Oleh : Andi Nur Fajri Suloi*
Enrekang dengan ratusan kelokan jadi pemanis bagi lembah dan pegunungan di sisi jalan, yang cukup banyak menyediakan bahan-bahan litik pada masa prasejarah, memiliki luas wilayah sebesar 1.786,01 km² dengan jumlah penduduk 2016 mencapai 201.614 jiwa.
Kabupaten Enrekang memiliki segudang potensi sumber daya alam, mulai dari sektor pertanian dan perkebunan; sektor peternakan dan perikanan; sektor kehutanan; sektor pertambangan dan energi; serta sektor pariwisata. Dengan potensi yang dimiliki daerah Enrekang, maka tidak mustahil dapat berkembang pesat menjadi kota yang maju. Namun demikian, sumber daya yang tersedia untuk pembangunan selalu terbatas bila dibandingkan dengan kebutuhan. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan pembangunan sebagai pedoman bagi pelaksanaan pembangunan yang saling berkaitan dan berkesinambungan. Perencanaan pembangunan daerah itu sendiri pada prinsipnya merupakan kegiatan mensinergikan berbagai kepentingan dari stakeholders atau pelaku pembangunan daerah yang dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) domain, yaitu state atau lembaga pemerintahan yang terdiri dari eksekutif dan legislatif daerah, private atau swasta yaitu pelaku-pelaku dunia usaha, dan society atau masyarakat. Pembangunan dapat dimaknai sebagai upaya sadar untuk memanfaatkan potensi yang layak, memecahkan permasalahan yang dihadapi serta memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat menuju keadaan atau kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Perencanaan pembangunan merupakan langkah yang harus dilakukan setiap daerah dalam menyusun strategi disetiap daerah, dimana dari proses prencanaan pembangunan tersebut diharapkan menghasilkan suatu strategi yang dapat menghasilkan out-put dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah serta sesuai harapan masyarakat, dengan tetap memperhatikan pola umum pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan harus melihat dari berbagai aspek kehidupan, misalnya perencanaan di bidang ekonomi, perencanaan di bidang politik, perencanaan di bidang sosial, perencanaan di bidang kesehatan dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan hari ini harus semakin kompleks. Oleh karena itu, proses perencanaan pembangunan harus memperhatikan seluruh aspek kehidupan.
Substansi permasalahan pembangunan yang perlu diketahui adalah konsep pembangunan yang ada di Kabupaten Enrekang, mau dikemanakan? Implementasi strategi pembangunan Kabupaten Enrekang sudah menjadi EMAS ataukah hanya sekadar LOGAM.
Kondisi pembangunan Enrekang saat ini mengalami masalah dan kerancuan dalam proses implementasinya, salah satu hal yang bisa dilihat adalah maraknya aksi penolakan yang dikumandangkan oleh berbagai organ terhadap rencana sejumlah investasi di Kabupaten Enrekang, terutama yang paling mencuat adalah pabrik Asphalt Mixing Plant (AMP) milik PT Nindya-Sejahtera di Lingkungan Matua, Kelurahan Buntu Sugi, Kecamatan Alla, penambangan yang akan dilakukan oleh PT. Arung Bungin Group di Kec. Buntu Batu, dan rencana pembukaan ribuan hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Kec. Maiwa, Cendana dan Enrekang,
Pabrik Asphalt Mixing Plant (AMP) milik PT Nindya-Sejahtera di Lingkungan Matua, Kelurahan Buntu Sugi, Kecamatan Alla, dirisaukan masyarakat karena letakknya yang sangat dekat dengan pemukiman warga, yaitu kurang lebih 50-70 meter. Hal tersebut dituding menjadi biang pencemaran udara yang menyebabkan masyarakat sekitar tambang terserang penyakit. Asapnya yang menyengat dan bau sangat mengganggu aktivitas masyarakat. Asapnya pun kini lebih banyak menutupi permukiman di sekitar area AMP. Pasalnya, cerobong asap mesin sudah dibuat PT Nindya – Sejahtera lebih tinggi. Alih-alih untuk membuang polutan lebih tinggi, justru semakin lebih dekat ke rumah-rumah warga yang berada nyaris sejajar dengan ujung cerobong asap. Belum lagi, operasional AMP itu mencemari lahan pertanian yang menjadi sumber pendapatan warga setempat. Ditambah banyaknya hal yang diabaikan perusahaan AMP memberikan dampak horizontal, yaitu terjadinya konflik sosial antar masyarakat yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Bagian teknisi dari perusahaan ini bahkan telah mengakui kesalahan karena lokasinya yang tidak tepat, tetapi pemerintah daerah tetap mempertahankannya.
Selain pabrik AMP, berbagai wilayah yang diisukan akan dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit dan tambang di Kab. Enrekang adalah kawasan adat dan cagar budaya. Jika hal itu benar dan dipaksakan maka ini merupakan pemerkosaan terhadap tatanan sosial masyarakat sekaligus upaya untuk meluluhlantahkan situs-situs sakral yang notabene adalah sisa-sisa peninggalan peradaban lampau Massenrempulu. Hutan dan bebatuan dalam konsepsi masyarakat adat tidak sebatas lingkungan semata tetapi lebih dari itu, hutan dan bebatuan adalah ruang transeden spiritual, simbol-simbol yang mengekspresikan kearifan serta inspirasi dari puisi, musikal dan berbagai kesenian lokal lainnya. Selain itu pertambangan sangat jauh dari corak hidup masyarakat Massenrempulu yang berakar pada kebudayaan agraris. Investasi tambang dan kelapa sawit juga sangat berpotensi memunculkan konflik ditengah-tengah masyarakat kita sebagai basis kultural peradaban, terutama konflik agrarian. Tidak sedikit juga merupakan akibat dari keserakahan kaum kapital yang “berselingkuh” dengan penguasa lokal.
Sedangkan, seharusnya pembangunan yang diharapkan harus memperhatikan segala aspek, sejumlah aspek penting dalam pendekatan pembangunan daerah berlandaskan pada prinsip berikut (Redjo, 2013) :
a. Berorientasi pada masyarakat.
Masyarakat didaerah adalah pelaku sekaligus pihak yang mendapatkan manfaat dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Sehingga program pembangunan diarahkan untuk kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis masyarakat yang hasil dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat
b. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Proses pembangunan, pelaksanaan sampai kepada pengawasan melibatkan masyarakat. Sehingga aspirasi, kebutuhan daerah dan masyarakat terakomodir dan hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati secara langsung serta dapat memberdayakan masarakat:
c. Sesuai dengan Adat dan Budaya masyarakat
Pengembangan kegiatan dilaksanakan dengan memperhatikan adat, budaya dan norma-norma yang terpelihara dan berkembang dalam masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal yang memperkaya khazanah budaya bangsa dalam kerangka orientasi lokal, nasional, regional, dan global
d. Berwawasan Lingkungan.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya daerah harus berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Prinsip ini mempertimbangkan dampak kegiatan terhadap kondisi lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat didaerah dalam jangka pendek, menengah dan panjang
e. Tidak diskriminatif.
Pelaksanan pembangunan tersebar keseluruh wilayah kecamatan, kampung/kelurahan sesuai pengembangan enam klaster wilayah kepulaun serta tidak diskriminatif, sehingga tidak akan bias pada kepentingan tertentu
f. Kemitraan
Pelaksanaan pembangunan berdasarkan prinsip kemitraan antara masyarakat, swasta dan pemerintah
g. Berbasis Pemerintahan yang bersih.
Penyelenggaraan pemerintahan berbasis pada clean governments dan good governance
h. Anggaran berbasis kinerja.
Pengelolaan anggaran dilaksanakan berdasarkan sistim anggaran berbasis kinerja.
Dari beberapa aspek tersebut, dapat dilihat bahwa implementasi pembangunan di Kabupaten Enrekang atau dibumi massenrempulu belum sepenuhnya efektif dilaksanakan, atau pembangunan di Enrekang hanya sekadar logam dan jauh dari kata emas.
Urgensitas pembangunan di bumi Massenrempulu yang perlu diperhatikan adalah saat arah pembangunan ditentukan para investor untuk dikelola, mereka akan melakukan segala cara untuk kepentingannya sendiri termasuk mendatangkan tenaga ahli dari luar dan kesempatan kerja yang diperuntukkan kepada masyarakat kita hanyalah buruh kasar dan hal itu akan menimbulkan kenyataan bahwa kita akan menjadi “tamu” ditanah sendiri. Seharusnya dalam mengambil sebuah kebijakan, pemerintah idealnya harus mempertimbangkan aspek sosial masyarakat dan nilai kearifan lokal yang melingkupinya. Daerah Massenrempulu adalah kawasan pegunungan yang dalam sejarahnya, leluhur telah memberikan sebuah pijakan nilai yang harus menjadi pertimbangan dalam proses pembangunan.
Memang sebuah ironi, bahwa ternyata pembangunan di bumi Massenrempulu bukanlah emas seperti yang dicita-citakan, melainkan hanyalah sekadar logam. Semoga kedepannya pola pembangunan di daerah Massenrempulu bisa berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan yaitu Emas (Enrekang Maju Aman Sejahtera), pembangunan partisipatif yang pro rakyat, bukan pembangunan yang yang sarat dengan kepentingan.
Oleh karena itu pelaku kebijakan yakni pemerintah dan elite politik di Kab. Enrekang harus mengedepankan nilai-nilai luhur daerah sebagai roh dari setiap kebijakan yang diambil, sadar bahwa mereka adalah pelayan masyarakat yang dititipkan amanah, mengelola konsep sumber daya alam yang berkelanjutan dan tidak diskriminatif, memberikan IUP kepada perusahaan dengan kesepakatan untuk memberikan porsi kepada masyarakat dalam kegiatan penambangan sehingga masyarakat dapat melakukan penambangan di wilayah tertentu (jauh dari pemukiman penduduk serta bukan merupakan daerah kawasan adat) dalam konsensi perusahaan dengan perjanjian khusus diantara mereka.
Pembangunan yang baik dimulai dengan perencanaan yang baik, selanjutnya program yang telah disusun dan dituangkan dalam RKPD tersebut memerlukan implementasi, monitoring dan evaluasi untuk memberikan feedback bagi proses perencanaan yang akan datang. Sejauh mana perubahan yang dihasilkan dari implementasi program pembangunan tersebut akan menunjukkan efektivitas pembangunan daerah.
Meski demikian, harapan itu tetap ada. Slogan Massenrempulu Tana Rigalla Tana Riabussungi (Massenrempulu Tanah yang Diagungkan dan Tanah yang Dikeramatkan) masih mengakar kedalam sebagian jiwa masyarakat yang akan memelihara eksotisme alam tetap asri. Terjaga dari hikayat kearifan yang dikubur hidup-hidup oleh pisau keserakahan. Menepis segala bandit dan cukong perampas kekayaan alam dan tanah yang tertawa cengengesan diatas singgasana mewah, sementara jeritan tangis kaum marjinal dihempas angin gunung. Mengganjal setiap elite politik dan penguasa dengan mengatasnamakan demokrasi, menjual kedaulatan rakyat dalam obligasi pertarungan politik.
* Penulis adalah Anggota Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrempulu
Komisariat Universitas Hasanuddin
#Esai tersebut menjadi juara 2 (dua) dalam perlombaan essai MILAD HPMM ke-71