Opini: Menilik Deteksi Dini Zat Besi Pada Remaja Putri
Oleh: Muhammad Sadli
Mahasiswa Terapan Gizi
MataKita.co, – Dari awal hingga akhir, daur kehidupan manusia merupakan tahap-tahap kejadian yang menakjubkan. Sejak saat pembuahan di dalam rahim ibu, kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya berupa tahap bayi, anak-anak, remaja dewasa dan tua, saling pengaruh antara berbagai faktor. Faktro gizi adalah bagian dari faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam proses daur kehidupan itu (Almatsier, 2011).
Masalah kesehatan dan gizi di Indonesia pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi fokus perhatian karena tidak hanya berdampak pada angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak, melainkan juga konsekuensi kualitas hidup individu yang bersifat permanen sampai usia dewasa. Timbulnya masalah gizi pada anak usia di bawah dua tahun erat kaitannya dengan persiapan kesehatan dan gizi seorang perempuan menjadi calon ibu, termasuk rematri.
Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang dapat dialami oleh semua kelompok umur mulai dari balita sampai usia lanjut. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada perempuan ≥ 15 tahun sebesar 22.7% sedangkan prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 37.1%. Data SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada rematri (usia 10-19 tahun) sebesar 30%. Data penelitian di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada rematri berkisar antara 32.4-61%. (Kemenkes, 2018).
Memandang Zat Besi dan Remaja Putri
Populasi remaja di Indonesia mencapai 20% dari total populasi penduduk Indonesia, yaitu sekitar 30 juta jiwa. World Health Organization menyebutkan bahwa banyak masalah gizi pada remaja masih terabaikan, disebabkan karena masih banyak faktor-faktor yang belum diketahui, padahal remaja merupakan sumber daya manusia Indonesia yang harus dilindungi karena potensinya yang sangat besar dalam upaya pembangunan kualitas bangsa (Rachmadianto, 2014).
Remaja putri lebih rentan terkena anemia disebabkan oleh beberapa hal, seperti remaja pada masa pertumbuhan membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi, adanya siklus menstruasi yang menyebabkan remaja putri banyak kehilangan darah, banyaknya remaja putri yang melakukan diet ketat, lebih banyak mengonsumsi makanan nabati yang kandungannya zat besi sedikit, dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan zat besi tidak terpenuhi dan asupan gizinya tidak seimbang. Remaja putri mengalami haid tiap bulan, dimana kehilangan zat besi 1,25 mg perhari, sehingga kebutuhan zat besi lebih banyak daripada pria. Penyebab paling umum dari anemia secara global adalah anemia defisiensi besi. (Nuraeni, dkk, 2019).
Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia dari pada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri mengalami haid. Seorang wanita yang mengalami haid yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan besi pengganti lebih banyak dari wanita yang haidnya hanya tiga hari atau sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri seringkali menjaga penampilan, keinginan untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diet yang tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting seperti besi (Arisman, 2010 dalam Andaruni, 2018).
Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah anemia pada remaja adalah melalui pemberian suplemen tablet tambah darah (TTD) berupa zat besi (60 mg FeSO4) dan asam folat (0,25 mg). WHO telah merekomendasikan konsumsi tablet besi untuk Wanita Usia Subur (WUS) menstruasi adalah secara intermittent (1 kali/minggu), dengan dosis TTD 60 mg elemental besi dan 2,8 mg asam folat selama 12 minggu/3 bulan dengan jeda tiga bulan. Jadi suplementasi diberikan dua kali setahun selama tiga bulan, sehingga jumlah total tablet yang diberikan selama suplementasi adalah 24 tablet/tahun (WHO 2011 dalam Susanti, dkk, 2016).
Kelompok remaja putri merupakan sasaran strategis dari program perbaikan gizi untuk memutus siklus masalah agar tidak meluas ke generasi selanjutnya. Program pemerintah Indonesia yang fokus terhadap penanggulangan anemia remaja putri yakni Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) dengan sasaran anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) melalui pemberian suplementasi kapsul zat besi. (Permatasari, dkk, 2018). Pada keadaan dimana zat besi dari makanan tidak mencukupi kebutuhan terhadap zat besi, perlu didapat dari suplementasi zat besi. Pemberian suplementasi zat besi secara rutin selama jangka waktu tertentu bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara cepat, dan perlu dilanjutkan untuk meningkatkan simpanan zat besi di dalam tubuh.
Tahapan lama dalam pemberian tablet tambah darah oleh kebijakan Kemenkes telah menetapkan dosis suplementasi besi pada WUS (termasuk remaja) adalah 1 tablet/minggu dan ketika menstruasi diberikan setiap hari selama 10 hari dengan lama pemberian empat bulan. Dengan demikian, jumlah total tablet yang diberikan selama suplementasi adalah 52 tablet/tahun dengan TTD yang tersedia sama dengan ibu hamil (Depkes 2003). Terjadi perubahan dalam pola pemberian, dimana sekarang pola pemberian dilakukan setiap minggu 1 tablet dan setiap bulan bisa mendapat 4-5 tablet. Pemberian dalam setahun sebanyak 52 tablet. TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan oleh pemerintah maupun diperoleh secara mandiri. (Kemenkes, 2018).
Upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah anemia gizi tidak selalu berjalan dengan baik dan efektif. Penelitian Kheirouri menyebutkan bahwa selain ketersediaan tablet besi dan efek samping yang ditumbulkan oleh tablet, terdapat faktor lainnya yang dapat memengaruhi keefektifan program suplementasi besi yaitu dipengaruhi kualitas TTD, cara sosialisasi kepada remaja putri, peran orangtua, kerjasama stakeholder, serta pelatihan edukator. Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) tahun 2016 di Kota Bogor baru berjalan di tahun kedua. Program di tahun pertama (2015) masih belum berjalan secara efektif dan hanya melihat cakupan pemberian saja. (Permatasari, dkk, 2018).
Realitas pemberian tablet tambah darah memang mengalami fluktuatif. Selain itu memang target capaian pemberian memang dilakukan bertahap. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI tahun 2015-2019 menargetkan cakupan pemberian TTD pada rematri secara bertahap dari 10% (2015) hingga 30% (2019). Diharapkan sektor terkait di tingkat pusat dan daerah mengadakan TTD secara mandiri sehingga intervensi efektif dengan cakupan dapat dicapai hingga 90%. (Kemenkes, 2018). Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2017 menunjukkan data Persentase Remaja Putri mendapat Tablet Tambah Darah 12.4% meningkat dari Tahun 2016 10.3%. Akan tetapi polemiknya bukan hanya terbatas pada pemberian tapi juga seberapa jauh tablet zat besi-nya dikonsumsi. Selain itu, faktor semisal merasa mual, anggapan seperti ibu hamil dan beragam hal lainnya juga mempengaruhi proses dalam mengonsumsi tablet zat besi.
Rendahnya pengawasan dan motivasi dari pengkonsumsi TTD di rumah membuat tingkat kepatuhan rendah. Program pemberian TTD di India pada penelitian Risonar menunjukkan hasil kepatuhan yang cukup tinggi yakni didapatkan nilai kepatuhan 100% pengonsumsian TTD. Kepatuhan ditunjukkan dengan pengonsumsian secara langsung dengan edukasi dan pengawasan dari guru saat di sekolah dan dilakukan minum TTD bersama di hari yang telah ditetapkan. (Permatasari, dkk, 2018).
Realitas Pemberian Tablet Tambah Darah
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa suplementasi mingguan menghasilkan peningkatan hemoglobin yang sama dengan suplementasi harian (Risonar 2008; Leenstra et al.; 2009; Joshi dan Gumastha 2013 dalam Susanti, dkk, 2016). Peningkatan hemoglobin juga terjadi ketika suplementasi besi dilakukan secara mingguan dan selama menstruasi (Februhartanty et al. 2002; Bani et al. 2014). Di sisi lain diketahui saat ini program suplementasi besi remaja putri belum disertai dengan edukasi, padahal keberhasilan program suplementasi besi perlu didukung oleh strategi komunikasi informasi dan edukasi (KIE) yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan model suplementasi tablet besi untuk remaja putri di sekolah antara lain dengan disertai pendidikan gizi (Kaur et al. 2011; Dwiriani et al. 2011dalam Susanti, dkk, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviawati (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara asupan zat besi dengan kejadian anemia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Nida, 2017), adanya hubungan yang signifikan konsumsi tablet fe dengan anemia. Adanya pengaruh pemberian tablet Fe terhadap peningkatan kadar HB menunjukkan bahwa pemberian tablet Fe efektif untuk mencegah terjadinya anemia pada mahasiswi. Kesadaran konsumsi tablet Fe saat menstruasi tidak lepas dari informasi dan pengetahuan, hal ini dikarenakan pengetahuan merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang. Kesadaran remaja dalam upaya pencegahan anemia melalui konsumsi tablet Fe masih rendah, terbukti dengan survei anemia yang dilakukan di 9 sekolah baik SMP maupun SMA, hasil dari survei tersebut bahwa hanya 2.67% siswi mengonsumsi tablet besi ketika sedang menstruasi. (Angrainy, dkk, 2019).
Akan tetapi pola pemberian yang menggunakan konsep Blanket Approach atau dalam bahasa Indonesia berarti “pendekatan selimut”, berusaha mencakup seluruh sasaran program. Dalam hal ini, seluruh rematri dan WUS diharuskan minum TTD untuk mencegah anemia dan meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh tanpa dilakukan skrining awal pada kelompok sasaran. Sebenarnya punya beberapa resiko sebagaimana pendapat Sunita Almatsier (2009) kelebihan zat besi jarang terjadi karena makanan, tetapi dapat disebabkan oleh suplemen besi. Gejalanya adalah rasa muntah, diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala.
Dalam buku Pedoman Pencegahan dan Penanggungan Anemia Pada Remaja Putri (Kemenkes, 2018), juga menjelaskan Konsumsi zat besi secara terus menerus tidak akan menyebabkan keracunan karena tubuh mempunyai sifat autoregulasi zat besi. Bila tubuh kekurangan zat besi, maka absorpsi zat besi yang dikonsumsi akan banyak, sebaliknya bila tubuh tidak mengalami kekurangan zat besi maka absorpsi besi hanya sedikit, oleh karena itu TTD aman untuk dikonsumsi. Namun, konsumsi TTD secara terus menerus perlu mendapat perhatian pada sekelompok populasi yang mempunyai penyakit darah seperti thalassemia, hemosiderosis. Pada daerah endemis malaria, pemberian TTD mengacu pada Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Monitoring berkala dilakukan dengan pemeriksaan kadar Hb. Bila ada kecurigaan adanya thalassemia dan atau malaria, harus dirujuk ke dokter.
Dengan demikian pemberian tablet tambah darah dapat dilakukan terlebih dahulu dengan melakukan deteksi dini, dimana pada penjelasan umum bahwa gejala yang sering ditemui pada penderita anemia adalah 5 L (Lesu, Letih, Lemah, Lelah, Lalai), disertai sakit kepala dan pusing (“kepala muter”), mata berkunang-kunang, mudah mengantuk, cepat capai serta sulit konsentrasi. Secara klinis penderita anemia ditandai dengan “pucat” pada muka, kelopak mata, bibir, kulit, kuku dan telapak tangan. Ataupun dapat dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin, akan tetapi ketersediaan alat dan fasilitas dalam pemeriksaan hb kadang menjadi masalah. Selain itu, sebagai petugas gizi sebenarnya deteksi dini dapat dilakukan dengan survei konsumsi dalam hal ini dapat melalui recall 24 jam sebanyak 2-3 kali dalam kurun waktu yang berbeda sebagai data awal gambaran asupan fe dari remaja putri.
Polarisasi pemberian tablet tambah darah memang selalu perlu inovasi. Atau pada dasarnya program-program gizi yang ada sudah terprogram dengan baik, hanya saja pelaksanaan di tingkat lapanganlah yang memerlukan inovasi serta improvisasi. Demikian pemberian tablet tambah dengan pola Blanket Approach tidaklah salah. Akan tetapi idealnya sebagai petugas gizi kita dapat memulai dengan deteksi dini sederhana semisal melihat asupan fe, tanda-tanda klinisnya sebagai data awal dalam pemberian tablet tambah darah yang lebih tepat sasaran. Improvisasinya dapat dilakukan dengan deteksi dini sederhana itu, penguatan edukasi melalui sosialisasi tentang zat besi, dan sekali-sekali dapat dilakukan pengolahan makanan bersama sebagai pemberian makanan tambahan yang baik nilai fed an vitamin C seperti jus sayuran maupun buah-buahan. Improvisasi kegiatanlah yang meningkatkan perolehan capaian program dan peminimalisir masalah gizi.








































