Oleh : Aswar Hasan*
Ada seorang pencuri yang ketahuan, lantas ia diteriaki pencuri… Maka ia pun melarikan diri. Pemergoknya mengejarnya. Si pencuri itu pun belari kencang. Si pemburu pencuri itu, tak sanggup mengejar. Ia pun berteriak sekencang-kencangnya dengan teriakan pencuri… Sekelompok orang yang mendengar teriakan: “pencuri…” spontan bergabung mengejar sembari ikut ramai berteriak: “Pencuri…pencuri…. pencuri…” namun, sipencuri itu, justru belari tambah kencang, hingga semakin jauh meninggalkan orang-orang yang mengejarnya.
Ketika mereka terengah-engah mengejar, tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak keras memecah keriuhan dengan teriakan: ” PKI, PKI, Tangkap PKI,… ganyang PKI…”
Rupanya, teriakan kata PKI itu, terdengar jelas oleh si pencuri yang sedang berlari kencang menyelamatkan diri. Sungguh luar biasa, begitu kata-kata PKI itu ikut diteriakkan secara bermai-ramai oleh orang-orang yang sedang mengejar si pencuri itu, spontan si pencuri menghentikan langkahnya, lalu berbalik arah menghadapi orang-orang yang sedang ngos-ngosan mengejarnya itu, dengan membalas berteriak lebih keras: ” Saya bukan PKI… Jangan ganyang saya. Saya hanya seorang pencuri”. Al hasil, si pencuri itu berhasil ditangkap dan diserahkan ke kantor polisi setempat untuk diproses lebih lanjut. Luar biasa, teriakan PKI telah berhasil menghentikan langkah kabur sang Pencuri itu.
Kisah tersebut adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru yang disampaikan oleh kawan saya yang katanya menyaksikan langsung peristiwanya. Inti ceritanya adalah betapa stigma PKI yang komunis itu, telah menjadi momok di tengah masyarakat yang ditakuti oleh siapa pun.
Namun, setelah terjadi reformasi, situasi mulai berubah. Anak-anak PKI mulai bangkit. Mereka tidak lagi bersembunyi. Ada yang sudah menjadi anggota DPR RI seperti Ribka Tjiptaning dari Partai PDIP yang menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.
Dalam sebuah situs Kompasiana.com terkait Ribka Tjiptaning, diberitakan, bahwa Organisasi PKI bisa saja dilarang, PKI bisa diberangus, akan tetapi Ideologi PKI tidak akan pernah mati. Sampai saat ini, Ideologi Komunis, yang terlihat baru pada generasi anak PKI angkanya mencapai sekitar 15 Juta. Belum sampai pada generasi cucu yang pada Pemilu 2019 sudah mempunyai hak pilih.
Kalau dulu, PKI di Bully dan tidak diberi ruang dalam lingkup politik dan pemerintahan, justru sekarang mereka dapat simpati dan mulai timbul pembelaan dalam bentuk gugatan kepada Pemerintah agar “meluruskan” sejarah yang memojokkan PKI lalu meminta maaf kepada keluarga korban PKI dengan memberi kompensasi ganti rugi. Inilah wacana yang pernah berkembang sejak reformasi bergulir. PKI mulai mewujud. Tidak lagi sebagai hantu. Sementara itu, Islam sebagai anti komunis yang bisa memperkuat Pancasila sebagai ideologi negara, justru di stigmatisasi dan mulai dipinggirkan.
Lantas timbul pertanyaan, bagaimana halnya dengan Tap MPRS No 25 Tahun 1966 yang berisikan soal pembubaran dan pelarangan penyebaran ajaran PKI, Komunisme dan marxisme. Demikian juga dengan Undang-undang Nomor 27 tahun 1999 yang menegaskan pelarangan kegiatan penyebaran dan pengembangan faham komunisme, Leninisme dan Marxisme dalam berbagai bentuk. Undang-undang ataupun TAP MPRS yang masih berlaku itu, tampaknya dianggap tidak ada, dengan alasan HAM dan kebebasan berdemokrasi. Pertanyaannya kemudian apakah dalih HAM dan demokrasi untuk membela PKI harus mengabaikan asas hukum yang legal? Inilah anomalinya kita sebagai bangsa.
*)Penulis adalah Akademisi Universitas Hasanuddin
#Tulisan ini pernah dimuat di kolom secangkir teh koran Harian Fajar