Beranda Literasi DI TENGAH GELIAT ANCAMAN KORUPSI (Bagian 2)

DI TENGAH GELIAT ANCAMAN KORUPSI (Bagian 2)

1
Fahri Ardiansyah, Magister Administrasi Publik Universitas Indonesia

Oleh Fahri Ardiansyah

Pertanyaannya kemudian, mengapa korupsi begitu sulit diberantas ? Jawabannya tentu sangatlah beragam. Pertama, dalam banyak kasus di Indonesia, semangat anti korupsi masih terbatas pada upaya menemukan pelaku tindak korupsi tetapi bukan pada reformasi sistem guna membatasi ruang para pejabat publik melakukan tindak korupsi. Apalagi beberapa tahun terakhir, pelemahan sistem seringkali terjadi. Mulai dari revisi UU KPK, revisi UU Aparatur sipil negara dan berlanjut pada hak angket DPR yang muaranya bertentangan dengan integritas pemberantasan korupsi.

Masalah demikian terjadi karena fakta bahwa reformasi sistem bersumber dari strategi politik. Dilakukan secara politis dan menguntungkan sebagian kelompok dengan kepentingan tertentu. Itulah sebabnya, inisiatif transparansi maupun penganggaran partisipatif yang seringkali dicanangkan tidak berjalan sesuai harapan karena pelemahan sistem sangat dominan terjadi di tataran elit politik. Untuk itu, agar langkah preventif tindak korupsi dapat dilakukan, lebih dahulu harus didasari oleh perubahan komitmen politik terhadap sistem atau regulasi.

Kedua, kurangnya integritas penegak hukum menyebabkan banyak kasus bersifat manipulatif. Apalagi aparat penegak hukum juga kerap terlibat kasus korupsi. Dalam situasi seperti ini, sinergitas tentu sangat dibutuhkan baik antara institusi penegak hukum yang dimotori kepolisian, kejaksaan dan KPK maupun dengan media dan NGO yang menyuarakan gerakan anti korupsi. Jangan sampai perilaku korupsi tersebut justru lebih banyak melibatkan aparat penegak hukum seperti yang terjadi pada kasus suap hakim MK belakangan ini. Begitu juga dengan data Global Corruption Barometer (GCB) 2017 dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) yang juga menempatkan lembaga kepolisian masuk 5 besar lembaga terkorup di Indonesia.

Apabila menelisik penyebab lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi maka dibutuhkan pemahaman relasi antara pelaku dan kekuasaan. Dalam tingkat tertentu, relevansi kekuasaan politik dan aparat penegak hukum bisa jadi tidak berjarak. Ladang pendapatan yang terganggu berakibat timbulnya intervensi politik yang mempengaruhi pengambilan keputusan aparat penegak hukum yang berasal dari koalisi atau warna politik yang sama. Menyebabkan penegakan hukum lebih sering sebagai wacana ketimbang sesuatu yang nyata dan berkeadilan.

Ketiga, lingkungan pendidikan menjadi dasar penanaman budaya anti korupsi. Hal ini tidak terbatas pada institusi pendidikan formal saja, akan tetapi lingkungan keluarga juga menjadi sangat penting menanamkan perilaku anti korupsi sejak dini. Walaupun saat ini perilaku korupsi kerapkali diklaim sebagai budaya baru pejabat publik, namun dengan penanaman semangat anti korupsi melalui lingkungan pendidikan diharapkan dapat mengubah pola budaya kedepan melalui afirmasi positif.

Kurikulum pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah, atau keterlibatan individu dalam pencegahan praktek korupsi sejak dini merupakan contoh kecil yang bisa dilakukan. Jika semangat anti korupsi baru hanya disuarakan ketika menjadi aktivis mahasiswa, maka idealisme itu belum tentu akan terjaga ketika suatu saat beralih peran sebagai pejabat publik, karena faktanya, banyak juga dari pelaku korupsi merupakan aktivis kampus sewaktu muda. Oleh karena itu, salah satu potensi terbesar untuk melakukan pencegahan korupsi kedepan ialah penanaman budaya anti korupsi sejak dini.

Tentu saja, beberapa poin di atas hanya merupakan sebagian alasan mengapa korupsi masih menjamur menjadi patologi negara yang sulit diobati. Proses utama selanjutnya ditentukan oleh generasi-generasi yang senantiasa menyuarakan komitmen anti korupsi melalui aksi kolektif. Membangun sinergitas untuk sama-sama terlibat di segala aspek yang berpotensi menganggu stabilitas negara dan kesejahteraan rakyat.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here