Mahasiswa: Mereka bukan Perusuh yang Disuruh
Oleh: Taufiqurrahman (Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
MataKita.co, Literasi – Dua puluh satu tahun pasca reformasi, denyut gelombang kegelisahan massa yang dimotori oleh Mahasiswa sontak mengganggu kenyamanan posisi duduk kekuasaan yang dengan sadar sedang mencekik leher kerakyatan menyebabkan tubuh kerakyatan mengalami bradikardia karenanya suara mahasiswa sebagai sirene peringatan memekik di seantero negeri, seruan protes didemonstrasikan dengan berani seirama spirit reformasi yang ingin menghembuskan kembali ruh dari pokok pikiran pembukaaan UUD 1945 yaitu aktualisasi demokrasi sebuah cita-cita menuju kehidupan kebangsaan yang merdeka dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasar atas ketuhanan yang masa esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
INTELEKTUAL ORGANIK
Kajian-kajian kritis analitis menggeliat di ruang kelas, warung kopi, masjid kampus serta sekretariat berbagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda, kampus yang awalnya hampa dengan diskusi bertransformasi menjadi laboratorium dialektika yang menyuplai beragam warna pikiran yang terakumulasi dalam butir-butir tuntunan aksi massa.
Kaum cendekia yang lama terbius dalam rutinitas akademik yang sangat padat akhirnya siuman sembari mengibarkan tinggi-tinggi sang saka merah putih dengan mengidealisasikan diri mereka sebagai kaum intelektual organik yang selalu menyatu dengan akal dan hati masyarakat, merekalah organ kerakyatan yang akan senantiasa setia terhadap janji darma bakti nan abadi, kaum intelektual yang diidentifikasi sebagai pelanjut generasi Dreyfusard (pembela Alfred Dreyfus) atau Emile Zola sang inspirator bagi lahirnya Manifesto Intelektual pada 1898 atau Eugene Debs yang dipenjara karena menggugat langkah presiden Wilson, mereka itulah kelompok intelektual yang dibesarkan dengan keresahan yang organik, mereka bukan intelektual yang disebut Chomsky sebagai intelektual konform yang tugasnya merasionalisasikan kejahatan pemerintah yang dihormati dan mendapat posisi istemewa di sisi kekuasaan.
Lembaran sejarah Indonesia merekam sebuah fenomena bahwa ketika parlemen tidak mampu lagi menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan presidensialisme disebabkan skandal persetubuhan dua organ kekuasaan itu maka Mahasiswa akan selalu hadir dengan kukuatan pikirannya yang genuine untuk mengisi kealpaan fungsi pengawasan sebagai satu dari tiga fungsi utama Dewan Perwakilan Rakyat, bedanya mereka berkantor di jalanan bukan di senayan, mereka tak berdasi sehingga mereka dipukuli, kaki mereka tidak terlalu cepat untuk berlari sehingga mereka diseret dan keroyoki tanpa hati.
Mahasiswa tak salah, mereka turun untuk mengajak kekuasaan membuka mata dan tak menutup telinga dari tangisan pemilik lahan yang dibakar oleh korporasi, jeritan si miskin yang kekuasaan pasung dengan kebijakan kenaikan iuran jaminan kesehatan dan para pendatang di Wamena yang berteriak ketakutan meminta tolong pada wakilnya namun kalian terlampau sibuk merias wajah merapikan posisi dasi agar terlihat sempurna di sorot kamera di hari pelantikan. Mahasiswa marah, apa mereka salah? Dengan enteng kekuasaan tuduh mereka perusuh yang disuruh, mereka adalah sekumpulan anak yang tak tahan mendengar jerit tangisan ibu kandung mereka yang dirampas hak kesejahteraannya oleh kekuasaan.
PEJUANG PANCASILA
Mahasiswa hanya ingin negara lebih memperhatikan ibu kandung mereka, berbicara dan mencium keresahan para petani, membaca raut kegelisahan para nelayan, lesehan dengan para buruh, berdiskusi dengan para pengemis dan honorer, bukan hanya membaca tulisan para guru besar yang bahkan tak senang mencium keringat rakyat kecil, public discourse tidak bisa hanya diwakili oleh kampus sebab kebanyakan kampus hari ini tidak lagi terintegrasi dengan grass root community, rentetan persoalan ini adalah akibat dari penerapan paradigma positivisme yang cenderung menempatkan rakyat sebagai objek dalam arus pembangunan dengan hanya memberikan peran istimewa kepada para pakar yang dilahirkan dari atas menara kampus untuk mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan rakyat tanpa didasari konsensus yang jelas, dan sudah barang tentu ini melukai semangat gotong royong yang sejak dahulu kala menjadi identitas luhur yang melekat dalam denyut sejarah kebangsaan kita sebagai dasar bersama untuk menuju sebuah negara kekeluargaan yang tidak memberikan tempat bagi tumbuhnya individualisme di tanah subuh Indonesia.
Maka spirit pergerakan mahasiswa hari ini didasari oleh semangat reflektif yang ingin memastikan bahwa pancasila betul-betul dijadikan sebagai haluan berbangsa dan bernegara, mendirikan negara kekeluargaan untuk menuju negara kesejahteraan yang berarti bahwa kemakmuran menuntut terwujudnya relasi yang baik antara rakyat dan pemerintah, pemerintah harus melihat rakyat sebagai orang terdekatnya begitu juga dengan rakyat yang harus menunaikan kewajibannya sebagai warganegara yang baik. Hubungan kekeluargaan yang baik antara dua organ ini adalah prasyarat dari suksesi pembangunan negara. Karenanya negara harus lebih bijak melihat pergerakan mahasiswa sebagai pergerakan anak bangsa yang ingin negara lebih dekat dengan ibu kandungnya. Sehingga seluruh produk kebijakan yang dibuat oleh negara adalah hasil galian dari kedalaman sumur kerakyatan, digali dari tanah para petani dan laut para nelayan. Maka untuk terakhir kalinya jangan tuduh para pejuang Pancasila itu sebagai perusuh yang disuruh dan temuilah mereka layaknya para ayah yang didatangi oleh anak-anaknya untuk kembali ke rumah demi berkumpul dengan sang ibu.