Dari politik “kutu loncat” hingga “kutu buku” terpikat pesonanya
Oleh: A. Hendra Dimansa*
Di suatu stasiun tv yang tengah menyiarkan langsung acara debat kandidat, seorang kandidat tampil memaparkan visi-misinya dilengkapi berbagai capaiannya. Sebaliknya rival politiknya hanya mengutarakan perlunya “kesantunan”, lebih baik menata “moral” dibandingkan menata “pedagang kaki lima” yang memenuhi ruas jalan. Lebih baik “dialog” dari pada “dieksekusi” cepat.
Proses demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia dengan menyuguhkan perhelatan di tingkat pemilihan presiden hingga pemilihan di tingkat RT. Hal tersebut menunjukkan betapa demokratisnya bangsa Indonesia secara kuantitas, bila dilihat dari frekuensi “keseringan” melaksanakan hajatan demokrasi. Tetapi, apakah hal tersebut berbanding lurus dengan kualitas ? tidak mudah untuk mengatakan bahwa pelaksanaan dan perhelatan pesta demokrasi di Indonesia sudah teramat berkualitas, sebab di depan kedipan mata kita diperhadapkan oleh data dan fakta soal perhelatan demokrasi yang lebih banyak menyuguhkan “amukan” massa dibandingkan “uplose” terhadap pelaksanaan demokrasi.
Demokrasi yang berkualitas disemai dan ditandai dengan kehadiran pemilih rasional, dengan melandaskan aspirasi dan penyaluran hak politiknya berlandaskan sejauh mana visi-misi partai politik dan kandidat realistis untuk diwujudkan serta track record partai politik dan kandidat dari segi konsistensi memperjuangkan kepentingan publik. Kehadiran pemilih rasional ditiap perhelatan pesta demokrasi bukan tidak ada melainkan dari segi jumlah masih terpaut teramat jauh dibandingkan pemilih-pemilih yang mendasarkan pilihannya dengan pertimbangan yang lain.
Berdasarkan kalkulasi peluang yang mempertimbangkan melimpahnya sumber-sumber suara dari pemilih dengan pertimbangan yang jauh dari kategori rasional, maka para politisi yang menomor duakan “pendidikan politik” dengan menjadikan “kemenangan politik” diatas segala-galanya. Sehingga membuat politisi “shortcut” jalan pintas dengan menggunakan pendekatan afektif/emosional untuk mendulang suara. Sehingga tidaklah mengherankan apabila para elit partai politik dan kandidat mulai dari presiden, gubernur hingga bupati lebih lihai dan piawai menggunakan jurus yang sangat penuh emosional. Dalam rangka menggaet dan menancapkan image politiknya disanubari pemilih. Politik jalan pintas “shortcut” lewat pendekatan afektif/emosional menjadi andalan para politisi mulai dari politisi “kutu loncat” hingga politisi “kutu buku” teramat doyan dan piawai menggunakannya serta memainkannya dengan kelihaian diatas rata-rata.
Lewat pendekatan afektif para politisi menyamarkan maksudnya, seolah perjuangan politiknya untuk membela harkat dan martabat negara dari oknum-oknum yang melukai agama dan suku warga negara. Sehingga kartu-kartu politik para politisi dengan pendekatan afektif teramat menjanjikan guna mendulang suara, tetapi bagai bara api ditangan yang sewaktu-waktu dapat melukai tangan si penggunanya. Dengan berbekal kartu politik pendekatan afektif seorang kandidat dapat mengalahkan kandidat lain, yang menjadikan perbedaan agama hingga etnis untuk mematahkan langkah politik lawannya. Di pilkada serentak 2018 hingga pilpres dan pileg 2019 bisa kita perhatikan, apakah olahan pendekatan afektif masih menjadi hidangan para politisi dalam orasi politiknya dan kampanye mereka ? mari kita nantikan debut mereka di tahun politik.
*) penulis adalah mahasiswa UIN Alauddin Makassar