Beranda Mimbar Ide “Takwil Al-Quran dan Aksi Terorisme Kampung Melayu”

“Takwil Al-Quran dan Aksi Terorisme Kampung Melayu”

0
Muh. Ilham Nur

Kemarin malam, sepintas saya diskusi dengan sahabat yang saya kenal sejak 14 tahun silam. Saat itu, kami tengah dalam perjalanan menuju warkop, sepanjang lintasan yang dilalui, ia lantas ‘curhat’ soal pelatihan yg ia ikuti minggu itu. Mengenai hal yang kami perbincangkan, Ada satu hal yang menarik bagi saya, yaitu tentang ‘takwil’.

Sebuah analogi yang amat sederhana, lugas, mudah dan simpel untuk memafhuminya dalam membedakan antata terjemahan, tafsir dan takwil. analogi tersebut seperti ini, pada konteks terjemahan nash (ayat naupun hadis) itu serupa tatkala kita menyentuh air laut, dalam artian kita merasakan bahwa air laut tersebut kasar. Berbeda dengan hal tafsir, tafsir itu bagaikan mencicipi rasa air laut tersebut, merasakan bahwa air laut nyatanya asin. Lain pula dengan takwil, takwil itu ibarat menyelam di laut tersebut, tahu kasarnya, asinnya, dan merasakan penciptanya, hingga dapat menyeimbangkan spritualitas dan humanitas mahluk.

Contohnya QS al-hajj ayat 20 yang berbunyi… “Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus …” saya garis bawahi kata ‘onta’ yg menjadi seruan dalam melaksanakan haji, dalam konteks terjemahan kata onta ya onta, binatang yang berleher panjang dan berpunuk. Pada konteks tafsir, maka akan timbul berbagai tafsiran, ada yg menafsirkan onta sebagai kendaraan, ada yang menafsirkan onta sebagai kemampuan/strata sosial atau kebuadayaan yang menunjukkan hanya orang mampu di mekkah madinah saat itu memakai onta berhaji. akan tetapi, andaikata kita mencoba ‘menakwilkan’ ayat tersebut, maka ada beberapa hal yg perlu diperhatikan mulai dari kaidah-kaidah takwil, kebudayaan saat itu, makna deduktif atau induktifnya, apakah ayat tersebut menggunakan makna asli, atau makna bukan asli dsb.

Diawal tulisan, saya menyebutkan bahwa takwil merupakan persoalan menarik untuk diperhatikan. Kenapa ? Sebab, Berdasarkan hipotesa saya saat ini, yang mencoba untuk menghubungkan tragedi bom kampung melayu. Polisi menduga agresi tersebut dari warga yang beragama Islam. Lantas, saya kembali berfikir sebab-musabab muncul aksi-aksi terorisme dalam tubuh ummat Islam.

Berlandaskan analisa sederhana saya, saya menjajal pemikiran, lalu menarik sebuah kesimpulan bahwa lahirnya terorisme itu berpangkal pada ‘tekstualisme’, tindakan yang sedikit kaku dalam menafsirkan Nash, seoalah-olah mengabaikan penjabaran nash yang lebih substansial. Akibat dari ‘tekstualisme’ tersebut maka akan lahir ‘pemutlakan’, yaitu sikap penolakan terhadap penafsiran dan penakwilan nash yang berbeda dari pengertian tekstualnya.

Jika pemutlakan telah hadir, maka akan melahirkan intoleran, bersikap keras, mencaci, menyalahkan, semua tafsir yg tidak sesuai dengan tafsirnya. Intoleran inilah yang akan menghadirka sikap ‘ekstrimisme’, yang melahirkan teroris-teroris militan yg siap membunuh, menumpahkan darah dengan iming-iming syurga dengan alibi jihad.

Padahal persoalan jihad, dalam diri sesorang sebetulnya sedang berkecamuk perang yang besar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Perang inilah yang dimaksud jihad akbar, seperti yg dijelaskan kepada sahabat setelah perang badar terjadi.

Sebagai punutup, pada hari ini Al-Quran turun untuk semua manusia bukan saja khusus untuk ahli tafsir, setiap manusia berhak untuk menafsirkan, akan tetapi butuh kehati-hatian dalam menafsirkan. Butuh takwil yg mendalam dengan berlogika sebagai tulang punggung akal agar tidak terlalu tekstualisme dalam menafsirkan ayat Al-Quran. Jika dalam Al-Quran ada kata sifat jalal, seperti membunuh dan semacamnya silahkan ditakwil dengan baik. Jangan semata2 hanya dengan rasionalitas, sebab ada beberapa ayat yang menggunakan kata kiasan.

“Wallahu’ alam”
Ihdina shirathal mustaqim

1 ramadhan 1438 H

Muh. Ilham Nur, Mahasiswa Pasca sarjana Universitas Negeri Makassar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here