Oleh : Abdul Gani*
Kata adab menjadi terminology yang identic dengan timur (dunia islam) walau pada penggunaanya sudah diserap menjadi bahasa indonesia untuk mengungkapkan etika, tatakrama, juga moral. walau pada dasarnya kesemua itu mempunyai makna yang cenderung berbeda secara leksikal. Sementara barat lebih identic dengan penggunaan kata ‘etic/ etika’ untuk merujuk persoalan nilai.
Perbedaan antara etika barat dan timur; pertama barat dimana landasan etikanya ialah didasarkan pada rasionalitas yang terbangun dari kondisi sosiologis, maka lahirlah istilah rasional etik artinya selama nilai yang dibangun itu sejalan dengan rasionalitas dan diterima secara sosiologis maka itulah yang akan menjadi pijakan suatu nilai.
Kedua Sementara timur dengan karakternya religious etik ‘bahwa etika itu terbangun atas nilai-nilai relijius keagamaan. Jika sesuatu bertolak-belakang dengan semangat beragama, maka itu bertentangan pula dengan standar etika.
Rasional etik sifatnya relative, sesuatu yang dianggap bernilai pada suatu tempat boleh jadi bertentangan dengan nilai ditempat lain, jalan membungkuk dihadapan orang yang lebih tua atau diantara orang yang duduk merupakan standar etika dalam konteks masyarakat kita. Tapi kalau gaya demikian dibawa ke barat tentu akan dianggap aneh. Atau barat yang menyapa bapaknya dengan sebutan you itu sudah menjadi standar mereka, tapi kalau dibawa ke rana kitah dan memanggil bapak dengan sebutan ‘kamu’ (sebagai padanan kata you) akan menjadi tidak etis. Maka etika yang terbangun atas kondisi sosial itu sifatnya relative tak dapat menjadi pegangan secara universal bagi semua tempat.
Kata ‘humanism’ yang gencar dikumandangkan oleh dunia barat, tak memiliki masalah ketika mereka gunakan, yang menjadi persoalan ialah kalau humanism yang terbangun atas gaya hidup barat itu dipaksakan untuk diberlakukan secara universal ke berbagai penjuru dunia itulah yang keliru. Maka ketika masyarakat indonesia menganut nilai humanism yang berkarakteristik barat dan diterjemahkan kedalam undang-undang secara formal itu sesungguhnya bertentangan dengan nilai keindonesiaan sebagai masyarakat beragama, harusnya jika ingin menganut humanism landasannya tetaplah agama sebagai bangsa yang berkarakter relijius.
Salah satu bukti gagalnya standar etika barat kedalam kehidupan kita ialah dalih tentang perlindungan anak, para siswa justeru semakin bertindak berani yang tidak beretika terhadap gurunya, sebaliknya guru yang bermaksud mendidik muridnya dengan sedikit sentuhan yang terkontrol malah dipenjarakan. Maka output sekolah semakin melahirkan muridi-murid kurang ajar. Tak ada lagi istilah keberkahan dalam proses transfer ilmu pengetahuan, yang ada adalah guru hanya hadir menggugurkan kewajiban, isi absen lalu dapat gaji, sementara murid semakin rusak. Maka standar etika sekali lagi harus kembali pada nilai beragama.
Kenapa harus agama,? karena bangunan rasionalitas belumlah cukup untuk memperbaiki etika. Akal tau mana baik dan mana buruk, namun akal tak berdaya untuk memerintahkan raga mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Para koruptor tau dengan akalnya bahwa korupsi itu jahat, tapi pengetahuannya tak berdaya menghalangi raganya untuk mencuri dari rakyat. Maka dalam termilogi timur hal demikian membutuhkan kesadaran relijius yang disebut adab atau akhlaq. Karena dalam doktrin agama ada satu zat tak tertandingi, maha melihat namun tak terlihat, dengan kesadaran inilah manusia beriman akan merasa terawasi. Mau tidak mau, suka tidak suka semesta ini harus tunduk kepadanya (Qs Ali Imran : 83), segala ketidak tuntukan memiliki konsekwensi dan segala ketaatan mempunyai balasan yang setimpal, rasio harus berada dibawah bimbingan agama yang tercermin dalam wujud akhlaq, kata nabi “aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”. Akhlaq sebagai visi beragama paling tinggi.
Ilmu tanpa aklaq bisa merusak, Adab tanpa ilmu kering tak punya nilai dan tak tau arah. Kedua-duanya harus berjalan berdampingan.
Kata syek abdul qadir jailani,
Aku lebih menghormati orang beradab dari pada orang berilmu,
Jika hanya ilmu yang kau banggakan, iblispun lebih berilmu dari manusia.
Ilmu bukan untuk mengejek apalagi mencaci, Jangan gunakan ilmu untuk menari-nari diatas kebodohan orang lain. Jika engkau temukan keterbelakngan, maka majukanlah, Jika engkau temukan kejumudan dan kebodohan, maka cerahkanlah Sebaik baik manusia adalah yang membawa manfaat bagi manusia yang lain
Makassar, 18 oktober 2019
*) Penulis adalah pengurus DPD IMM Sulsel