Oleh : Gunawan Hatmin
Manusia merupakan makluk yang diciptakan oleh Allah swt. dengan desain yang begitu estetik. Allah swt. sebagi akibat dari semua sebab-sebab yang ada di alam semesta secara tegas mengatakan dalam sastara sucinya bahwa ; Dia telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Dilihat dari tujuan penciptaan, kesempurnaan bentuk fisik maka manusia merupakan makhluk terindah yang pernah ada di muka bumi ini. Keindahanini makin sempurna ketika Allah menganugerahi manusia seperangkat alat pendeteksi kebenaran yang dapat digunakan dalam kehidupannya yaitu akal.
Melalu meditasi berpikir, manusia memiliki tingkatan yang paling teratas di bandingan dengan saudara-saudara se-eksitensi lainya. Sebab, manusia di kategorikan manusia, karena ia memiliki akal. Dengan memperoleh akal tersebut meniscaya manusia untuk berfikir, sebagai meniscaya eksitensi akal pada diri manusia. Akan tetapi, tidak semua manusia bisa berfikir baik dan benar.
Lalu, bagaimana manusia bisa berfikir bagi dan benar agar tidak terjerumus dalam jurang kesalahan? Tentunya Mereka yang berfikir baik dan benar membutuhkan pembekalan ilmu pengetahuan untuk mengatur atura/kaidah dalam berfikir yang benar di sebut dengan ilmu logoka/mantiq. Perlu kita ketahui bahwa, logika tidak mengajarkan bagaimana tata cara manusia berfikir, tetapi logika hadir untuk memberikan metode kepada manusia agar bisa berfikir sesuai dengan aturan/kaidah yang benar.
manusialah satu-satunya makhluk yang diberikan kekuatan akal dan karena itulah ia menjadi mulia. Akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan dengan akalah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa. Jika dari manusia dicabut akalnya manusia akan menjadi makhluk lain, mungkin seperti domba-domba yang berlalulang tanpa arah dan tujuan.
Pada kesempatan yang lain, akal manusia juga mampu mendesain kehidupan sesuai dengan tuntunan Ilahi. Kekuatan akal menyebabkan manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, benar dan salah, gelap dan terang, menangkap dan meganalisis berbagai peristiwa alam dan lingkungannya.Dalam lintasan sejarah para rasul ditemukan adanya sebagian mereka yang mencari Tuhan dengan menggunakan akal dan nabi Ibrahim pernah melakukan hal tersebut.
Dalam karya agung Mulla Sadra, Syarh Ushul Al-Kafi, di bawa Riwayat “al-aql ma ubida bihi ar-rahman wa uktusiba bihi al-jinan”, Mulla sadra menelaskan beberapa makna akal. Pertama, Akal adalah daya persepsi yang membedakan manusia dengan hewan-hewan lainya. Akal dalam pemaknaan ini, kendatipun dimiliki oleh manusia, akan tetapi memiliki kulaitas yang berbeda-beda. Dengan kata lain, akal yang ada pada manusia memiliki tingkatan gradasi. Entah itu daya persepsi akalnya kuat atau lemah dalam menyingkap tatanan realitas yang ada. Kedua, Akal adalah ilmu terhadap perkara-perkara badihi, musllamat dan masyurat. Artinya akal yang dimiliki setiap entitas manusia tidak memiliki gradasi atau tingkatan tertentu. Dalam makna ini jika manusia menyingkap segala perkara-perkara yang badihi, maka orang lain meniscaya mengetahui perkara tersebut. Ketiga, Akal adalah sebuah kondisi jiwa yang lahir secara gradual dari pengalaman dan pandangan dunia manusia dengan sandaran teori-teori dan kemajemukan etika hidup yang beragam.
Pasalanya, dengan berbagai penjelasan yang di kemukakan oleh Mulla Sadra seperti yang penulis jelskan di atas, makna yang paling subtansial akal itu sendiri adalah makna yang paling pertama di atas, yakni kekuatan dalam gerak persepsi. Adapun bagian-bagian yang dituliskan di atas, merupakan implikasi atau turunan dari makn yang pertama.
Islam adalah agama yang menghargai akal, dalam Islamlah agama dan akal saling korespondensi dalam menjalin hubungan persaudaraan. Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang terkuat dan akal adalah sendinya yang terutama. Antara akal dan agama tidak bisa ada pertentangan. Mungkin agama membawa sesuatu yang di luar kemampuan manusia memahaminya, tetapi tidak mungkin membawa yang mustahil menurut akal. Allah swt. memberikan nikmat akal kepada manusia sehingga mengangkat derajatnya kepada tingkat berketuhanan dan kesanggupan untuk mengetahui dan memahami tentang Rabbnya. Ini merupakan nikmat dan kemuliaan tertinggi yang dianugerahkan Allah swt. kepada manusia.
Di dalam al-Qur’an, dijelaskan bahwa manusia-manusia yang seperti ini tidak ubahnya binatang ternak bahkan jauh lebih rendah daripada binatang. Allah swt. berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al A’raaf, 7 : 179).
Walhasil, ayat tersebut mecoba memberikan peringatan keras kepada manusia yang memiliki akal tetapi tidak dipergunakan untuk berfikir pada jalan yang benar, mereka memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat yang benar, mereka memiliki pendengaran juga tidak dipakai untuk mendengar kalimat-kalimat Allah swt. yang seharusnya dapat menuntun hidup mereka. Akhirnya mereka tidak ada ubahnya seperti binatang bahkan lebih rendah daripada binatang.
(Bersambung)