Oleh : Noor Anni*
34 tahun adalah usia yang cukup muda untuk menduduki tahta kepemimpinan. Apalagi di negara terbesar Timur Tengah. Namun, seperti sebuah pepatah, menua adalah keniscayaan sementara dewasa pilihan. Mengisyaratkan, usia bukanlah indikator penentu kebijaksanaan seseorang. Kondisi ini dialami Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Dia berhasil menggeser posisi kerabat dekatnya. Mohammed bin Nayef yang berusia 60 tahun sebagai pewaris Putra Mahkota.
Anak kesayangan Raja Salman ini, bukan orang baru di pemerintahan. Di umur 20-an tahun, dia telah menjadi Gubernur Riyadh. Karir politiknya semakin cemerlang setelah menjabat Menteri Pertahanan Arab Saudi. Hal itu membuat dia layak memimpin negeri pusat minyak terbesar Aramco. Pasca dikukuhkan sebagai Putra Mahkota tahun 2017. MBS memperlihatkan wajah baru Arab Saudi. Berbagai kebijakan tergolong berani dia ambil. Melirik industri hiburan melalui pembukaan bioskop pertama, mencabut larangan mengemudi dan larangan kewajiban penggunaan abaya hitam bagi perempuan.
Perlahan tapi pasti, cucu Raja Abdul Aziz Al Saud mengubah wajah kampung Nabi. Tempat yang dikenal dunia dengan cita rasa keislaman kental. Di masa silam, diagungkan sebagai pusat imperium Timur Tengah. Kini beralih menuju negara lazimnya yang menuntut kemajuan. Perubahan-perubahan itu tidak lantas menjadikannya dicibir. Justru MBS semakin dipuja-puja sebagai sosok pahlawan. Melepas belenggu yang menjerat hasrat berkemajuan perempuan di negerinya.
Sebenarnya, keresahan semacam itu bukan persoalan kemarin sore. Jauh sebelumnya, Asma, putri salah satu Khulafaur Rasyidin pun mengalami kondisi batin serupa. Meski dididik oleh Abu Bakar, ia pernah menggugat kodratnya sebagai perempuan saat Nabi hendak berperang. Sontak Nabi kaget, lalu menegaskan bahwa jihad domestik perempuan selevel jihad di medan perang. Asma sebagai keturunan orang terbaik setelah Nabi, sami’na wa atho’na. Apa daya, kisah memesonakan semacam itu pasca renaisans, memudar.
Arab Saudi menampakkan diri dalam arus politik dunia sebagai Islam moderat. Senasib dengan beberapa negara Islam lainnya seperti Tunisia, Mesir, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Sejauh ingatan penulis, paling memiliki kesamaan adalah Turki. Berbicara mengenai Turki, tentunya tidak jauh dari sosok Mustafa Kemal Ataturk. Digelari Bapak Turki sebab sumbangsih revolusionernya terhadap kemajuan Turki. Kedua pemimpin negara Islam beda jaman ini, memiliki kesamaan khas. Mereka figur pemimpin yang berhasil melakukan perubahan signifikan dari genggaman tangan. Serta menampik anggapan bahwa revolusi mesti berawal dari bawah.
Namun, uniknya MBS dan Mustafa Kemal Ataturk jauh berbeda soal penampilan. Sang gazi Turki dalam kunjungan di provinsi Kastamonu, memperkenalkan wajah baru Turki melalui tampilan khas Eropa. Turbus diganti dengan topi Panama menutupi kepalanya. Setelan apik, kemeja lengkap dasi dengan wajah klimis. Sementara MBS layaknya lelaki Arab umum. Sebagian wajah putihnya ditumbuhi rambut. Tubuh tegapnya mengenakan thawb. Semakin mentereng dengan baluran bisht bersulam emas dan keffiyyeh di kepala.
Pro Barat dan menjadi sekutu terdekat bukan hal baru. Tapi, hubungan Arab Saudi dan Amerika Serikat masih menimbulkan tanda tanya besar. MBS masih sulit melepaskan diri dari anggapan dunia terhadap Islam. Terkhusus publik dan pejabat elit negeri berjuluk Paman Sam. Kampanye gerakan Islam Presiden Libya, Muhammar Qaddafi di seluruh Timur Tengah dan Afrika diawal era 1970-an. Perang di bawah panji islam Anwar Sadat dengan boikot minyak oleh OPEC menimbulkan inflasi di tahun 1973. Puncaknya pada Revolusi Islam Iran Imam Khomeini tahun 1978-1979. Serentet peristiwa yang menjadikan Islam kerap diasosiasikan antidemokrasi, otoriterianisme dan agresi.
Ini bukan isapan jempol belaka, menilik studi-studi Amerika dan kebijakan-kebijakan politik luar negeri disana. Tidak lain merupakan hasil pemikiran panjang terhadap Islam. Bahkan, semenjak peristiwa peledakan menara kembar World Trade Center (WTC) oleh jaringan terorisme Al Qaedah tahun 2001. Predikat Islam barbar dan kejam semakin menyeruak melalui narasi islamophobia.
Belum lagi beberapa isu berkembang seputar MBS. Perihal penangkapan aktivis-aktivis perempuan. Pembunuhan Jamal Khashoggi, wartawan yang sering bermanuver pada kebijakannya. Dan kegalauan sikap pada persoalan Israel-Palestina. Fakta-fakta di atas menghasilkan pembacaan, MBS terlalu melonggarkan Amerika Serikat ikut campur urusan internal. Sementara think tank kubu konfrontasionis masih menganggap Islam musuh baru pasca runtuhnya Uni Soviet. Memprediksi di masa datang hanya ada perang peradaban. Maka tentu tidak cukup dengan meraup minyak saja, mereka juga perlu mengoyak pemikiran.
Di balik air muka sejuk MBS, ada kerinduan penulis pada sosok khalifah panutan. Khalifah yang pasca terpilih tetap menjalankan aktivitas layaknya seorang suami. Memenuhi kewajiban menafkahi istri tanpa terbujuk dana Baitul Mal. Rela memikul dagangan di pundak untuk di jual ke pasar Madinah. Kerinduan yang terlalu naif mungkin. Pasca era Khulafaur Rasyidin, hanya tercatat peristiwa miris. Salah satunya, kecaman sekelompok orang terhadap monopoli kekuasaan ekonomi oleh keluarga kerajaan. Mereka mengguncang istana dengan menguasai Masjid Al Haram dua pekan lamanya.
Kabar teranyar, dalam rangka reformasi ekonomi, MBS mengeluarkan kebijakan pemberian visa turis. Pengurusan visa semakin mudah lewat sistem daring. Beberapa tahun ke depan, jangan heran jika sepanjang pesisir Laut Merah dipenuhi perempuan berbikini. Toh, pariwisata halal yang dikampanyekan hari ini masih mencari bentuk. Tidak juga mengatur cara berpakaian. Sekadar strategi pemasaran semata guna memenuhi permintaan Umat Muslim yang meningkat. Sayangnya, Indonesia dengan jumlah Jemaah Haji terbesar tiap tahun. Tidak masuk dalam daftar 49 negara yang diberi visa. Penulis merasa sedikit kecewa pada MBS.
*) Penulis adalah aktivis HMI dan Pengurus KNPI Maros








































