Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah (Kritikus Sastra dan Budaya, Direktur @salajapustaka)*
Matakita.co, Literasi – Dua kali hati saya geli semakin hari semakin bulat rasa penasaran saya. Itu karena di media massa _BBC_ asal Inggris mengabarkan adanya seorang anak muda yang tega memenggal batang kepala seorang guru Sejarah; bernama Samuel Paty. Guru SMP di Conflans-Saint-Honorine tersebut dipenggal saat dalam perjalanan sepulang dari sekolah. Runtut dari peristiwa itu, ditambahi oleh aksi penembakan secara bertubi oleh pihak polisi Prancis menyasar dada anak muda yang menjadi pelaku pembunuhan guru tersebut. Polisi mendatangi langsung rumah terduga pelaku, terjadi beberapa percakapan dengan si pelaku dan beberapa teriakan penolakan untuk ditahan, akhirnya beberapa letusan senjata api menewaskan si anak tadi.
Ternyata setelah ditelusuri, si anak muda berumur 18 tahun tadi membunuh Paty sebab sang guru memamerkan karikatur Nabi Muhammad di depan para siswanya di kelas, buntutnya membuat si anak tadi merasa dilecehkan, hingga akhirnya membunuh si guru pemamer karikatur Nabi.
Majalah besar Charlie Hebdo di Prancis ternyata menjadi mercon gaduh bagi kehidupan beragama di negara yang dikenal damai itu. Charlie Hebdo ternyata media massa yang menerbitkan karikatur Nabi umat Islam itu, majalah yang telah beroperasi selama lebih dari 50 tahun terakhir itu sangat sering membuat kontroversi, penuh satir menghujat berbagai tokoh dan mendeskreditkan berbagai agama. Majalah tersebut berdalih pada kebebasan berekspresi (freedom of expression) dan konstitusi Prancis yaitu _Laicite_ (Prancis sebagai negara republik sekuler; pemisahan agama dengan negara).
Bahwa Prancis adalah negara bebas beragama sekaligus tidak beragama. Bebas berpendapat dan berekspresi terlepas dari apapun latar belakang tiap warga negaranya.
Setelah terbitnya karikatur nabi, seorang guru yang memamerkan, dan berujung pada pembunuhan. Di tengah peristiwa itu, dalam salah satu media massa saat Presiden Prancis, Immanuel Macron diwawancara. Macron dengan tegas menyebutkan bahwa negara Prancis adalah negara bebas berekspresi dan berpendapat, dan oleh demikian kasus majalah Charlie Hebdo yang menebitkan karikatur Nabi adalah menurutnya legal dan negara melindungi hak majalah tersebut. Macron menambahkan, kepala negara bahkan tak bisa mengintervensi proses kreatif editorial dan mempengaruhi redaksi tiap media yang ingin mengkritik, menghujat, atau menyerang siapa saja atau agama apa saja di Prancis.
Mendengar pernyataan Macron, saat itu juga pikiran saya tidak berkonfrontasi. Karena pernyataan Macron memang tidak rasional. Dan pernyataan Macron tersebut justru menjadi semacam mercon gaduh kedua, menambah keributan di tengah masyarakat dunia khususnya bagi masyarakat beragama. Seharusnya negara mesti memiliki khazanah pengetahuan mumpuni tentang bagaimanakah sangat pentingnya posisi Nabi Muhammad bagi umatnya.
Muhammad adalah simbol tertinggi dalam Islam, ia adalah _sign_ (tanda) dalam diri ajaran Islam. Meminjam semiotik Ferdinand de Saussure, Muhammad mesti diteladani dari segi ucapan, perilaku budi pekerti, dan ketetapan (signified: sebagai konsep yang kita pikirkan ketika mendengar kata “Nabi Muhammad”), sebaliknya _signifier_ dari nabi Muhammad, tentang ciri-cirinya; bentuk wajah, tinggi badan, rambut, dll tidak dapat (boleh) digambarkan secara aktual dalam media yang lain seperti gambar, karikatur, dan sebagainya. Signifier untuk _sign_ “Muhammad” dengan ciri-ciri fisik yang melekat pada dirinya cukup berada di pikiran dan hati pengikut-pengikutnya. Hanya akhlaknya (sebagai _signified_) yang boleh diaktualkan dalam laku hidup sehari-hari.
Dalam pisau bedah analisis lain, oleh Charles Sanders Pierce bahwa Muhammad itu tidak pernah ada yang serupa fisik seratus persen dengan manusia lain (sebagai _icon_), tanpa hidup hadirnya Muhammad maka tidak akan pernah ada yang namanya agama Islam, tanpa adanya pengikut yang baik maka takkan ada nama Nabi karena Muhammad adalah Nabi penerus risalah Tuhan (sebagai _index_; describes the connection between signifier and signified. Without presence of the signified (the good followers of Muhammad), the signifier (Prophet Muhammad) can not exist as prophet and his identity). Terakhir, Muhammad sebagai _symbol_ adalah lambang kelembutan, penuh akhlak mulia, dan penuh toleran kepada siapa saja di luar Islam.
Nabi Muhammad yang tiap ibadah shalat wajib umat Muslim itu diberi salam dan do’a takzim pada ritual ibadah oleh umat Islam seluruh dunia. Dalam ibadah, jika tanpa menyebut dan berdo’a membawa nama nabi Muhammad (disebut “shalawat”) maka tidak akan pernah diterima munajat cinta seluruh umat Islam. Ini menunjukkan betapa sangat penting posisi Muhammad dalam Islam. Pada sisi lain, perlu diketahui dalam ajaran Islam bahkan ditegaskan tidak diperbolehkan membuat gambar, sketsa, apalagi membuat karikatur Nabi terlebih khususnya Nabi Muhammad SAW. Apalagi diniatkan untuk dijadikan bahan sembahan, olok-olokan, ataupun pelecehan.
Bagaimana bisa negara yang seharusnya bertugas menjaga dan mengayomi (terlepas apapun sistem bangsa tersebut) tiap komunitas dan agama warga negara tidak mampu menertibkan sumber potensi gaduh dari media tertentu di negaranya sendiri jika memang serius menjaga nilai toleransi semua golongan?
Pertanyaan itu membuka pikiran kita, bahwa bagaimana mungkin kita bertepuk dada sebagai negara bebas (berekspresi-laicite) tapi kemudian justru merusak dan menginjak toleransi yang dimiliki tiap golongan agama atau kepercayaan lain?
Bukankah tiap ekspresi itu mesti memiliki batas saat diaktualkan di ruang publik? Bukankah kebebasan itu sendiri adalah juga mesti menghargai kebebasan-kebebasan orang lain?
Pertanyaan tersebut di atas kemudian menjadi perenungan kita bersama, terlepas apapun latar belakang tiap manusia maka kita mesti menjunjung tinggi nilai-nilai universal sebagai masyarakat multikultural dunia; yaitu keadilan, kebenaran, dan terlebih khusus keadaban dalam menyampaikan tiap kebebasan berekspresi.
Se-sekuler apapun negara, negara mesti terinspirasi juga belajar ajaran-ajaran tiap agama. Agar di dalam pergumulan hidup tiap masyarakat sebagai warga negara, sedapat mungkin direduksi potensi pelanggaran hukum oleh tiap individu, komunitas atau bahkan institusi media massa tertentu (serta semua elemen-elemen sosial warga negara di dalamnya) di masa yang akan datang. Olehnya, dialog diperlukan dan tak bisa ditunda-tunda lagi untuk menghargai dan menghormati sopan-santun sebagai hak warga bangsa. Bagaimanapun pembunuhan tetap pembunuhan, hukum tetap berjalan terlepas pun siapa latar belakang pelanggarnya.
Dalam waktu sedekat mungkin, tutup atau cabut izin operasional Charlie Hebdo, beri sanksi kemudian evaluasi. Karena jika, sumber masalah tidak diselesaikan maka di masa depan potensi-potensi ledakan mercon gaduh akan terus meledakkan kebisingan, phobia, dan keretakan elemen ekonomi, sosial, dan politik tiap negara, khususnya pada republik Prancis yang ada sekarang. Dibanding alih-alih menggiring opini publik dengan menyatakan “Islam sedang dalam krisis” maka lebih baik seharusnya sistem _liberte_ dievaluasi dan diperbaiki agar ditemukan perbaikan dan penyempurnaan lebih baik lagi, lebih proporsional dan adil bagi seluruh warga negara tanpa kecuali.