Beranda Mimbar Ide Menguak Sisi Lain RUU PKS

Menguak Sisi Lain RUU PKS

0
Noor Anni

Oleh : Noor Anni*

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS adalah buah fikir dari banyaknya kasus kekerasan yang ditemukan di kehidupan sehari-hari. Kelompok kategori lemah, anak dan perempuan seringkali mendapat perlakuan kekerasan fisik, psikis dan seksual bukan hanya pada lingkungan rumah tangga tapi tempat umum, sekolah dan tempat kerja.

Regulasi yang mengatur permasalahan ini ditemukan dalam UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU ITE dan lain-lain. Hanya saja, kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun siswa SMP di bengkulu dan paling menggaung kabarnya bahkan masih bergulir hingga hari ini, kasus guru honorer Baiq Nuril menjadi concern segelintir aktivis perempuan untuk menyusun regulasi khusus perlindungan korban kekerasan seksual.

Maraknya kejadian kekerasan seksual yang sadis dan ketidakpastian hukum korban dalam kasus-kasus tersebut adalah pemantik diajukannya draf RUU PKS oleh Komnas perempuan dan Forum Pengadaan Layanan ke DPR pada tahun 2016. RUU itu juga didukung beberapa legislator perempuan seperti Rieke Diah Pitaloka dari PDI dan Rahayu Saraswati dari Gerindra. RUU PKS bahkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2018. Dan diharapkan beberapa elemen masyarakat untuk segera disahkan sebelum periode DPR 2014-2019 berakhir.

Niatan awal untuk memperoleh kekuatan hukum nampak terjal sebab poin dalam RUU itu dianggap beberapa legislator dan stakeholder yang dihadirkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tumpang tindih dengan UU Perkawinan. Lebih khusus Wido Supraha Wakil Sekertaris Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan penolakan pasal 1 ayat 1 tentang defenisi kekerasan seksual berikut jabaran turunannya. Secara terang dia mengungkapkan muatan RUU PKS ini pro terhadap seks bebas.

Menyikapi RUU ini harus dengan teliti dan bijak. Keadilan mesti kita tegakkan bagi penderita kekerasan dalam tiap domain kehidupan. Tetapi kita tidak boleh lata, seperti pergerakan massa mengambang (floating mass) dalam aksi-aksi demonstrasi, atau seperti seorang avonturir politik, bergerak tanpa membela nilai yang jelas. Dalam setiap gerak kita harus sadar dan bertanggung jawab penuh terhadap apa yang diperjuangkan.

Membaca sekilas RUU PKS ini tidak ada masalah, namun jika kita mencermati tiap pasal terdapat ketidaksempurnaan hukum didalamnya, sementara UU adalah sebuah konsep ideal yang harusnya tidak boleh ada kekosongan hukum. Dalam hal ini, RUU PKS tidak mengatur penyimpangan seks bebas seperti perzinahan dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) yang justru  memberi sumbangsih bagi dekandensi moral bangsa dengan nilai-nilai luhurnya.

Menurut hemat penulis, perzinahan adalah tindakan asusila kategori pelecehan tertinggi, merugikan perempuan secara moril materil jangka pendek dan panjang sebab tidak ada pengakuan hubungan, baik dari negara maupun agama. Bukan hanya sanksi sosial yang diterima, tapi tidak ada payung hukum tanggung jawab pasangan, sebagaimana hubungan perkawinan dengan landasan nilai ketahuidan yang terkandung dalam pancasila sila pertama.

Pasal perzinahan sebenarnya telah dimuat dalam RUU KUHP dan sebentar lagi akan disahkan. Disatu sisi, upaya minimalisir perzinahan ini harus kita apresiasi walau sanksi hukuman menjerat pelaku terbilang singkat yaitu maksimal 6 bulan penjara. Dalam RKUHP itu pula terkandung pasal pencabulan yang bisa menjerat LGBT.

Disisi lain yang perlu dipertanyakan kepada penggagas RUU PKS adalah kekosongan hukum yang tidak diperjuangkan mengenai perzinahan yang awalnya tidak dimuat di KUHP dan kepastian hukum LGBT yang tidak jelas sampai detik ini. Justru penggagas berupaya menyentuh institusi legal perkawinan pada pasal pemerkosaan yang berpotensi menjerat suami atau istri dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.

Tanpa ada pretensi juga tendensi penulis menyetujui kekerasan dalam bentuk apapun, pasal defenisi pemerkosaan akan menimbulkan kontradiksi jika ia menyentuh institusi perkawinan sebab pemerkosaan dalam hubungan suami istri terdengar rancuh. UU Perkawinan telah memuat hak dan kewajiban istri dan suami. Segala bentuk ketidakadilan dalam perkawinan pun dijabarkan dalam UU perkawinan.

Kesetaran dalam hukum antara suami dan istri serta pembagian tugas membuat perkawinan menjadi sempurna. Istri berbakti lahir dan batin, menyelenggarakan urusan rumah tangga sementara suami melindungi, memelihara serta memenuhi nafkah lahir dan batin. Artinya, dalam keadaan normal tidak ada suami yang memaksa istri melakukan hubungan seksual, begitupun sebaliknya. Jika pun terjadi hal yang tidak diinginkan dalam hubungan seksual antara suami istri paling mungkin disebabkan gangguan mental dari pasangan.

Penulis berusaha melihat permasalahan seksualitas dengan lebih berimbang. Seks bebas sebagai sebuah gaya hidup adalah fakta sosial yang terbangun dari proses akulturasi panjang dengan budaya barat, merupakan jalan penyebaran penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya yaitu HIV/AIDS.

Perlu diketahui, HIV/ AIDS adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV). Berbagai riset menyebutkan 3 kelompok populasi yang menduduki peringkat teratas dalam pembagian populasi yang terinfeksi HIV/AIDS adalah heteroseksual (pelaku seks gonta ganti pasangan), Injecting Drug User ( pengguna obat NAPZA dengan suntikan) , dan homoseksual (pelaku seks anal).

Untuk perilaku seks anal berulang kali oleh gay, lesbian dan transgender bisa menyebabkan luka pada anus yang dipenuhi pembuluh darah, penyatuan darah itu akan menyebarkan virus HIV/AIDS. Jika dipelajari lebih lanjut, HIV/AIDS menjadi masalah kesehatan kompleks seperti fenomena gunung es yang sedikit saja nampak dipermukaan.

Menyikapi masalah kekerasan fisik, psikis dan seksual, pemerintah harus memasiffkan sosialisasi pencegahannya dengan melibatkan masyarakat luas. Bermitra dengan organisasi tingkat kecamatan, desa dan kelurahan. Masyarakat pun harus proaktif mencegah kekerasan didepan mata. Dan paling penting, mengembalikan marwah keluarga sebagai madrasatul ula bagi anak, suami dan istri juga konsisten menjalankan amanah UU perkawinan untuk mencegah terjadinya kekerasan.

Penyakit-penyakit sosial yang begitu kompleks di era modern ini seharusnya membuka fikiran kita, bahwa keluarga adalah awal dari semua gerakan pemberdayaan masyarakat dibangun. Dan karena itu pula RUU PKS ini menjadi patut dipelajari dan didialogkan kembali.

*) Penulis adalah wakil bendahara komisi kesehatan KNPI Kabupaten Maros

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT