Oleh: Ermansyah R. Hindi*
‘Individu yang berbahaya’ diminta lebih banyak belajar pada moral agung yang lihai. Seseorang yang berbelasungkawa pada ketinggian moral akan mengambil tempat perlindungan dirinya dari marabahaya rasa jumud, bisu, pasrah, dan absolut. Saat ini, dalam kerawanan dan kenekatan kita, individu-individu tumbuh bersama tubuh yang jinak, seperti seseorang bersedia menerima secara membuta terhadap sesuatu, padahal sesungguhnya tidak lebih dari ‘kebenaran yang bertopeng’, akibat dari orang-orang terbujuk rayu tetapi membebek parah. Pada siapa kita bertanya mengenai orang sakit moral dan apa yang menjadi obat penyembuhnya? Satu-satunya jalan sementara dari kejahatan yang terselubung tanpa dorongan dari fantasi individual dan fantasi kelompok adalah menghubungkannya dengan individu yang berbahaya dibanding membusuknya pikiran.
Individu yang berbahaya tidak mencerminkan sesuatu sesuai kedalaman yang kosong dari moral Anda. Kita tidak dapat juga membayangkan seorang pejabat tinggi negara diserang dengan kekerasan fisik (dari orang-orang yang tidak dikenalnya?). Kejahatan dari seseorang nampaknya bukanlah kejahatan moral. Karena itu, setiap pernyataan dari aparat negara merupakan kata-kata terakhir bagi sosok bayangan tidak terlihat dengan mata kita menjadi individu yang berbahaya di sekitar kita.
Sebaliknya, seorang anak kecil begitu polos, naik ke tingkat abstrak pikirannya, dimana satu tahap perkembangan tubuhnya merupakan pelengkap dari regenerasi kepemimpinan; dari “jejak-jejak ketidakhadiran” kemurnian untuk membuka kedok kepalsuan sehingga seseorang tidak tertipu oleh bayangan dalam cermin. Memang betul, kita masih perlu menguji manusia obyektif yang orang menyebutnya sebagai “cermin”. Sekali waktu, dia merapikan tubuhnya agar nampak bersih dan berwibawa, di lain waktu, dia nampak buram, pucat dan humorik dalam suatu ‘cermin monster moral tanpa bayangan diri’. Eksistensi manusia menjadi benda-benda yang dipantulkan melalui cermin, tanpa kepura-puraan dan komedikal. Pembentukan jejak-jejak dalam ingatan kita terbebas dari “sang Lain”, ‘dibagian dalam’ dan ‘di luar’ dunia nyata menjadi tahapan untuk mengosongkan kesadaran. Ia bukan lagi jenis keintiman melalui kedalaman kesadaran dan moral dari apa-apa yang tidak dapat disembunyikan melalui individu yang berbahaya, dari aparat kuasa negara dan pihak lainnya yang larut dalam kesenangan akan kejahatannya sendiri. Bagi individu yang berbahaya, kesenangan akan kejahatan sebagai akibat dari mesin ketidaksadaran beroperasi antara diskursus tentang ketidakadilan dan kesetiaan atas ‘yang nyata’ (uang, jabatan) dari aparat kuasa negara.
Siapa sebenarnya diri kita, apakah asap, zat cair ataukah kita tidak dapat dirangsang dengan ‘bayangan tubuh tanpa cermin’? Bandingkanlah ajaran kebenaran diserap dan dikacaukan yang berada dalam benteng moralnya sendiri melalui kekuatan identifikasi tubuh (ramping, mulus, cantik mendekati aparatur negara yang ‘bersih’ dan ‘sehat’)! Mereka terus-menerus menemukan dirinya dengan godaan moral dan tipu muslihat dalam penyamaran panjang! Apa yang harus kita yakini dalam suatu dunia yang disimulasikan, ditirukan dan digandakan citranya bersama sebuah kepicikan, dimana ‘kepalsuan’ dianggap ‘kebenaran’ yang memiliki relasi bolak-balik bersama pelajaran moral yang fantastis dan ironis. Kebenaran menyerupai obyek yang direpresentasikan dalam pikiran dan kata-kata.
Dalam akuntabilitas kuasa negara di hadapan tatanan, isi dan bentuk disamarkannya, mereka tidak dapat dirangsang dan diejakulasi apabila kita diperhadapkan kepada sesuatu hal, kecuali dia melahirkan kekerasan hasrat dialirkan dalam arus tanda kebenaran universal paling loyal, bersih, kuat, dan berani melintasi tubuh, dari aparat dengungan-buzzer akan nyaman memperbincangkan hal-hal yang panas dalam diskursus politik kuasa. Mereka tidak lagi melihat fatamorgana.
Permasalah utama dari moral adalah moral itu sendiri. Moral terdiri dari dua tingkatan, yaitu ‘bentuk kenikmatan’ dan ‘bayangan terbalik’ (reserve shadow). Seluruh kenikmatan didalamnya terdapat jejak-jejak dan bentuk-bentuk baru bagi kelangsungan pergerakan suatu ejakulator yang menampilkan dirinya melalui ‘perkembangbiakan’ dan ‘penyebaran’ dirinya sendiri. Pergerakan dari ejakulator memasuki rezim kebenaran dari mana saja kemunculannya yang dikorupsi. Kuasa bukanlah permasalahan moral sejauh kita menolak representasi benda-benda dan pikiran yang membusuk. Permasalahan itu terjadi boleh dikatakan hampir di setiap organisasi pemerintahan: ‘proses dideritorialisasi despotik atas mesin cita rasanya’ (Deleuzean). Individu yang berbahaya yang terinstitusikan bekerja sesuai dengan amanah konstitusi negara tiba-tiba dibelokkan dengan kepentingan yang tidak senonoh dari aparat atau pejabat negara. Ironi dari institusi kuasa negara melalui penyelenggara negara yang bebas korupsi, bersih dari segala manifestasi penyimpangan jabatan atau penyelewengan kuasa menjadi tata bahasa baru dalam ‘ejakulator’. Individu yang berbahaya dari orang-orang di luar institusi negara (mesin sosial) sesungguhnya tidak memiliki keterkaitan dengan moral. Karena itu, nilai moral hanyalah bayangan terbalik dari cara berpikir kita, dimana ‘di bagian dalam monster’, ‘di bagian luar berwajah moral’ saling mengejakulasi antara satu dengan yang lainnya.
Sebagaimana teks tertulis dan pembaca, nilai moral mengakhiri keterbukaan dari nafsu yang termaterailisasi melalui tubuh. Kita mungkin sering memenuhi pikiran dengan fantasi dari mesin-mesin berbicara pada ruang yang kosong, tetapi bukan hal-hal yang berurusan keremeh-temehan dengan moral. Taruhlah misalnya, suatu kursi pesakitan memperlihatkan dirinya ditengah tatanan sublim yang dikepung oleh tulisan dan citra-citra juga di luar pertimbangan moral. Setelah itu, dunia yang kita saksikan tidak lagi berada dalam metafora atau dalam mimpi ilusif, karena kita lebih terangsang dengan rangkaian tentang “perang melawan terorisme atau radikalisme”, “Meja Bandar”, “Rumah Ibadah”, “Erotisme”, dan penyelewengan kuasa negara yang seluruhnya tidak mengenal lagi sarana-sarana vital bagi insting-insting dan institusi negara yang pada akhirnya berubah menjadi individu yang berbahaya di balik institusi maupun kelompok tertentu.
Sejarah ilmu pengetahuan kita sekarang masih melepaskan nilainya dari moral, kecuali nilai guna atau nilai performativitas seperti terjadi dalam dunia yang tersibernetisasi. Anda mengambil uang secara ilegal itu bernilai sejauh itu berguna dan merugikan saya dan Anda. Kepentingan diri sendiri lebih mendapat perhatian yang luas, dibanding sama sekali tidak berguna bagi seseorang dalam kehidupan. Dalam suatu kasus, X melakukan penyiksaan secara fisik terhadap Y, mereka tidak serta merta dihukum sebagai bentuk pelanggaraan moral. Betapa nilai moral seseorang selalu memasukkan sisi ejakulator dalam kenikmatan melalui teknik penghancuran nalar, seperti takhyul atau dogma belaka. Ingatan diganggu bukan oleh masa depan, melainkan kita diingatkan dalam gambaran masa lalu; puncak-puncak kenikmatan irrasionalitas melewati cahaya malam diantara celah-celah siang dengan kekacauan mimpi. Lalu, buat apa ada nilai kejujuran di lubang kecil yang dibentuk oleh sang ironis besar. Demi kestabilan dan demi kedalaman cita rasa kita, setiap orang jujur adalah musuh bersama dalam institusi negara atau oknum aparat negara yang memproduksi kemiripan monster yang tidak menakutkan. Suatu saat ia tersembunyi, saat lain muncul ke permukaan melalui kedalaman moral atas kemiripan dengan individu yang berbahaya tidak dapat diukur.
Penyelewengan kebenaran dalam korupsi tidak lebih dari kenikmatan untuk mengejakulasi kenikmatan lainnya melebihi analisis tentang moral. Kata lain, korupsi sebagai kenikmatan dan hasrat yang terepresif akibat energinya tidak disalurkan dan dibagi secara produktif dan institutif. Banyak data kasus, prilaku koruptif melibatkan wakil rakyat atau individu-individu terhormat di parlemen bersama sebagian pejabat negara lain secara individual tidak luput dari bahaya monster moral yang membayanginya. Misalnya, negara secara institusi terus melawan korupsi akibat dari individu yang berbahaya telah menjadi penyakit kronis dan merajalela dimana-mana. Paradoks dari kuasa yang direpresentasikan dirinya melalui pejabat negara yang terindividualkan terhadap kejahatan individu dihubungkan dengan kelompok teroris tertentu. Sementara aparat atau pejabat negara secara individual mengeluarkan pernyataan, pandangan dan sikap terhadap penyerangan atau kejahatan yang menimpa pihak secara individual yang berada di luar rezim kuasa negara.
Dalam rezim kenikmatan yang berada dalam kebenaran yang bertopeng, setiap individu yang berada di luar rezim kuasa negara yang mengganggu kewibawaan dan posisinya akan dianggap sebagai individu berbahaya tidak tampak sebagai monster moral. Sebaliknya, individu yang berbahaya secara non personal dan institusional lebih memiliki kemiripan dengan energi dari ejakulator, yaitu “obat penenang” sekaligus “obat perangsang” dalam mimpi, fantasi dan pikiran. Setiap individu yang berbahaya merupakan suatu mekanisme melawan vitalisme di sekitar kita.
Mengapa kita masih menginterpretasikan sang perubah tentang teks mimpi dalam arus “figur ironis besar”, ketika arus produksi hasrat untuk berkuasa menyamarkan individu yang berbahaya dalam lingkaran kuasa”? Bukankah setiap arus produksi hasrat untuk berkuasa memantulkan suatu obyek hasrat yang tercabik-cabik? Tidak tergantung kepada rentetan struktur atau kondisi dan produksi politik tanpa cermin menjadi kesatuan absurd dari strategi “yang lain di dalam yang sama” untuk menentang keduanya, akhirnya celah kebenaran dikacaukan dengan cita rasa moral.
Sebagaimana dialektika, logika pengulangan akan kekacaubalauan ternyata muncul dalam individu yang berbahaya dibentuknya sejauh tanda ketidaksadaran kuasa yang dipantulkan oleh obyek hasrat, dalam sintaksis bahasa kemabukan. Kita melihat, bukan hanya pandai melempar dadu, melainkan kita masih menyalakan “api di siang bolong”. Inilah tontonan besar dari seribu adegan tubuh kita: ars erotica, ars politico (seni birahi, seni politik)! Kepada siapakah kita tidak bertanya tentang perkara kebajikan, seni, musik, tarian, kronis, dan intelek, kecuali sesuatu yang nyata, fantastis dan ilahi?
Banyak jiwa, tetapi sedikit manusia (bahkan tuhan-tuhan Berhala dan dunia virtual terjebak dalam relasi dominasi: daya menguasai dan dikuasai)! Betapa uniknya wilayah pemahaman dan penajaman kerawanan manusia! Terbuka bagi kita untuk mengarahkan mata kepada kekaguman ini! Lihatlah, bagaimana kita membuat segala sesuatu menjadi tubuh pucat, kalut, bersinar, dan bergulat kembali! Bukankah kita cukup pandai untuk memberikan jejak-jejak kenikmatan pada pikiran kita menuju segala sesuatu yang superfisial atau dunia artifisial memberikan ilham yang tamak kepada dirinya; meilahiakan kepada birahi kita untuk melakukan lompatan panjang dan kekeliruan! Kita melihat bahwa tontonan politik yang terbirahikan dalam alur kisah nyata dari individu yang berbahaya.
Orang-orang awam masih tetap berpikir, bahwa persepsi atas kejahatan, berarti mengetahui sampai akhir; individu yang tidak terindividualisasi dalam masayarakat sampai mereka menipu diri sendiri, dimana filsuf harus berkata kepada dirinya sendiri. “Apabila aku menganalisis proses yang diungkapkan dari proposisi “psikiater menganalisis”, bahwa kita sekarang mendapatkan serangkaian penegasan yang cukup sulit diterima secara utuh dari nalar”. Bahwa dunia inilah harus ada sesuatu yang melakukan ‘berpikir’; bagaimana kita berpikir adalah suatu tindakan sekaligus akibat dari keberadaan yang dipikirkan. Ia sebagai individu penyebab, bahwa sebuah “Aku” yang tidak terindividualkan ada dalam bahaya. Dalam pandangan lain, kita pada akhirnya akan mengatakan, bahwa kita sekarang akan memahami secara jelas apa yang dimaksud sebagai subyek berpikir,— bahwa Aku ‘mengetahui’ apakah yang dimaksud dengan hasrat yang represi menguapi pikiran oknum aparat negara? Dalam suatu premis yang dirangsang dan ditentang oleh individu yang berbahaya mengatakan: “Anda berpikir” untuk mengasumsikan bahwa diri saya akan membandingkan keadaannya sekarang dengan keadaan-keadaan lain yang Aku alami dalam diriku sendiri, serta yang membentuknya; karena adanya referensi kembali kepada “rezim-pengetahuan”. Jadi, dunia sebagai pertukaran ‘kepastian langsung’ banyak diyakini orang awam, berbeda dengan insiden ketidakberwibawaan dari oknum petinggi negara memperoleh suatu pertanyaan metafisik. Hal ini bagi kita justeru benar-benar merupakan serangkaian pertanyaan ‘kaum muda terhadap individu yang berbahaya’. Misalnya, dari mana asal-usul konsep kejahatan yang terencana, terorganisir atau tidak? Mengapa aku percaya kepada relasi sebab dan akibat, dari kondisi apa? Apa yang memberikan hak-hak padaku untuk berkata tentang “keadilan”, dan terlebih lagi kebenaran yang bertopeng dari kelompok dan institusi yang mengorbankan individu. Satu kata, seluruhnya menjadi individu yang berbahaya. Ia menjadi mesin bagi dirinya sendiri. “Mesin hasrat untuk berkuasa sebagai penyebab pikiran”? Seseorang memberanikan menjawab dan menentang pertanyaan metafisik sebelum individu yang berbahaya (seperti seorang melihat dirinya dalam mesin yang lain) “Individu yang berbahaya seakan-akan berpikir dan mengetahui apa yang akan terjadi padanya”.
Setidaknya benar, nyata, dan pasti” akan dihadapkan kepada sebuah senyuman dan dua tanda tanya besar dari para filsuf. “Dengar bawahanku”!, kata sang aparatur negara. “Apakah sang reformis telah menggumuli seluruh atau sebagian saja yang dikuasai di bidang kehidupan? “Tidak mungkin Anda tidak salah”. Tetapi, mengapa kita bersikeras tentang kebenaran yang bertopeng gagal mendukungnya dari balik layar? Disitulah tujuan kita, dimana inti rangsangan atau daya pikat politik kuasa pertama kali dibentuk menuju arah pembagian kesenangan baru dam diskursus tentang kebenaran. Singkat kata, “di dalam” dan “di luar” rezim kuasa masing-masing memiliki daya pikat tersendiri, sekalipun dengan cara, diantaranya menampilkan individu yang berbahaya.
Dibandingkan jika dia harus dilihat sebagai penegasan diri sebuah kelas dari individu yang berbahaya: perlindungan, penguatan, dan ketinggiannya, akhirnya diperluas pada yang lain sebagai individu yang tersosialkan (demi negara dan bangsa atau tujuan ideologis yang dicita-citakan, mereka rela mengorbankan dirinya dan mengorbankan pihak lainnya). Setiap diskursus tentang kebenaran muncul bersama rezim kuasa yang pada saat tertentu akan di bawah bayang-bayang individu dalam kelangsungan hidupnya yang lebih berbahaya dari sebelumnya.
Pada akhirnya, individu yang didefinisikan dan disejajarkan dengan “Diri” dan “Aku” juga merupakan langkah yang terlalu jauh, karena “tanda hidup” tersebut memuat suatu interpretasi tentang sebuah proses, bukan bagian dari proses itu sendiri. Sebagian orang akan menyimpulkan menurut kebiasaan gramatikal: “Berpikir dengan birahi adalah suatu ledakan dari dalam”. Karena itu, masing-masing tindakan terdapat seseorang yang bertindak cermat dan sistemik.
Dalam hal lainnya, dari sudut pandang filsuf dan psikiater tidak akan mencoba memalsukan prasangka individu yang berbahaya. Siapa-siapa saja yang saat ini yang tidak melihat diskursus tentang individu yang berbahaya? Insiden yang manakah di negeri ini yang membuat kita mampu melihatnya sebagai tontonan? Sudah tentu, akibat perbedaan rangsangan antara filsuf dan psikiater dengan pandangan dan sikap dari aparat negara terhadap individu yang berbahaya.
Sepatutnya kita masih terbuka untuk memperbincangkan tentang individu yang berbahaya dipergunakan sebagai konsep murni, sebagai jenis fiksi untuk tujuan-tujuan penggambaran atau pengendapan liar dari kedalaman yang kosong dari selera, moral dan kesadaran, bukan memberi inti penjelasan. Kitalah yang mampu menghancurkan setiap mata rantai rasa takut, daya tarik, kebebasan, alat, tujuan, gejala, dan pementasannya. Individu yang berbahaya memproyeksikan suatu dunia dalam segala sesuatu, seakan-akan ilusi dalam kehidupan adalah nyata dan ganda. Dari titik tolak ini, individu yang berbahaya memerlukan ketidakpastian (indeterminacy) Kita juga masih diberitahu bahwa kita “dibelokkan” dari kebenaran dengan daya-daya yang sifatnya asing (tubuh, hasrat, minat inderawi). Satu langkah lagi, individu yang berbahaya digiring atau menggiring dirinya sendiri dalam kemiripan. Kata lain, bahwa kita tidak hanya sebagai makhluk berpikir, tetapi juga ada sisi kemiripan monstrum in animo, monstrum in fronte (berjiwa monster, berwajah monster)! Justeru yang pertama itulah paling berbahaya.
*) Penulis adalah ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto