Beranda Ekologi Refleksi Akhir Tahun 2025 : Sarekat Hijau Indonesia Nilai Indonesia Telah Memasuki...

Refleksi Akhir Tahun 2025 : Sarekat Hijau Indonesia Nilai Indonesia Telah Memasuki Fase Ekosida

0
Ketua Umum Pengurus Pusat Sarekat Hijau Indonesia, Ade Indriani Zuchri,

Matakita.co, Jakarta — Sarekat Hijau Indonesia (SHI) menilai rangkaian bencana ekologis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia sepanjang tahun 2025 bukanlah peristiwa alam semata, melainkan akumulasi kejahatan ekologis negara yang lahir dari kebijakan pembangunan ekstraktif dan perampasan ruang hidup rakyat. Kondisi tersebut dinilai telah memenuhi unsur ekosida.

Ketua Umum Pengurus Pusat Sarekat Hijau Indonesia, Ade Indriani Zuchri, menegaskan bahwa banjir bandang, longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan ekstrem, hingga runtuhnya sistem pangan lokal merupakan dampak langsung dari kebijakan negara yang secara sadar melegalkan perusakan lingkungan.

“Bencana yang kita saksikan sepanjang 2025 bukan datang tiba-tiba. Ini adalah hasil dari kebijakan yang sistematis menghancurkan hutan, merampas ruang hidup rakyat, dan menormalisasi kerusakan lingkungan. Apa yang terjadi hari ini sudah layak disebut sebagai ekosida,” kata Ade Indriani Zuchri dalam pernyataan sikap SHI, menutup akhir tahun 2025.

SHI merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menunjukkan bahwa sejak awal 1990-an Indonesia telah kehilangan lebih dari 30 juta hektare hutan alam. Dalam satu dekade terakhir, deforestasi dan degradasi hutan terus berlangsung, terutama akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan proyek infrastruktur skala besar.

Temuan lembaga pemantau hutan Auriga Nusantara juga menunjukkan bahwa sebagian besar deforestasi terjadi di dalam dan sekitar wilayah konsesi legal. Fakta ini menegaskan bahwa kerusakan hutan di Indonesia bukan semata praktik ilegal, melainkan dilegalkan melalui kebijakan negara.

“Negara menjadikan hutan sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai sistem penyangga kehidupan. Sejak liberalisasi investasi dan sumber daya alam diperkuat, Indonesia bergeser dari ekonomi agraris berbasis pangan lokal menjadi ekonomi ekstraktif yang rakus lahan,” ujar Ade.

Menurut SHI, ekspansi perkebunan sawit dan pertambangan telah menyebabkan perampasan ruang hidup rakyat secara massif. Berbagai laporan organisasi lingkungan mencatat meningkatnya konflik agraria dan ekologis seiring bertambahnya izin tambang dan perkebunan. Masyarakat adat dan komunitas lokal kehilangan akses terhadap pangan, air, dan wilayah kelola tradisionalnya.

“Ketika negara memutus relasi rakyat dengan alamnya, lalu memaksa mereka bergantung pada pasar dengan harga pangan yang mahal dan tidak adil, maka krisis pangan bukan kecelakaan. Itu adalah desain kebijakan,” tegas Ade.

SHI menilai kejahatan ekologis ini mencapai puncaknya melalui Proyek Strategis Nasional (PSN). Atas nama kepentingan nasional, PSN justru membuka ruang bagi perburuan rente dan konsolidasi oligarki. Proyek food estate di Papua dan Kalimantan, misalnya, telah membuka hutan dalam skala luas namun gagal memenuhi janji produksi pangan.

Di sisi lain, pertambangan nikel di Sulawesi merusak pesisir dan mencemari sungai, tambang batubara di Kalimantan meninggalkan ribuan lubang tambang yang menelan korban jiwa, sementara perkebunan sawit dan tambang emas di Sumatera dan Maluku menghancurkan hutan hujan serta wilayah adat.

“PSN bukan proyek pembangunan. Ia adalah instrumen perampasan yang dilegalkan negara,” kata Ade Indriani Zuchri.

SHI juga menyoroti absennya negara ketika rakyat menanggung dampak kerusakan ekologis. Penanganan pascabencana dinilai lamban, tidak adil, dan minim tanggung jawab, sebagaimana terlihat di berbagai wilayah terdampak di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

“Negara hadir cepat untuk menerbitkan izin, tetapi menghilang ketika bencana datang. Inilah wajah ketidakadilan ekologis yang telanjang di Indonesia,” ujarnya.

Menutup tahun 2025, Sarekat Hijau Indonesia menyerukan perubahan arah kebijakan secara radikal. SHI mendesak penghentian seluruh penerbitan izin baru pertambangan dan perkebunan sawit, evaluasi dan pencabutan izin bermasalah dengan melibatkan masyarakat sipil, serta kewajiban pemulihan ekologis yang nyata dan terukur oleh korporasi.

“Bencana hari ini adalah dakwaan terhadap negara. Jika arah kebijakan tidak diubah, kehancuran ekologis Indonesia bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kejahatan yang sedang berlangsung dan akan diwariskan kepada generasi mendatang,” pungkas Ade Indriani Zuchri.

Pernyataan sikap ini disampaikan atas nama jaringan nasional Sarekat Hijau Indonesia yang tersebar di berbagai daerah, mulai dari Jawa Barat, Aceh, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT