Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Hari-hari yang berat baru saja kita lalui, Pemilu dan Pilkada sudah usai. Waktu-waktu yang ditahbiskan untuk demokrasi dan pergantian kekuasaan baru saja kita bergeser darinya. Setelah momen-momen panjang dan melelahkan, penuh dengan intrik dan persekutuan, antara “kita” dan “mereka”, antara “kau” dan “aku” sebagai simbol jarak dalam seteru politik diantara kubu homo politis yang saling berburu ditengah hutan demokrasi yang belum bisa diurai, agenda konsolidasi demokrasi sedang dimulai dan dirajut kembali.
Gerakan tak terduga, hembusan angin politik, suhu ketegangan dan mesin kuasa sudah mereda, sebab sebagian sudah mencapai tujuan. Kekuasaan adalah fatarmogana yang tak henti diperebutkan. Kekuasaan adalah obyek yang tak pernah sepi di diskusikan. Ia menua bersama usia manusia. Sejak seteru Adam dan Iblis di surga, berujung pada pengusiran sang Iblis, jelas itu adalah diskursus tentang superioritas, tentang siapa yang paling dikehendaki. Yang berarti, siapa yang paling berkuasa. Tuhan berkehendak pada Adam sebagai khalifatan fil-ardhi, dan menegasikan eksistensi Iblis, yang semula bernama Azazil, sang pemuja Tuhan selama delapan ribu tahun. Suatu pemujaan yang panjang. Lalu dinegasikan oleh mahluk baru, merebut cinta dan rahmat Tuhan yang maha sempurna, dan menyebabkan sang Iblis terlempar jauh ke lembah nista. Dibuang, dikutuk, dinegasikan. Hingga dia bersumpah dalam api dendam sejarah, untuk melempar semua manusia ke dalam lembah neraka yang panasnya tiada ampun. Ini Semuanya adalah tentang kekuasaan.
Rasa sakit dan nista yang tiada terkira, membawa subyek Azazil-Iblis jatuh dalam perangkapnya sendiri. Ia lupa bahwa kekuasaan adalah entitas plural, bukan tunggal, kecuali kekuasaan yang Maha-Kuasa. Karena plural, semestinya sejak awal dia tau, bahwa dirinya eksistensial karena kehendak Tuhan yang Maha-Kuasa. Kutukan Azazil-Iblis, sekali lagi adalah kutukan tentang superioritas. Merasa diri paling baik dan paling mulia.
Dalam konteks inilah, perebutan kekuasaan adalah perebutan soal “kehendak berkuasa” yang di dalamnya penuh intrik, tipu muslihat, kebohongan dan saling sandera. Subyek yang memburu kekuasaan bermula pada kesombongan dan merasa bisa memimpin, lalu berakhir dalam lembah kebohongan. Rakyat terpapar dalam ketakpastian, menderita dalam penantian, sebab janji yang hampir tak pernah ditunaikan.
Kekuasaan diberhalakan sedemikian rupa, hingga menjadi obyek perburuan kolektif yang menista kemanusiaan. Dimana ada kekuasaan, disitu berbaris lapisan kebohongan dan orang-orang menderita dalam harapan dan kecemasan sekaligus, sebab yang diburu tak kunjung diperoleh. Makin jauh perburuan atas kekuasaan, makin tersesat di hutan belantara ketakpastian. Harapan selalu tumbuh, kalimat harus sering diucapkan, kebenaran terasing, sebab rantai kebohongan berada dalam lipatan-lipatan yang berjejal.
“Aku berjanji akan membangunkan anda jembatan yang megah”, kata seorang politisi dalam kampanye. Padahal ia tau daerahnya gak ada sungai. Tidak-kah ini semacam “kutukan janji” yang tak pernah bisa ditunaikan?. Bukankah ucapan itu menjadi kalimat yang paling boros dalam berpolitik?. Yang lain mengucapkan; “Aku akan berjuang untuk pengadaan perahu gratis bagi anda semua”, sahutnya dengan nada yang berapi-api. Padahal tempat dia berkampanye di masyarakat pegunungan, yang tak mengenal pantai dan laut sepanjang hidup mereka.
Kekuasaan menawarkan kemewahan, priveledge, jalan pintas dan keagungan semu yang kadang tak terduga. Ia bisa menekan birokrasi, menunda pembayaran pajak, memanipulasi laporan keuangan, memperkaya keluarga dan kolega, melindungi kejahatan, bahkan dalam kasus yang ajaib, mereka bisa memagari laut. Kekuasaan seringkali tertawan dalam hasrat perburuan yang tiada henti, candu yang tak pernah mati, kemewahan yang absurd, jaringan yang rumit dan penuh bahaya, karena separuhnya mengandalkan pelanggaran hukum, sebagian yang lainnya adalah kejahatan yang di sengaja.
Kekuasaan telah banyak memakan korban. Ada banyak upacara pemakaman, tumbal dan kematian, mantra-mantra politik yang mustahil dilaksanakan berjalan beriringan dalam setiap perburuan kekuasaan. Sebagian bertanya, “untuk apa kekuasaan ada, bagaimana ia dioperasikan, kepada siapa kekuasaan berguna, serta dengan cara apa dipertahankan”, adalah pertanyaan yang timbul tenggelam dalam setiap episode sejarah. Tiap musim dan waktu, selalu menawarkan pola dan harapan yang berbeda, namun berakhir dalam satu titik yang sama, bahwa kekuasaan selalu membawa kutukan.
Entah apa kutukan yang menanti kita beberapa waktu ke depan. Yang pasti, rakyat sudah menitipkan harapan pada mereka yang baru saja memperoleh kekuasaan. Lima tahun kita akan menanti, dan semoga penantian rakyat bukanlah pepesan kosong, yang berupa janji dan harapan, lalu menguap tanpa bekas.
Jika Azazil-Iblis di usir Tuhan dan dikutuk abadi, semoga mereka yang berkuasa tidak diusir rakyat dan dikutuk secara massal.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin