Beranda Fajlurrahman Jurdi Rechtsvinding

Rechtsvinding

0
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Salah satu pelajaran dalam ilmu hukum adalah penemuan hukum” atau dengan kata lain disebut Rechtsvinding. Ada tiga kalimat singkat yang saling bertautan, yakni; “penemuan hukum”, pembentukan hukum” dan penerapan hukum”.  Kata penemuan menunjuk pada sesuatu yang sebelumnya “tidak ada sehingga harus dicari dan menjadi ada setelah ditemukan. Kata ini merujuk pada sesuatu yang eksistensial. “Pembentukan merujuk pada sesuatu yang juga belum ada sebelumnya, sehingga harus diadakan, dibentuk, atau diciptakan. Sedangkan penerapan merujuk pada sesuatu yang sudah ada, hanya tinggal diterapkan. Karena itu, kata penemuan dan pembentukan memiliki makna yang substansial, sedangkan kata penerapan memiliki makna yang artifisial.

Saya tidak ingin berdebat soal kata itu, karena biarkan ahli bahasa yang bisa menguraikannya lebih dalam. Dalam kaitannya dengan kata menemukan, bila anda membaca risalah-risalah postcolonial, anda akan disesaki oleh satu argumentasi sesat tentang location”, atau “the place” yang ditemukan. Seolah-olah sebelumnya tidak ada, lalu oleh beberapa orang yang karena ras dan peradabannya menemukan tempat itu, lalu mereka beri nama. Maka tempat yang semula tidak ada karena tidak punya nama, maka ia menjadi ada karena diberi nama.

Tetapi argumentasi yang hendak saya konstruksi dalam tulisan ini adalah soal sesuatu yang lebih substansial dari sekedar penemuan tempat dalam studi postcolonial. Karena hal ini terkait dengan konstruksi pemikiran yang berangkat dari premis-premis logis dalam ilmu hukum.  Jika saya membuat pernyataan, bila Roti sama dengan Roti, maka pada saat yang sama “Roti bukan gula dan roti tidak mungkin gula. Jika mencuri adalah kejahatan maka pada saat yang sama, mencuri bukanlah kebaikan dan mencuri tidak mungkin merupakan kebaikan. Itu artinya, cara berpikir dalam hukum pada dasarnya bersifat konpherensif, sistematis dan terstruktur. Hal ini berkaitan dengan premis logis.

Baik, mari kita tinggalkan location dalam postcolonialisme dan premis dalam logika itu. Bagaimana bila suatu kasus terjadi dalam masyarakat, tetapi tidak ada hukum yang mengaturnya. Tidak ada norma tertulis, tidak ada yurisprudensi dan tidak ada instrumen yang legitimate untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi.

Kita semua tentu setuju, bahwa sejak lahir hingga mati, hidup kita diikat oleh hukum. Tetapi kadang tidak ada norma hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan suatu kasus secara konkrit. Disinilah peran Rechtsvinding sebagai asas dalam hukum. Tetapi siapa subyek yang dapat menggunakan fasilitas ini?. Dalam pelajaran-pelajaran sederhana di bangku kuliah, hakim-lah yang memiliki fasilitas untuk menggunakan rechtsvinding sebagai a tools untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi.

Hal ini sejalan dengan penegasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Karena pengadilan dilarang menolak yang berarti dia wajib terima suatu perkara untuk diperiksa, diadili dan diputus, maka bila norma hukum yang tertulis tidak secara kongkrit dan jelas mengaturnya, maka disanalah ikhtiar seorang hakim untuk menemukan hukum. Jelas pula maksudnya, bahwa yang dihadapi adalah kasus “in conreto, yang nyata-nyata dihadapi.

Mungkin doktrin yang menguatkan hal ini adalah doktrin “sens-clair” atau disebut juga ia doctrine du sensclair”. Meskipun doktrin ini membolehkan penemuan hukum, namun dengan syarat, bahwa; kasus yang dihadapi secara kongkrit itu belum ada aturannya dan  ada aturannya, namun aturan tersebut belum jelas. Sehingga apabila ada upaya penemuan hukum” diluar dari syarat itu, maka tidak dapat dibenarkan. Meskipun demikian, doktrin ini sudah banyak ditinggalkan.

Penekanan rechtsvinding berhubungan dengan prinsip “Ius Curia Novit atau Curia Novit Jus”, yang memiliki postulat bahwa hakim dianggap mengetahui semua hukum. Ini sejalan dengan frase  Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” sebagaimana disebutkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman.

Oleh karena penolakan dilarang, maka ia harus menemukan hukum untuk memutus perkara kongkrit yang dihadapi.

Wallahu a’lam bishowab

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT