Beranda Mimbar Ide Bias antara Tanda Terima Kasih dan Gratifikasi dalam Layanan Publik

Bias antara Tanda Terima Kasih dan Gratifikasi dalam Layanan Publik

0
Foto: ilustrasi korupsi (Edi Wahyono/detik)

Oleh : Nur Khasanah Latief

(Analis Kebijakan pada Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI)

Suatu ketika, seorang pegawai negeri di sebuah kantor pelayanan menolak pemberian “uang rokok” dari warga yang mengurus dokumen. Alih-alih dipuji, ia justru dikomentari, “masa begitu saja ditolak, ini kan cuma bentuk terima kasih.” Kasus ini bukan hal baru. Kebiasaan memberi dan menerima imbalan kecil setelah pelayanan publik sudah begitu melekat dalam relasi antara masyarakat dan birokrasi. Ia hidup sebagai hal yang dinormalisasi, bahkan seolah diwajarkan.

Namun dibalik bentuknya yang tampak ringan dan personal, praktik semacam ini berpotensi menjadi celah gratifikasi ilegal. Gratifikasi masih menjadi momok dalam tata kelola pemerintahan, terutama pada sektor yang melibatkan interaksi intens antara penyelenggara negara dan masyarakat. Mulai dari layanan administrasi kependudukan, perizinan usaha, pendidikan, kesehatan, hingga pengadaan barang dan jasa, semuanya menyimpan potensi gratifikasi. Dalam jangka panjang, ia melemahkan nilai integritas, memperkuat budaya transaksional. Hal terparah, apalagi tanpa disadari, akan membuat layanan publik sulit lepas dari bayang-bayang korupsi kecil.

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi didefinisikan secara tegas sebagai pemberian dalam bentuk apa pun kepada penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan dan/atau tugasnya. Konteksnya bisa luas: dari uang, barang, diskon, fasilitas, pelayanan/perlakuan istimewa hingga hadiah perjalanan. Namun dalam praktik sosial, pemaknaan ini sering berbenturan dengan norma budaya lokal.

Praktik gratifikasi tumbuh subur di tengah ketimpangan informasi dan kekaburan prosedur layanan. Di sektor kesehatan, misalnya, hubungan tidak sehat antara tenaga medis dan industri farmasi bisa memicu pemberian imbalan agar obat atau alat tertentu diprioritaskan. Di sektor pendidikan, pejabat kampus atau sekolah bisa menerima hadiah dari wali murid sebagai bentuk “terima kasih” setelah anaknya diterima. Dalam pengurusan izin usaha, “percepatan proses” kerap dimaknai sebagai hasil dari ‘uang pelancar’ ketimbang hasil dari sistem yang efisien.

Dari sisi kebiasaan (tidak ingin menyebutnya sebagai budaya), di banyak daerah perilaku memberi sesuatu kepada petugas dianggap sebagai bentuk penghormatan atau simbol syukur, bukan suap. Penolakan justru dianggap sebagai sikap tak sopan atau tidak menghargai niat baik pemberi. Inilah akar masalahnya: ketika aturan hukum formal tidak cukup kuat menggoyang standar sosial yang telah mengakar.

Meskipun KPK telah menyediakan saluran pelaporan gratifikasi, banyak kasus yang tidak tercatat karena dianggap “sudah biasa” atau “wajar secara sosial.” Di sinilah urgensinya membangun sistem yang mampu menghilangkan ruang transaksional tersebut: sistem yang tidak memberikan ruang tawar, melainkan hanya ruang prosedur. Sejumlah instansi publik memang telah membentuk unit pengendali gratifikasi dan memasang papan peringatan anti-suap di ruang layanan. Namun, banyak di antaranya hanya bersifat simbolik. Laporan gratifikasi pun cenderung rendah. Disinyalir bukan karena kasusnya tidak ada, melainkan karena tidak dilaporkan.

Hukum yang kaku tak mampu bekerja optimal tanpa perubahan perilaku. Di sinilah letak pentingnya pendekatan behavioral policy dalam desain kebijakan publik. Membangun integritas tidak cukup dengan menambah sanksi atau peringatan, tapi juga dengan menciptakan sistem dan lingkungan yang memudahkan orang berperilaku benar; nudging people to do the right thing.

Di negara seperti Inggris dan Singapura, pendekatan nudge digunakan dalam strategi antikorupsi. Contohnya sederhana: memajang pesan personal di meja petugas seperti “Kami melayani Anda dengan integritas, bukan imbalan” atau menampilkan testimoni ASN yang menolak gratifikasi. Visualisasi pesan semacam ini terbukti memengaruhi persepsi dan menurunkan insiden pemberian hadiah. Pendekatan ini tidak menghakimi, tapi merancang ulang konteks agar perilaku jujur lebih mungkin muncul. Dalam dunia kebijakan, ini dikenal sebagai choice architecture yaitu struktur yang menyederhanakan pilihan etis tanpa paksaan.

Namun perubahan tidak bisa berhenti pada level individu. Budaya organisasi birokrasi perlu dibentuk ulang agar integritas menjadi bagian dari identitas, bukan sekadar slogan. Ini dapat dilakukan melalui internal branding nilai anti-gratifikasi yang konsisten, sistem reward bagi pegawai yang menolak gratifikasi (misalnya pengakuan publik atau penghargaan tahunan), serta evaluasi kinerja berbasis integritas, bukan sekadar capaian output teknis.

Upaya lain yang sejalan dengan kebijakan pemerintah yaitu mendorong digitalisasi layanan publik. Hal tersebut menjadi penting karena meminimalisir interaksi langsung yang berpotensi membuka celah gratifikasi. Namun digitalisasi saja tidak cukup jika tidak dibarengi penguatan literasi digital birokrasi, masyarakat yang dilayani dan budaya kerja etis di internal birokrasi.

Untuk mendorong layanan publik yang bebas dari gratifikasi terselubung, perlu pendekatan ganda: rekayasa sistem dan rekayasa perilaku. Beberapa langkah kebijakan yang dapat dipertimbangkan; standarisasi intervensi visual di ruang pelayanan yang disesuaikan dengan konteks lokal dan pesan moral yang menyentuh; digitalisasi layanan berisiko tinggi, seperti perizinan, pengadaan, dan bantuan sosial; dashboard pengendalian gratifikasi untuk memantau kasus yang dilaporkan secara terbuka dan real-time; penyuluhan lintas budaya dengan melibatkan tokoh adat, pemuka agama, dan masyarakat sipil untuk memperluas pemahaman tentang gratifikasi; serta pemberdayaan whistleblower internal dengan sistem perlindungan yang kuat.

Mengubah budaya tidak mudah. Terlebih jika ia sudah menyatu dalam praktik sosial sehari-hari. Namun bukan berarti tidak mungkin. Dengan kebijakan yang dirancang cermat, yang menyentuh perilaku sekaligus sistem, integritas bisa tumbuh sebagai norma baru. Karena pada akhirnya, korupsi tidak selalu hadir dalam bentuk megaskandal. Ia tumbuh dari pembiaran atas hal-hal kecil yang dinormalisasi. Dan jika dibiarkan, kebiasaan kecil itu akan menjadi warisan besar yang menyimpang.

*tulisan ini lahir sebagai kesadaran yang terbentuk lebih kuat setelah Penulis mengikuti pembelajaran mandiri E-Learning Peningkatan Pemahaman Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT