Beranda Hukum Mendukung Ekosistem Perusahaan Startup di Indonesia

Mendukung Ekosistem Perusahaan Startup di Indonesia

0
Ahmad Fachri Faqi, SH. LL.M

Oleh: Ahmad Fachri Faqi, SH. LL.M*)

Nikkei Asia melaporkan bahwa pada bulan Juli 2020 investasi pada perusahaan startup di kawasan Asian Tenggara terus meningkat yang dimotori oleh perusahaan startup pada bidang perdagangan elektronik (electronic commerce) dan perusahaan teknologi finansial (financial techonology atau fintech). Menurut laporan media yang sama, meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19 selama 2020 perusahaan startup di kawasan Asia Tenggara berhasil mengumpulkan total investasi sebesar 8.6 Milyar Dollar Amerika Serikat.

Berdasarkan survei Bank Dunia, pada tahun 2019 Indonesia mendapatkan skor 11 dalam kemudahan berusaha bagi perusahaan startup. Apabila dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asian Tenggara lainnya, Singapura dan Brunei Darussalam merupakan negara dengan pencapaian skor paling baik yaitu 2 dan 3. Sedangkan Malaysia, Laos, Kamboja, Vietnam dan Myanmar berturut-turut mendapatkan masing-masing skor 9, 8 dan 6. Indonesia hanya mengungguli negara Filipina dengan skor 13. Padahal menurut startupranking.com, Indonesia justru memiliki jumlah perusahaan startup sebanyak 2.216 perusahaan, jauh lebih banyak dari negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Dalam rangka memberikan kemudahan berinvestasi, Pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 atau yang dikenal dengan aplikasi Online Single Submission (OSS). Bahkan Pemerintah juga telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Pemerintah menyatakan bahwa Omnibus Law merupakan instrumen penting dalam memberikan kemudahan berusaha dan investasi.

Pasal 109 angka 2 Omnibus Law telah mengubah ketentuan Pasal 7 UU Perseroan Terbatas sehingga status badan hukum perseroan bukan lagi berdasarkan pengesahan Menteri Hukum & HAM melainkan cukup dengan bukti pendaftaran. Pasal 109 angka 2 Omnibus Law tersebut juga mengatur mengenai penyimpangan ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh minimal 2 (dua) orang atau lebih untuk jenis perseroan tertentu misalnya usaha Mikro dan Kecil. Ketentuan ini sejalan dengan perkembangan hukum perusahaan di negara barat yang lebih dulu memperkenalkan konsep single member limited liability company.

Pada satu sisi upaya liberalisasi hukum perusahaan tersebut perlu diapresiasi dengan alasan bahwa perkembangan hukum perusahaan di Indonesia selama ini terkesan lambat sejak berlakunya KUHD yang mengatur bentuk perusahaan yang ada sejak abad ke-19. Tetapi pada sisi yang lain timbul pertanyaan apakah peraturan perundang-undangan tersebut belum cukup kondusif bagi ekosistem perusahaan startup sehingga hasil survei Bank Dunia kurang memuaskan bagi Indonesia. Penulis berpendapat bahwa persoalan perusahaan startup tidak hanya mengenai bentuk badan usaha dan personalitas hukum (legal personality) dari perusahaan startup. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan sistem yang mendukung ekosistem perusahaan startup terlebih dahulu perlu dikaji mengenai konsep dari perusahaan startup itu sendiri.

Fitur atau pola perusahaan startup

Masyarakat umum cenderung memiliki pemahaman bahwa perusahaan dalam arti umum (baik itu perusahaan besar, UKM, atau UMKM) sepanjang memanfaatkan media teknologi digital dalam bisnisnya sudah pasti merupakan perusahaan startup. Pemahaman demikian tidak sepenuhnya keliru karena perusahaan startup pasti memanfaatkan media teknologi digital dalam bisnisnya. Tetapi penting untuk digarisbahawi bahwa tidak semua perusahaan yang memanfaatkan media teknologi digital merupakan perusahaan startup.

Menurut Zainal Asikin dan Wira Pria Suhartana dalam buku Pengantar Hukum Perusahaan menjelaskan bahwa perusahaan dapat dibedakan menurut lapangan usahanya yaitu badan usaha ekstraktif, perdagangan, agraris, industri, atau jasa. Dalam perusahaan demikian memanfaatkan teknologi digital, maka hal tersebut hanya dalam upaya meningkatkan pelayanan, misalnya badan usaha perdagangan yang menyediakan pemesanan melalui daring (online order) untuk konsumen atau perbankan yang memberikan layanan aplikasi nirkabel (mobile application) untuk nasabah. Menurut penulis pemanfaat teknologi digital tersebut tidak serta merta memberikan predikat perusahaan startup.

Alexandra Andhov, Asisten Professor Hukum Perusahaan pada Universitas Kopenhagen Denmark, menjelaskan bahwa hukum perusahaan tidak mengenal bentuk khusus dari perusahaan startup dan belum terdapat doktrin yang diterima secara umum mengenai definisinya. Alexandra Andhov oleh karenanya mendiskusikan 5 (lima) fitur spesifik dan pola dari perusahaan startup dan menggambarkan keunikan perusahaan startup dibandingkan bentuk badan usaha lainnya (other corporate entities), yaitu i) kebaharuan (newness); ii) inovasi (innovation); iii) pertumbuhan yang pesat (fast growth tendency); iv) pendanaan (funding); v) perubahan (change).

Fitur atau pola kebaharuan (newness) pada perusahaan startup tidak hanya sejak pendiriannya tetapi sampai bagaimana pendekatan bisnisnya dan penciptaan ide. Karena suatu perusahaan perusahaan startup memiliki tujuan untuk memecahkan persoalan dengan cara baru, maka perusahaan startup akan selalu mengkonsep ulang persoalan yang ada dan mencari pendekatan baru untuk memecahkannya atau sama sekali menemukan solusi yang baru. Ciri atau pola pertama ini misalnya pada perusahaan memanggil tumpangan (ride-hailing) yang memecahkan persoalan transportasi perkotaan melalui suatu pendekatan baru, padahal sebelumnya sudah dikenal layanan ojek individu.

Ciri atau pola selanjutnya adalah inovasi (innovation) yang meliputi pengembangan dan penggunaan teknologi baru, produk baru, perangkat, cara, dan penerapan sebuah proses inovasi. Perusahaan startup sering disebut sebagai pengganggu (disruptor) dalam pasar ekonomi atau terhadap model bisnis. Perusahaan startup melibatkan para peneliti, ahli ekonomi, dan para spesialis yang memahami kelemahan dan peluang dalam industri untuk mengembangkan solusi, contohnya perusahaan finansial teknologi (financial technology atau fintech) yang sudah menjadi jasa layanan keuangan alternatif selain bank umum. Fitur ketiga pertumbuhan yang pesat (fast growth tendency). Meskipun berisikan pekerja dalam jumlah relatif sedikit, perusahaan startup cenderung terus tumbuh untuk melayani pasar yang besar tanpa adanya batas geografi. Contohnya jaringan layanan perhotelan dan hotel berbiaya rendah OYO yang didirikan oleh Ritesh Agarwal yang telah memiliki jaringan 23.000 hotel di lebih dari 800 kota seluruh dunia.

Fitur keempat ini erat kaitannya dengan fitur sebelumnya karena untuk bertumbuh dengan pesat perusahaan startup memerlukan pendanaan (funding) dalam jumlah sangat besar. Pendanaan (funding) ini seringkali dalam periode yang singkat dan bersumber dari utang (debt), saham (equity), obligasi konversi (convertible notes) oleh para investor. Pada masa awal para pemodal berinvestasi dan membiayai sendiri perusahaan startup tanpa pembiayaan eksternal (bootstrapping). Setelah memiliki lini bisnis yang solid dan produk minimal  yang layak (minimal viable product), maka perusahaan startup baru berupaya untuk mencari pendanaan eksternal seperti modal ventura (venture capital) yang dikenal dengan istilah tahap keluar (exit phase). Dalam praktik perusahaan startup dikenal istilah Unicorn (valuasi setera Rp. 14 Triliun), Decacorn (valuasi setara Rp. 140 Triliun), dan Hectocorn (valuasi setara Rp. 1400 Triliun). Fitur kelima adalah perubahan (change) dimana bisnis perusahaan startup selalu dituntut bergerak cepat, membuat keputusan, dan apabila diperlukan melakukan perubahan drastis terhadap model bisnis atau produknya.

Menciptakan sistem yang mendukung ekosistem perusahaan startup

Pemerintah Indonesia perlu mengambil upaya strategis dalam rangka menciptakan sistem yang mendukung ekosistem perusahaan startup dimana kewirausahaan dan inovasi yang keberkelanjutan dapat terwujud. Menciptakan sistem selain melalui komitmen bersama para stakeholders perlu dilakukan langkah konkrit dalam bentuk pembenahan dalam kebijakan dan regulasi yang terkait. Pembenahan tersebut tidak hanya cukup pada bidang hukum perusahaan semata, melainkan juga pada bidang-bidang hukum lain seperti hukum perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan, hak kekayaan intelektual, perjanjian, ketenagakerjaan, perlindungan data pribadi, perlindungan konsumen, persaingan usaha, dan penyelesaian sengketa. Sehubungan dengan itu, kelima fitur atau pola perusahaan startup di atas seyogyanya dapat menjadi bahan pertimbangan.

Bentuk perusahaan menurut hukum perusahaan di Indonesia baik yang berbentuk persekutuan atau perseroan cukup mengakomodir pilihan bentuk badan usaha bagi perusahaan startup. Tetapi penyederhanaan perizinan masih perlu dikaji ulang khususnya terhadap beberapa sektor usaha yang masih memerlukan perizinan yang banyak seperti pada perusahaan finansial teknologi yang masih memerlukan minimal 5 (lima) jenis perizinan selain perizinan usaha yang bersifat umum. Untuk kepastian hukum, Biaya perizinan perlu dibuat lebih transparan dan besarannya harus efisien.

Peraturan pada bidang perbankan juga masih membatasi bentuk usaha bank dalam arti konvensional sehingga belum mengakomodir jenis usaha bank digital. Pada bidang pasar modal, Pemerintah perlu mendorong Bursa Efek Indonesia untuk segera merampungkan peraturan saham dua kelas (dual class stock) dengan klasifikasi Multiple Voting Share sehingga memungkinkan perusahaan startup masuk pasar bursa dengan cara berbeda dibanding emiten lain dan memberikan bobot berbeda dalam pemungutan suara (voting) antara pemegang saham pendiri dan pemegang saham publik. Ketentuan tersebut nantinya diharapkan dapat membuat pasar modal di Indonesia menjadi menarik bagi perusahaan startup untuk melakukan penawaran umum.

Ketentuan terkait sumber pendanaan lain masih perlu diperbaiki, misalnya agar perusahaan modal ventura dapat berkembang dan memenuhi kebutuhan perusahaan startup. Sehubungan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual atas ide dan inovasi dari perusahaan startup, Pemerintah melalui Kementerian Hukum & HAM, aparat penegak hukum, dan instansi terkait lainnya perlu berkoordinasi dalam meningkatkan kualitas penerapan dan penegakan hukum pada bidang hak kekayaan intelektual.

Kepastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian (enforcing contract) dan perselisihan perjanjian (dispute) masih menjadi persoalan karena masih ditemukan praktik penggunaan instrumen hukum pidana dalam ranah transaksi bisnis. Perlu juga dipertimbangkan kembali norma yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian kerjasama yang melibatkan lembaga swasta Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu. Memang pada ayat (2) dalam pasal 31 Undang-Undang tersebut memperbolehkan penggunaan bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris dalam hal perjanjian tersebut melibatkan pihak asing. Tetapi mempertimbangkan fitur keempat perusahaan startup yang tidak mengenal batas geografi dan banyak memliki pemodal asing, maka belum jelas bagaimana konsekuensi hukum apabila perjanjian tetap dibuat 2 (dua) bahasa yaitu bahasa indonesia dan bahasa asing/Inggris tetapi para pihak memilih bahasa asing/bahasa Inggris untuk menafsirkan isi perjanjian.

Liiberarisasi hukum ketenagakerjaan dalam Ombinus Law antara lain memberikan kemudahan bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia. Hal ini tentunya jangan merugikan kepentingan pekerja Indonesia karena keberadaan perusahaan startup diharapkan sebagai salah satu institusi penyerap tenaga kerja di Indonesia. Pemenuhan hak-hak pekerja perusahaan startup perlu juga diakomodir dalam ketentuan ketenagakerjaan mengingat kondisi perusahaan startup berbeda perusahaan lainnya seperti perjanjian kerja, waktu kerja, dan upah. Data pribadi konsumen bagi perusahaan startup merupakan aset karena dapat digunakan dalam pengembangan produk, strategi pemasaran dan penjualan, Rancangan Undang-Udang Pelindungan Data Pribadi oleh karenaya perlu mendapatkan prioritas penyelesaian.

Otoritas perlu meningkatkan pengawasan dalam memberikan perlindungan konsumen khususnya dalam perdagangan elekronik (electronic commerce) mengingat semakin maraknya kejahatan dan penipuan melalui daring (online). Dukungan pendanaan yang besar dan tendensi untuk terus tumbuh dari perusahaan startup membuat pengawasan dan penegakan hukum pada bidang persaingan usaha yang sehat menjadi penting untuk menciptakan mekanisme pasar yang sehat bagi perusahaan startup dan pelaku ekonomi lainnya. Pembenahan perlu dilakukan terkait lembaga penyelesaian sengketa. Pengadilan di Indonesia masih dianggap buruk akibat lamanya proses dan praktik korupsi yang melibatkan oknum Pengadilan. Begitu juga halnya lembaga alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih terjebak dalam dualisme dan sengketa kepengurusan. Sehingga mengakibatkan ketidakpastian bagi perusahaan startup lembaga mana yang lebih efisien untuk dipilih dalam menyelesaikan sengketanya di Indonesia.

*) Penulis adalah Dosen Tidak Tetap pada Departemen Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Corporate Lawyer.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT