Beranda Mimbar Ide Resensi Buku: Narkotika, Prinsip Penjatuhan Pidana, dan Ketentuan Pidana Minimum Khusus

Resensi Buku: Narkotika, Prinsip Penjatuhan Pidana, dan Ketentuan Pidana Minimum Khusus

0

(Suatu Kajian Teoretis, Normatif, & Kasuistik)”

Oleh: M. Aris Munandar, SH.

Data Buku :

Judul Buku : Narkotika, Prinsip Penjatuhan Pidana, & Ketentuan Pidana Minimum Khusus (Suatu Kajian Teoretis, Normatif, & Kasuistik)
Pengarang : M. Aris Munandar, SH.
Penerbit : Jendela Sastra Indonesia
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 166 Halaman

Isi Resensi :

Membahas Narkotika rasanya tidak pernah membosankan bahkan semakin hari menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Indonesia, hal ini dibuktikan berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia menunjukkan angka prevalensi terhadap tindak pidana Narkotika tahun 2011 prevalensi pada angka 2,23 %, pada tahun 2014 prevalensi pada angka 2,18 %, pada tahun 2017 pada angka 1,77 % dan pada tahun 2019 pada angka 1,80 %. Data angka prevalensi nasional tahun 2019 terhadap orang yang pernah memakai Narkotika menjadi berhenti menggunakan dan tidak mengkonsumsi Narkotika kembali, terjadi penurunan sekitar 0,6 % dari jumlah 4,53 juta jiwa (2,40 %) menjadi 3,41 juta jiwa (1,80 %), sehingga hampir sekitar satu juta jiwa penduduk Indonesia berhasil diselamatkan dari pengaruh narkotika. Dari data tersebut terlihat pada tahun 2019 terjadi peningkatan sebesar 0,03 %, di mana kenaikan ini disebabkan oleh adanya peningkatan penyalahgunaan Narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) yang di tahun-tahun sebelumnya belum terdaftar di dalam lampiran UU Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Terlebih lagi, dalam konteks penegakan hukumnya yang memiliki banyak pro kontra dari beberapa kalangan. Sehingga membuat sebagian akademisi memilih untuk melakukan kajian kritis terhadap aspek-aspek penanganan tindak pidana Narkotika, salah satunya dengan mengimplementasikannya melalui sebuah karya berbentuk buku. Seperti buku ini yang disusun secara kritis dan solutif dalam menyikapi fenomena penegakan hukum pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, Narkotika merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia dalam aspek ilmu pengetahuan, dan kesehatan atau medis. Manfaat yang diberikan oleh Narkotika bukan hanya terdapat pada aspek pengetahuan dan medis, tetapi lebih luas lagi yaitu untuk produksi Narkotika demi pengobatan bagi penderita melalui studi ilmiah. Narkotika sebagaimana definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah obat penenang, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa ngantuk, atau merangsang (seperti opium, ganja). Narkotika bila digunakan tidak sesuai aturan dan takaran atau dosis yang sewajarnya maka akan menimbulkan efek ketergantungan yang berkelanjutan terhadap pengguna atau pecandu Narkotika tersebut.

Perlu diketahui juga, bahwa tindak pidana penyalahgunaan Narkotika digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), hal ini karena dampak dari penyalahgunaan Narkotika bukan hanya mempengaruhi 1 (satu) korban atau beberapa aspek seperti ekonomi, sosial, dan hukum saja, melainkan lebih luas lagi yakni dapat memasuki seluruh aspek kehidupan yaitu budaya, politik, pertahanan maupun keamanan. Olehnya itu, Narkotika harus secara tegas dikatakan sebagai kejatahan luar biasa (extraordinary crime) di negara Indonesia. Sebab Narkotika sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) maka diperlukan pula penanganan yang juga luar biasa namun tetap menjunjung tinggi asas yang berlaku khusus dalam UU Narkotika tersebut, yakni asas ultimum remidium. Hal tersebut dibuktikan dengan Pasal 4 huruf d UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang berbunyi bahwa menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika.
Pada dasarnya buku ini hadir untuk membahas 3 (tiga) hal yang sangat penting dalam penanganan perkara tindak pidana Narkotika, yakni terkait pengertian Narkotika, prinsip penjatuhan pidana, dan ketentuan pidana minimum khusus. Ketiga hal tersebut harus dipertimbangkan ketika menjatuhkan suatu putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika. Seperti halnya yang terjadi hingga hari ini, tindak pidana Narkotika masih menjadi tindak pidana yang paling banyak terjadi di Indonesia. Tentunya bukan sesuatu yang biasa, dibutuhkan penanganan yang cukup efektif agar tindak pidana serupa tidak terulang lagi.

Bagian isi buku ini secara rinci menjelaskan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU Narkotika. UU Narkotika mengatur bahwa setiap penanganan perkara penyalahgunaan Narkotika, hakim dalam memutus perkara wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf (d), Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103. Kemudian Pasal 4 huruf (d) menyebutkan: “menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.” Lebih lanjut, Pasal 54 menyebutkan: “pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Ketentuan dalam Pasal 55 mengatur orang tua atau wali pecandu Narkotika yang masih dibawah umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan dalam Pasal 103 mengatur hakim yang memeriksa perkara pecandu Narkotika dapat memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana Narkotika atau menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Dan Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu Narkotika diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Ketentuan terkait rehabilitasi tersebut juga mencerminkan prinsip ultimum remidium (pidana adalah Jalan terakhir) dan individualisasi pidana. Menurut Sudikno Mertukusumo, ultimum remidium ialah alat terakhir. Artinya bahwa sanksi pidana dapat digunakan apabila sanksi-sanksi yang lain sudah tidak dapat memberikan efek jerah bagi pelakunya. Ketentuan sanksi pidana dalam suatu undang-undang diberlakukan sebagai sanksi yang terakhir setelah sanksi administratif maupun perdata tidak dapat ditempuh lagi. Upaya ini ditujukan agar dalam proses hukum pidana yang cukup panjang, korban maupun pelaku kejahatan dapat memperoleh keadilan dan memberikan kepastian hukum. Sedangkan prinsip individualisasi pidana sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ialah bertolak dari kepentingan individu pelaku tindak pidana dalam sistem hukum pidana. Prinsip ini juga merupakan salah satu ciri dari aliran hukum modern yang berorientasi tidak hanya pada perbuatan tapi juga pada manusia/pelaku. Pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan mono-dualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan dan kepentingan antara kepentingan masyarakat dan individu. Merujuk kepada pendapat Barda Nawawie Arief terkait karakteristik prinsip individualisasi pidana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka ketentuan yang terdapat dalam Pasal 54 dan 103 UU Narkotika menghendaki pidana terhadap penyalah guna narkotika harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi pelaku. Para penyalahguna narkotika harus melalui serangakaian pemeriksaan untuk menentukan apakah yang bersangkutan sebagai pecandu atau korban penyalahguna Narkotika. Dengan demikian nantinya pidana yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan pelaku.

Pada dasarnya UU Narkotika juga merupakan bentuk abstraksi manifestasi dari prinsip restorative justice atau keadilan restoratif. Restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Prinsip dasar restorative justice adalah terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita akibat kejahatan, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil. (Vide : Pasal 55 ayat (1) UU Narkotika).

Sedangkan dalam konteks ketentuan pidana minimum khusus/universal berarti penjatuhan hukuman terendah (minimal) yang bersifat umum (universal) yang berlaku bagi setiap perkara dengan jenis hukumannya masing-masing. Pengertian “maksimal spesial” adalah penjatuhan hukuman tertinggi (maksimal) yang bersifat khusus (spesial) atas masing-masing, ketentuan Undang-Undang yang berbeda atau telah ditentukan maksimalnya. Atas dasar asas tersebut maka dijamin adanya kepastian hukum dalam penerapan jenis pidana dalam hukum pidana artinya dengan asas tersebut tentu “mengikat para Hakim pada batas minimal dan batas maksimal penghukuman” yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Atas dasar asas penghukuman tersebut artinya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari batas minimal dan juga Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan undang-undang.

Berdasarkan uraian diatas, maka UU Narkotika secara prinsipiel menganut tiga prinsip penjatuhan pidana secara fundamental yaitu prinsip ultimum remidium, individualisasi pidana, minimal universal/minimum khusus dan restorasi. Inilah yang menjadi analisis penulis terkait prinsip penjatuhan pidana yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Banyak hal yang sangat rumit dipahami dalam hal penanganan perkara tindak pidana Narkotika. Selain karena pengaturannya yang masih belum terlalu konkret, juga dalam hal penegakannya terkadang membuat Hakim sangat sulit menjatuhkan pidana yang sifatnya minimum khusus terhadap pelaku penyalahguna Narkotika. Meskipun bagi pengedar memang sudah jelas bagaimana porsi hukuman yang harus diterapkan. Oleh karena itu, buku “Narkotika, Prinsip Penjatuhan Pidana, & Ketentuan Pidana Minimum Khusus (Suatu Kajian Teoretis, Normatif, & Kasuistik)” hadir untuk menyajikan pembahasan yang disusun secara sistematis dan holistis terkait pengaturan tindak pidana Narkotika, prinsip-prinsip penjatuhan pidana hingga pada ketentuan pidana minimum khusus, serta menampilkan studi kasus terhadap penjatuhan pidana di bawah ketentuan minimum khusus. Buku ini menawarkan kerangka berpikir secara ilmiah, kritis, dan futuristis dalam aspek penegakan hukum di Indonesia. Sehingga sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh kalangan mahasiswa, dosen, profesional, praktisi hukum, aktivis serta khalayak sosial yang memiliki minat dalam mengkaji dinamika penegakan hukum khususnya hukum pidana.

Selamat membaca !

*) Penulis adalah Penulis Buku “Narkotika, Prinsip Penjatuhan Pidana, dan Ketentuan Pidana Minimum Khusus (Suatu Kajian Teoretis, Normatif, & Kasuistik) ” dan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT