Saya sharing sedikit pandangan soal Gerakan Novel Baswedan dan kawan2-nya. Sebuah versi yang berbeda.
Pandangan saya ini untuk menyempurnakan ide2 saya soal #Bernegara yg telah saya tulis dalam bentuk buku, dll.
Dan pak Polisi, cc: @DivHumasPolri mohon segera memberikan kejelasan soal siapa yg menyiram air keras ke wajah Novel.
Paling tidak Polri harus terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Jelaskan temuan sementara agar kita tidak penasaran.
Syukurlah saya dengar hari ini sudah ada expose dan dugaan sketsa wajah dll sudah mulai diumumkan. Ini bagus sekali.
Polri jangan tertutup sehingga kasus ini mengalami pengembangan ke arah yang jauh dari kenyataan.
Fakta harus dibiarkan bicara apa adanya. Seperti malam ini disampaikan ke hadapan publik.
Dan NovelDkk telah menyampaikan Suatu yang sebetulnya serius. Soal seorang jenderal yang terlibat.
Dan @KPK_RI sebagai lembaga telah melibatkan diri sangat jauh dalam kasus ini. Tidak ada lembaga masuk soal pribadi sejauh ini.
Itu yang menjelaskan mereka enggan menanggapi kritik kepada pejabat @KPK_RI seperti kritik saya kepada ketua KPK.
Saya ulangi lagi, bahwa ada dugaan kuat ketua @KPK_RI agus raharjo terlibat kasus EKTP. Ini bukan pelanggaran etik tapi hukum.
Keganjilan yang mendasar dalam tubuh @KPK_RI adalah persoalan personalisasi lembaga. Bahkan personalisasi isu.
Teman2 kita yang bekerja di @KPK_RI tumbuh dengan mentalitas yang keliru. Mentalitas yang sudah kita tinggalkan.
Inilah yang saya tentang sejak awal. Mentalitas superbody bahwa lembaga kami paling mampu Dan paling penting.
Mentalitas ini dalam teori #Bernegara disebut sebagai mentalitas otoritarian. Mentalitas yg bersandar pada kuasa yg satu.
Dengan UU yang memberi begitu banyak kewenangan, institusi yg diistimewakan, pegawai yg dibayar mahal, biaya besar..dll.
Jadilah @KPK_RI menjadi istimewa dan membangun citranya sendiri padahal KPK lupa bahwa ia dibentuk untuk lembaga lain.
Saya naskah perdebatan penyusunan UU No. 30/2002 Tentang KPK. Maksud dibuatnya @KPK_RI adalah perbaikan lembaga lain.
Tidak ada satu pasalpun yg membenarkan @KPK_RI bertindak untuk diri sendiri.
Itulah yg membuat saya tambah yakin saat berbicara dengan lembaga semacam KPK di korea selatan, ACRC.
Mereka meletakkan diri sebagai pembantu sukses kerja polisi dan Jaksa. Karena hukum dan prosesnya (pro justitia) adalah oleh lembaga inti.
Penegakan hukum tidak bisa dititipkan pada lembaga sementara. Pasal 27 UUD45 mewanti2 adanya diskriminasi pada penegakan hukum.
Ini memang tema berat. Tapi harus dikatakan untuk membaca fenomena penyimpangan di tubuh @KPK_RI yg semakin menjadi.
Sekarang, kita melihat tindakan @KPK_RI semakin tersudutkan. Karena lembaga hasil pemilu mulai memakai kewenangan investigasinya.
Hanya @DPR_RI yang memiliki hak angket untuk menyelidiki langkah @KPK_RI belasan tahun. Ini peristiwa sejarah yg penting.
Maka,
Saya mengajak agar @KPK_RI menerima penyelidikan ini dengan mental positif. Ini demi kebaikan. #Bernegara
Mari tinggalkan mentalitas yang menganggap “hanya KPK” yg memberantas korupsi, yg mampu, yg sungguh2, dll. Itu bahaya sekali.
Sejak kita melakukan amandemen 4x maka kita mengalami pergeseran paradigma dalam #Bernegara menuju demokrasi.
Dalam demokrasi, tidak ada lembaga yang terpenting karena semua penting. Terutama lembaga yg diperlukan secara permanen oleh negara.
Itulah sebabnya, sejak konstitusi baru dicanangkan maka tugas kita adalah membangun penguatan lembaga negara.
Bahkan untuk tujuan itu lembaga kepresidenan dilucuti sebagian dari kewenangannya.
Maka, sekarang semua lembaga
Negara kita adalah andalan. Semua penting dan semua bisa ditugaskan untuk tujuan nasional.
Maka kalau ditanya, “siapa yang memberantas korupsi?” Jawabanya adalah semua lembaga negara. Kenapa demikian?
Karena dalam demokrasi kekuasaan telah diberikan kepada semua lembaga negara. Semua punya tanggungjawab yg sama.
Inilah cara demokrasi membersihkan negara dari kemungkinan melakukan penyimpangan baik korupsi maupun abuse of power lainnya.
Yaitu dengan menolak adanya kekuatan absolut dalam negara. Sebab absoluditas adalah pintu korupsi.
Itulah dasar dari keyakinan saya bahwa di @KPK_RI telah terjadi korupsi dan abuse of power yg tidak pernah diawasi.
Penyimpangan ini sekarang telah mulai kita dengar melalui #PansusAngketKPK banyak orang membuat pengaduan dan pengakuan.
Tidak terkecuali tuduhan juga dialamatkan kepada #NovelDkk yang selama ini dianggap pahlawan.
Oleh sebab itu apakah kita siap untuk mendengarkan kelanjutan kisahnya? Ini yg saya khawatirkan.
Kita terbiasa dengan kultur satu pahlawan. Dan ini kurang cocok dengan pandangan demokrasi. Dimana semua dibagi2.
Kalau mau audit ya suruh @bpkri ,
Kalau mau legislasi dan pengawasan ya @DPR_RI . Kalau ke daerah ya otonomi. Dll.
Jangan sampai nanti kita minta @bpkri audit @KPK_RI eh publik tidak percaya. Atau polisi usut kasus Novel publik tdk terima?
Seperti sekarang, KPK mulai mengusut tindak pidana umum yaitu kesaksian palsu atau merintangi pemberantasan korupsi.
Ini preseden buruk dalam pembangunan sistem. Dan ini bisa mengarah kepada pembangkangan sistem yang kita miliki.
Karena itu, terimalah kerja polisi, BPK dll lembaga yang memperoleh kewenangan dalam UU. Itulah arti kita #Bernegara demokrasi.
Dalam nafas itu juga kita menerima kemungkinan adanya kelemahan dalam lembaga2 yang ada. Karena itulah manusiawi.
Negara adalah organisasi manusia biasa. Maka di dalamnya ada keungkinan salah Dan alpa. Termasuk prilaku manusianya.
KPK sangat mungkin salah dan #NoveLDkk sangat bisa melakukan tindak pidana. Itu dinamika manusiawi.
Tetapi, perjuangan untuk menjadikan KPK spesial dan #NovelDkk adalah pahlawan yg tidak mungkin bersalah adalah bahaya.
Ini membuat kita menjadi sulit berpikir objektif. Semua dipaksa dalam kerangka teori konspirasi.
Sampai suatu keyakinan bahwa seluruh pejabat negara sedang Berkonspirasi melakukan kriminalisasi kepada KPK dan pegawainya.
Pada kelompok anti korupsi mereka mengembangkan teori bahwa seluruh pejabat negara berkonspirasi melawan mereka.
Jadilah semua ini tidak rasional. Dan tidak ada akhir dari irrasionalitas kecuali irrasionalitas itu sendiri.
Saya menyebutnya #Fiksi
Kadang saya sebut #Mitos
Dan korupsinya makin tidak terdefinisi.
Kita satu negara mengkhayal.
Semakin sibuk dianggap makin sukses.
Masalah tak harus selesai tapi fiksi dan mitos merajalela.
Mari kita perbaiki cara kerja kita.
Dan #PansusAngketKPK di @DPR_RI adalah muaranya.
Mari tegakkan akal.
Mari lihat faktanya.
Gak usah takut.
Jangan percaya fiksi dan mitos.
Mari lihat apa adanya.
Wakil2 anda di @DPR_RI mustahil jahat seperti fiksi dan mitos yang selama ini dikisahkan.
Mereka anggota @DPR_RI itu nyata dan ada di antara kita. Berbeda dengan LSM atau kampanye di dunia maya.
Mari tonton semuanya.
Ini adalah momen berharga.
Sebuah peristiwa sejarah.
SAKSIKANLAH!
Twitter @Fahrihamzah
18.08-21.03 31/7/2017







































