Beranda Mimbar Ide Mungkin Ada yang Belum Cukup dalam Demokrasi Kita

Mungkin Ada yang Belum Cukup dalam Demokrasi Kita

0
Muh. Asratillah Senge

Oleh : Muh. Asratillah Senge*

Tercatatlah nama Thersites, seorang pembangkang yang diabadikan namanya oleh Homerus dalam Iliad. Dia berkeberatan terhadap tuannya sang Agamemmon yang memobilisasi rakyat agar menjadi serdadu menyerang Troja. Alasan Agamemmon bertindak demikian tampak sepele, karena Istri adiknya diambil paksa oleh Paris adik Hektor sang raja Troja. Dengan kata lain urusan rumah tangga yang privat sifatnya (oikos), telah menjadi urusan orang banyak, yang dalam konteks sekarang merupakan urusan publik (res publica). Dalam kerajaan ataupun kedatuan, antara yang publik dan privat, saling berseliweran memang. Dalam demokrasi kedua ranah tersebut diupayakan terpisah, walapun tak mudah memang.

Thersites bertanya-tanya, Agamemmon sudah menumpuk emas, mendapatkan banyak wanita serta harta rampasan perang yang berlimpah, lalu buat apa dia memaksa serdadu untuk tetap beradu nasib dalam prang yang berkepanjangan. Tapi anehnya dia justru digebuk oleh Odysseus dengan skheptron yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “tongkat” tapi bagi saya juga bisa diartikan sebagai “tongkat kekuasaan”. Saat Thersites dipukul dengan tongkat kekuasaan, Odysseus menegaskan bahwa polykoirania yang artinya pemerintahan dimana semua orang adalah raja, merupakan hal yang tidak baik, hirarki kepemimpinan adalah hal yang wajar bahkan niscaya.

Yang lebih menarik, adalah julukan yang diberikan kepada Thersites akibat upaya pembangkangannya. Odysseus menyebutnya sebagai khereioteron, yang artinya orang yang paling rendah. Bahkan dalam Illiad Homerus menggambarkan Thersites sebagai orang yang buruk rupa (aiskhritos) di antara seluruh armada Yunani: dengan kaki pincang, punggung bungkuk dan kepala nyaris botak. Pelabelan “rupa mengerikan” bak “hantu” ataupun “monster” kepada Thersites diberikan, akibat dia keras kepala menggugat tatanan kuasa, dan lebih dalam dari itu, karena dia mempertanyakan perihal yang sudah dianggap kodrati dan dianggap benar oleh orang kebanyakan.

Setiap tatanan kuasa akan berusaha menjadikan segala yang ada wilayahnya, bisa terpantau sepenuhnya (scene). Tapi kekuasaan bukanlah Ilahi yang Maha Segalanya, maka demikian akan ada selalu yang luput (obscene) oleh kuasa. Dan segala yang Obscene, akan dianggap sebagai yang menyimpang, sehingga perlu disingkirkan. Kekuasaan sedari zaman klasik, adalah semacam kastil yang sebisa mungkin menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan yang mengejutkan.

Pada saat Nero berkuasa, orang kristen dianggap “wabah”, serta dituduh sebagai kelompok yang bersekongkol membakar kota, sehingga rakyat bersama raja bersorak melemparkan mereka ke mulut singa. Hal yang serupa terjadi di abad 14, penyakit menular menyerang Eropa, orang Kristen menjadi beringas, mereka menuduh orang-orang kusta sengaja menyebarkan penyakit tersebut, maka ratusan Muslim dan Orang Yahudi terpanggang di api pembakaran. Saya tak tahu apakah yang dibakar dan dibunuh semena-mena yang merupakan “wabah”, atau justru tindak membakar dan membunuh semena-mena hanya karena yang dibakar-dibunuh berbeda dengan orang kebanyakan adalah wabah sebenarnya. Kita bisa menyebut wabah ini sebagai “Heterophobia” (ketakutan akan perbedaan) seperti yang pernah disebutkan oleh F. Budi Hardiman dalam Memahami Negativitas, kita juga bisa menyebutnya “Santeto-Fobia” seperti yang disebutkan oleh Goenawan Mohamad dalam sebuah esainya, tapi saya cukup menamainya “wabah” dalam esai ini.

Wabah yang sama pula di masa lampau menyebabkan Hitler membunuh Yahudi dan anak-anaknya secara massal. Mendorong Stalin mengirim ratusan yang “mempertanyakannya” ke pembuangan bahkan membuat senator McCharty menghabisi Charlie Chaplin dengan menuduhnya sebagai “komplotan komunis”. Mungkin di era demokrasi ini kita berbangga hati, tentang imunitas kita akan wabah itu, tapi jauh panggang dari api. Buktinya begitu mudahnya kita mengatai “monyet” saudara kita di Papua yang sedang menuntut keadilan. Begitu mudahnya kita melabeli buku-buku bersampul “kiri” sebagai “patologi iman”. Begitu entengnya kita enggan meminta maaf, saat ucapan kita nyata-nyata menyinggung perasaan kelompok yang berbeda, belum lagi kasus saudara-saudara Ahmadiyah dan Syi’ah.

Menariknya wabah ini menjangkiti baik yang pro ataupun tidak akan rezim pemerintahan yang terpilih. Jika di masa Orde Lama, mempertanyakan Soekarno akan dilabeli “kontra revolusi”, di masa Orde Baru yang memperkarakan program repelita (rencana pembangunan lima tahun) penguasa akan dilabeli dengan “anti pancasila” bahkan “antek PKI”, masa kini yang ragu akan langkah-langkah penguasa menjadi rentan dilabeli “anti-NKRI”. Salah satu manifestasi wabah tersebut adalah “teologi dan retorika harga mati”, seakan-akan proses deliberasi yang memungkinkan memperkarakan hal-hal mendasar dalam bernegara, walaupun menggunakan diskursus rasional sekalipun, tak lagi dimungkinkan.

Akhirnya kita akan selalu merasa cemas akan adanya skenario persekongkolan-persekongkolan jahat yang mengepung “rumah kita” (rumah iman kita, rumah agama kita, rumah NKRI kita, rumah etnis kita dll.). Mulai dari teori bumi bulat dan program imunisasi yang dikatai sebagai konspirasi Yahudi, hingga kelompok “PKI” dan “Radikal” yang merayap di mana-mana dan setiap saat menyergap. Dan kita pun berusaha membuktikan skenario jahat itu, tapi apa yang kita maksud dengan bukti itu ?. Cara berpikir pun menjadi jungkir balik bukan skenario yang harus dibuktikan, melainkan seknario (walaupun sepenuhnya dugaan) yang justru membuktikan.

Sains dan metode ilmiah (dimana mempertanyakan dan keraguan metodis adalah sesuatu yang inhern padanya) telah diintrodusir di sekolah ataupun perguruan-perguruan tinggi kita, tapi soal rumor dan sangkaan kita akan persekongkolan-persekongkolan jahat, tak kunjung mau kita ragukan atau minimal pertanyakan. Ini pula yang jadi ironi, di tengah berlomba-lombanya sekolah dan perguruan tinggi mengupgrade akreditasi melalui tulisan-tulisan ilmiah, perbaikan adminsitrasi dan dorongan akan riset, semakin pengecut pula kita menjadi berbeda dari orang kebanyakan walaupun benar. Mungkin benar anggapan bahwa, walaupun demokrasi bisa membatasi laku sang penguasa, tapi demokrasi juga menjadikan kita sebagai “orang rata-rata” atau “orang kebanyakan”. Seperti pula yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad dalam Demokrasi dan Kekecewaan, “ demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri….pemilihan umum, mekanismenya yang umum, adalah mesin yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung ‘kurva lonceng’ : sebagian besar orang tak menghendaki perubahan ‘yang ekstrem’. Statistik menunjukkan ada semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang mengguncang-guncang. Statistik itu status quo”. Mungkin ada yang belum cukup dalam demokrasi kita, atau tak ada kata cukup dalam demokrasi ?, karena jika ada demokrasi yang merasa bercukup diri maka dia tak akan demokratis lagi.

*) Penulis adalah Direktur Profetik Institute dan koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Sulsel

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT