Oleh: Agus Umar Dani*
Dalam satu moment unjuk rasa, kala itu IMM tergabung kedalam koalisi, dengan satu grand issue yang bertajuk, “IMM Sulsel Bersama koalisi masyarakat sipil SULSEL, TOLAK RANCANGAN RUU KPK”. IMM hadir dengan komando hierarki organisasi, keterlibatan DPD IMM Sulsel tentu melibatkan juga kader-kader yang sedang berjibaku pada level pimpinan dibawahnya (baca: Pimpinan Cabang dan Pimpinan Komisariat).
Unjuk rasa penolakan RUU KPK dilaksanakan pada hari rabu, 18 september 2019, dengan titik api di kantor DPRD Sulsel. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hadir membersamai aksi unjuk rasa dengan massa yang cukup banyak. Dibawah komando Ketua Bidang Hikmah (Abdul Gafur) dengan posisi korlap organ, berapi-api dalam menyampaikan orasi, penolakan terhadap RUU KPK yang dinilai memuat banyak pasal karet berhasil menyulut amarah massa yang terlibat dalam koalisi.
Selayaknya Ketua Bidang Hikmah, Abdul Gafur gencar mengkritik setiap regulasi yang merugikan masyarakat. Karena dorongan Nurani atau karena beban tupoksi bidang,kritik demi kritik spontan keluar begitu saja. Penulis yang saat itu masih seumuran jagung kekaderannya dalam ikatan tentu terpantik untuk melakukan hal serupa. Sabang hari, Abdul Gafur terpilih sebagai ketua umum DPD IMM Sulsel.
Spirit humanitas adalah salah satu dari 3 spirit kader IMM yang seringkali diucap-ucap, dibawah kepemimpinan Abdul Gafur, penulis sebagai kader yang sering andil dalam parlemen jalanan tentu berharap banyak. Problematika kebangsaan, isu kontemporer, perampasan ruang hidup, pengrusakan lingkungan, adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengharapan, sebab nahkoda DPD dipimpin oleh sang orator.
Setelah sekian bulan puasa unjuk rasa, pasca terpilihnya tampuk pimpinan baru pada level pimpinan daerah, 8 oktober 2020, IMM Sulsel dengan komando hierarki organisasi, menyerukan parlemen jalanan. Seruan aksi dengan Grand Issue “Oktober Menyala, Indonesia Terluka, IMM Menggugat”, dengan jumlah massa yang cukup besar, bertolak dari kampus Unismuh Makassar menuju gubernuran Sulsel. Dari orasi hingga nyanyian kritik, massa pengunjuk rasa telah berdiri di depan kantor gubernuran hamper dua jam, akhirnya para pengunjuk rasa disambut oleh gubernur, merespon, dan memberikan tanggapan tentang tuntutan massa aksi. Belakangan diketahui, ternyata unjuk rasa yang dihelat, “Dijual” oleh elit yang “tuna moral”. Mau ngomong kasar, nanti dilabeli IMMawan tak beradap, Damn it.
Gerakan 8 oktober 2020 adalah penanda berakhirnya nalar kritis DPD IMM Sulsel dalam merespon problematikan kebangsaan, kasus diskriminasi tingkat lokal dan berbagai macam permasalah lainnya. Tidak ada lagi seruan, tidak ada konsolidasi, tidak ada instruksi hierarkis, Scrolling akun official Instagram, hanya dijumpai flyer ucapan selamat dan sukses. Layaknya gerombolan Ashabul Kahfi dkk, DPD bak hilang ditelan bumi, tak Nampak batang hidungnya, kecuali pada kesempatan membawakan sambutan.
Akhir tahun 2021, IMM Kota Makassar Bersama dengan Aliansi Rakyat Miskin Kota, termasuk juga IMM Makassar Timur, gencar melakukan pengkajian dan konsolidasi. Pemerintah pusat (baca: kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Energi dan sumber daya mineral, serta BPH Migas) mewacanakan penghapusan Bahan Bakar Minyak jenis premium, dengan alasan mendukung program langit biru dari gas buang kendaraan yang dapat mencemari udara segar, secara gamblang, premium dengan oktan 88 mempengaruhi kualitas udara bersih.
Aliansi rakyat miskin kota merespon, unjuk rasa dilakukan di beberapa titik pada penghujung tahun 2021. Beberapa tempat diantaranya: Fly Over, Dinas ESDM Sulsel, Gubernuran Sulsel, DPRD Sulsel, dan Pertamina MOR VII.
Kala itu, premium sudah sangat langka, masyarakat dengan kemampuan ekonomi kebawah mengeluh, pasalnya, beberapa SPBU di kota Makassar kala itu tak lagi menyediakan premium. Singkat cerita, penulis meminta tanggapan DPD IMM Sulsel, selaku pimpinan dengan tupoksi konsolidasi organisasi. Sekretaris Bidang Hikmah DPD (Muh. Ikmal Saleh) justru memberikan respon yang sangat konyol, dengan meminta IMM Kota Makassar menyiapkan massa sebanyak 250 orang, hanya dengan itu, IMM Sulsel siap memotori jalannya gelombang protes. Ini mau unjuk rasa atau tawuran?
Tanggapan tersebut sangat disayangkan, IMM sebagai organisasi HIMINITIS (Humanitas dibaca nyinyinyi) menunjukkan sikap tak acuh terhadap kondisi yang sedang terjadi. Level DPD mestinya sudah paripurna empatinya, karena telah melewati beberapa level pimpinan, dari komisariat lalu ke cabang, kemudian DPD. Tak kunjung mendapatkan respon yang baik di grup WhatsApp Hikmator se-Sulsel, IMM level cabang terus bergerak hingga memasuki awal tahun 2022.
Lalu Apa Solusi?
Keseringan kita menjumpai narasi-narasi kering yang melemahkan, “Demo boleh, tapi opsi terakhir”, kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang akademisi administrasi negara. Berbicara banyak tentang kisruh penghapusan premium dan penghapusan subsidi BBM lainnya.
Salah seorang peserta diskusi kala itu lalu memberikan pertanyaan, “jika bukan unjuk rasa, lalu apa yang harus dilakukan?, dan apa kontribusi yang sudah bapak berikan?”, dengan nada yang serak, akademisi itu tak memberikan tanggapan, justru dibelokkan ke pembahasan lain.
Menurut hemat penulis, unjuk rasa memang tidak selalu prioritas dalam aktivitas advokasi, banyak cara bisa dicoba, termasuk agitasi lewat selebaran, edukasi masyarakat, atau rapat dengar pendapat. Persoalan metodologi, hal demikian telah kami lakukan, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, dan evaluasi menunjukkan, unjuk rasa lah yang menunjukkan persentasi efektivitas yang tinggi.
Unjuk rasa bagi sebahagian orang, juga dinilai sebagai parade konvensional, tapi penilaian itu kosong, tak ada tawaran yang lebih kongkrit. Dalam hal hierarki organisasi, inilah yang tidak dipahami baik oleh bidang Hikmah DPD, mestinya ada keterlibatan dalam setiap agenda yang dilakukan oleh hikmator naungannya, jika tidak bisa menyumbang keringat, setidaknya ada sumbangan pemikiran atau rembuk gagasan yang bisa menghasilkan keputusan yang baik.
Ihwal unjuk rasa bagi penulis, adalah satu bentuk manifestasi dari gerakan IMM, hal demikian berguna untuk memberikan informasi kepada keseluruhan elemen masyarakat tentang kebijakan yang hendak diputuskan oleh pemerintah, sehingga tak perlu menclah mencleh menanti massa yang banyak beru kemudian bergerak, jika unjuk rasa dihelat bukan untuk menuntut, setidaknya kehadiran para demonstran dijalanan menjadi penanda sekaligus alarm pengingat, bahwa kondisi bangsa sedang dalam kondisi darurat. Masyarakat perlu tahu, sebab imbas dari setiap kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah menyasar semuanya, kita tidak mungkin berharap kepada para petani dan nelayan untuk menganalisis isu lalu melayangkan protes, supaya ada guna buat masyarakat, IMM harus terlibat aktif, sebagai penyambung lidah dari masyarakat kecil.
Setelah beredar informasi tentang wacana penghapusan subsidi BBM Jenis Pertalite, barulah ada komentar, gimik-gimik sosial media, parade pamflet dengan emote api-api, ada juga yang mau pemanasan.
Tattalekkangna !!
Taklimat ketua DPP IMM yang bertajuk “kemerdekaan RI ke 77 dimeriahkan dengan kenaikan BBM” adalah kesesatan yang nyata. Pemerintah tidak pernah mewacanakan menaikkan harga BBM, melainkan penghapusan subsidi terhadap BBM untuk masyarakat. Penghapusan subsidi adalah implikasi dikte WTO terhadap pemerintah Indonesia, dengan tujuan yang jelas, memberangus semua orang miskin. DPP seharusnya tidak bereaksi belebihan, menggunakan komando hierarki organisasi bukanlah hal yang tepat, sebab penghapusan subsidi bisa diselesaikan dengan lobby-lobby politik dan diplomasi struktural. Urus saja serpihan-serpihan kue Ibu Kota Negara Baru.
Taklimat ketua DPP disambut meriah oleh kader-kader, DPD IMM Sulsel pun tak luput, dengan postingan-postingan flyer status WhatsApp, menjadi penanda bahwa dua level pimpinan ini tak ada bedanya, sama-sama tak pandai menganalisis isu, boleh jadi pandai, namun dibutakan oleh sikap bodoh amat. Apalah apalah kasiaannn!!
Lalu, belakangan ada yang paling panas, Si Paling Panas lah pokoknya, saking panasnya, seruan DPP ditafsir sebagai instrumen perlawanan.
Receh mu deh, penghujung periode baru panas? Selama ini kemana aje lo?
Noh urus RKUHP.
*) Penulis adalah Ketua Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Kota Makassar