka akan dihantam oleh buzzers-buzzers politik yang terus bekerja apapun isu yang sedang berjalan. Level berat tentu saja, dilaporkan melalui UU ITE dan pencemaran nama baik.
Akibatnya, mereka yang benar-benar mengkritik kemudian bukanlah menjadi bagian dari arus umum, melainkan yang benar-benar berani. Orang yang berani mengkritik ini yang sekarang nilainya sedang dibelokkan terkait dengan posisinya sebagai SJW (Social Warrior Justice) melalui meme di media sosial. Di sisi lain, harus diakui, media sosial inilah sebenarnya menjadi medium utama untuk mengorganisir diri sekaligus melakukan protes saat ada kebijakan yang dianggap melenceng dan melakukan diskriminatif.
Di sisi lain, fungsi media cetak, televisi, dan online, kebanyakan mudah untuk disetir sesuai dengan kepentingan oligarki yang menaruh saham banyak kepada media tersebut. Jikalaupun ada, media ini yang sekarang menjadi anak tiri yang menyuarakan demokrasi, seperti Tempo, Tirto, Asumsi, dan Narasi. Pemberitaan mereka pun sangat mudah diserang oleh buzzers-buzzers politik dengan membangun narasi yang tidak terkait namun seolah-olah adalah kebenaran. Kondisi ini memungkinkan followers sekaligus pendukung politik kemudian meyakini itu sebagai kebenaran yang harus dipegang. Indikasinya bisa dilihat dengan argumen yang sama dengan buzzers politik yang menyebarkan informasi tersebut.
Jikalau sudah begini, kepada siapa lagi harapan mengenai keadilan, kebaikan sekaligus keberpihakan bisa kita sandarkan, di saat pendapat Muhammadiyah dan NU sebagai perwakilan umat Islam terbesar di Indonesia saja juga diabaikan?
*) Penulis adalah Peneliti LIPI