Beranda Berdikari Indef Sebut Pengangguran Terampil dan Terdidik Kian Meningkat

Indef Sebut Pengangguran Terampil dan Terdidik Kian Meningkat

0
mde

MataKita.co, Jakarta – Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menyampaikan, masalah struktural di dalam dunia ketenaga kerjaan di Indonesia adalah penurunan tingkat pengangguran yang kian melambat.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jika dibagi dalam periode kepemimpinan nasional, maka tingkat pengangguran di era SBY-JK turun 3,37% (2,94 juta jiwa), dari November 2015 sebesar 11,24% (11,90 juta pengangguran) ke 7,87% (8,96 juta pengangguran) pada Agustus 2009. Di era SBY-Boediono turun 1,93% (1,72 juta jiwa). Sementara selama 4 tahun era Jokowi-JK turun sebesar 0,84% (560.130 jiwa), dari 6,18% (Agustus 2015) menjadi 5,34% (Agustus 2018).

Dari sisi struktur, sebagian besar pengangguran merupakan lulusan SMA (27,57%) dan SMK (24,74%). Di samping itu, pengangguran dari lulusan Universitas juga cukup besar (10,42%). Bahkan tingkat pengangguran dari SMK dan Universitas terus mengalami tren kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Di 2018, peningkatan pengangguran lulusan Universitas mencapai 17,9%, sementara lulusan SMK hampir 7%.

“Problem utama kita sebetulnya ada di sini. Pengangguran lulusan SMK yang dikatakan terampil dan lulusan Universitas yang terdidik ternyata mengalami peningkatan sejak tahun 2012 dan 2013,” jelas Eko Listiyanto, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).

Menurut Eko, kondisi ini menggambarkan sektor-sektor ekonomi yang memerlukan keahlian dan keterampilan di Indonesia, khususnya sektor industri manufaktur tumbuh lambat, sehingga daya serap bagi angkatan kerja terlatih dan terdidik rendah.

“Laju industri pengolahan tak mampu mengimbangi relatif tingginya porsi pengangguran lulusan SMK dan Universitas. Bila kita membayangkan pendidikan vokasi yang ideal, itu kan salah satunya di Jerman. Sebagai negara industri, di sana industrinya memang tumbuh, sehingga lulusan SMK-nya selalu diserap. Sementara di Indonesia, industrinya tida tumbuh-tumbuh,” tuturnya.

Dikatakan Eko, permasalahan pengangguran terdidik dan terlatih juga terlihat dalam mismatch pendidikan dan pekerjaan di Indonesia. Materi atau kurikulum yang diberikan di sekolah atau universitas nyatanya banak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan industri.

Di sisi Iain, pekerja berdasarkan pendidikan pun sebagian besar hanya lulusan SMP ke bawah. Menurut Eko, hal ini menggambarkan daya saing dan produktivitas yang rendah dalam perekonomian. Sebagian besar pekerja ini menggantungkan hidup di sektor pertanian yang kontribusinya semakin kecil dalam pertumbuhan ekonomi.

“Sebagian besar pekerja kita itu bekerja di sektor pertanian, perdagangan dan jasa, artinya di sektor-sektro yang pertumbuuhannya relatif rendah, sehingga tidak banyak menciptakan efek berganda bagi perekonomian Indonesia,” ujar Eko.

Melihat permasalahan tersebut, menurut Eko pelatihan ataupun sertifikasi tidak cukup. Perlu ada upaya mendorong kebijakan dari sisi permintaan (demand), yaitu ketersediaan lapangan kerja. Jika Iebih fokus pada sisi penawaran, dikhawatirkan akan terjadi banyak pengangguran yang diIatih, tetapi setelah itu tidak terserap di pasar kerja.

Selain itu, kebijakan investasi juga perlu mengarah pada struktur ketenagakerjaan yang ada di Indonesia agar investasi yang masuk (baik domestik maupun asing) sebagian besar menjadi solusi atas cukup besarnya penggangguran yang ada saat ini.

brs

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT