Membedah Buku “Masyarakat tanpa Tuhan” Oleh: Agus Fahrin (Kachy)
Cendekiawan muda NTB.
MataKita.co, Opini – Saya belum baca buku dibawah ini, kayaknya bagus dibedah, saya membayangkan dengan judul buku “Masyarakat Tanpa Tuhan” ini lebih banyak menelusuri peristiwa beralihnya sistem kepercayaan manusia dari keimanan diri pada Tuhan menjadi tak ber_Tuhan atau paling tidak abai terhadap Tuhan. Melalui judul buku ini mungkin lebih menelusuri soal sistem aliran kepercayaan manusia, antara dogma agama dan keyakinan terhadap realitas materi (ekonomi, produksi, dan sistem pasar global). Saya tertarik dengan judul buku ini kalau dalam kupasan isinya dapat menjelaskan tentang perang ideologi atau mengupas arah postmodernisme yang beranak pinang menjadi aliran post-strut pada era digital saat ini.
Postmodernisme sebabagi sebuah aliran, mengungkap realitas nilai yang terkandung dalam gerak materi bukan bersumber dari Tuhan, bukan pula bebas nilai sebgaimana yang dipahami kelompok eksistensialisme modernis tapi lebih pada sikap dekonstruksi nilai Ketuhanan yang menyatu secara majasi dengan benda-benda, dengan sistem produksi, ekonomi dan atau infrastruktur yang diyakini dapat menjawab kebutuhan ummat manusia dan masa depan sejarah. Sisi lain sains dan agama dipahami secara terpisah seperti memahami dan memperlakukan sistem politik sekulerisme pada negara-negara demokrasi liberal dan juga negara sosialisme komunis di dunia. Bisa jadi, Covid 19 adalah bentuk rekayasa sains dan tekhnologi muthahir yang beroperasi untuk kembali menguji antara sistem keimanan manusia pada Tuhan dengan kekuatan sains sebagai payung hukum kesadaran manusia.
Saya teringat dengan buku Fukuyama “the end of history and the last men”, sebuah buku yang menggambarkan perkembangan sejarah manusia dalam sistem demokrasi liberal, menjelaskan tentang kejayaan negara negara superpower dan kehancuran negara dunia kelas ketiga dalam lumpur sejarah kemundurannya, termasuk Islam jatuh tertimpa tangga peradaban sains barat yang semakin maju. Dalam keadaan demikian tatanan nilai Islam akan semakin ditinggalkan oleh penganutnya, hukum-hukum Islam akan ditafsir ulang sesuai kebutuhan zaman dan masa depan sejarah manusia, pada sisi ini keunggulan sains dan iptek akan muncul menjadi solusi bagi majunya peradaban manusia tanpa agama, sistem demokrasi liberal menjadi instrumen ideologis yang dapat mengkampanyekan kebenaran bergantung pada suara mayoritas (kesepakatan kesepakatan), bukan pada dalil logis, bukan pada rasionalitas, bukan pada keniscayaan ajaran agama yang dianut, disinilah manusia berpotensi melupakan Tuhan, mencampakan kekuasaan Tuhan dengan kekuatan sains dan tekhnologi yang memporak-porandakan dunia disatu sisi dan dapat memberi solusi disisi lain. Antara covid 19 dengan vaksin anti virus misalnya, adalah bisnis negara yang membuat manusia bisa lupa dengan Tuhannya dan lebih percaya pada kekuatan virus dan antivirus yang diperdagangkan, sisi lain ketakutan manusia secara berlebihan terhadap covid 19 ini merupakan agenda yang bisa saja meruntuhkan akidah dan keimanan diri pada Tuhan.
Rasa-rasanya mengamati perkembangan kehidupan masyarakat dunia ke depan akan diatur oleh sistem IT tanpa kontak fisik. Selain silaturrahmi, beribadah kepada Tuhan tidak bisa lagi berjamaah di Mesjid, orang-orang akan hidup terpisah satu sama lain, artinya sejumlah ketentuan hukum Islam akan ditinggalkan, pada saat yang sama sistem IT akan hadir seolah menjadi solusi mengatur seluruh urusan kehidupan ummat manusia ditengah situasi yang tak menentu dan serba terbatas. Disini negara negara raksasa (PBB) kemudian akan mendeklarasikan kehebatannya, kejayaannya dan kekuasaannya menggantung harapan dan nasib masa depan bangsa-bangsa di Dunia, leluasalah mereka mengatur dunia dengan seluruh sumber daya yang ada demi satu misi bahwa bergantung pada materi yang dimiliki oleh kekuatan sains dan teknologi itu adalah pilihan sadar dan realistis daripada menggantung diri terhadap “Tuhan yang nisbi”. Dalam pada itu, hubungan interaksi sosial dapat semakin mudah dibangun (tanpa kontak fisik) berkat kekuataan digital sistem IT yang membuka ruang komunukasi, transaksi dan akses pasar produksi antar masyarakat manusia dan negara. Pada sisi ini perkembangan realitas dengan kejadian dan peristiwa di dalamnya akan membentuk wujud yang paradoks, A = B, sebuah bangunan epistemologi marxisme yang berusaha mendekonstruksi sistem ketuhanam dengan kekuatan alat produksi dan sistem pasar materialisme sebagai solusi kemajuan peradaban dunia. Tuhan dipahami bukanlah sebagai sandaran kehidupan manusia, melainkan sandaran itu pada infrastruktur dan sistem pasar produksi yang dikembangkan melalui dialektika persaingan global antar negara merebut kekuasaan, dominasi dan kejayaannya.
Kita berkaca pada fakta bahwa disatu sisi, “Negara Timur Tengah, bentuk-bentuk Islam yang kuat semakin populer dan semakin aktif dalam politik disana. Dari Brazil hingga El Salvador, Evangelikalisme Protestan menyebar dengan keberhasilan yang besar, menanamkan gairah spiritual dan suci di seluruh Amerika Latin. Pantekostalisme juga berkembang dengan hebat dan tidak hanya di seluruh Amerika Latin, tetapi juga di Afrika bahkan China. Di Filipina, puluhan ribu orang menyerahkan diri untuk pergerakan-pergerakan agama baru seperti El Shaddai. Banyak negara bekas Uni Soviet, yang menganut ateisme selama puluhan tahun, telah muncul dengan keimanan yang tidak hanya utuh, tetapi juga kuat dan bersemangat. Bahkan di Kanada, negara yang hampir tidak dikenal vitalitas religiusnya, ada bukti kebangkitan spiritualitas dan agama. Di tengah-tengah kesalehan global yang bersemangat, di atas lautan luas kesakralan realitas transenden dalam ajaran agama-agama.
Disisi lain, beberapa Negara seperti Denmark dan Swedia kehidupan sekuler eksis dan bertahan, di dalamnya sebagian besar orang tidak lagi tertarik bicara agama, religius dan tidak lagi menyembah Tuhan, tidak lagi memuja kitab kitab dan naskah suci, tidak lagi beribadah, serta tidak lagi memercayai dogma esensial agama-agama besar di dunia. Orang-orang semakin menunjukkan sikap bahwa penyembahan Tuhan itu sebagai bentuk kelemahan diri, pada saat yang sama doa-doa berhenti, kitab-kitab agama tidak lagi dipelajari, sisi lain manusia meyakini dirinya tetap bisa memperlakukan orang lain dengan sopan, sekolah dan rumah sakit masih bisa berjalan lancar dan berkembang pesat, masyarakat bisa tetap menerima semua perawatan dan dapat menjalankan hidup sehat, perekonomian pun berkembang, sains semakin menciptakan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat dan negara untuk berinteraksi dan bertransaksi, anak-anak bisa dicintai dalam rumah yang aman dan hangat bersama keluarga masing-masing, tanpa menilai dan meyakini hal itu merupakan anugerah langit atau bersumber dari rahmat Tuhan”, itulah postmodernisme.
Postmodernisme menjelaskan bagaimana dan mengapa masyarakat tertentu tidak lagi religius di dunia yang tadinya mereka beriman, sistem pemahaman ini menjelaskan tentang hukum piramida terbalik dari “GOT SPOT” menjadi “HUMAN SPOT” dengan basis pandangan dunia materialisme murni sebagai sandaran awal dan tujuan akhir, akhirnya terbentuklah Masyarakat Tanpa Tuhan.