Beranda Mimbar Ide Berada diantara Patriarki dan Matriarki

Berada diantara Patriarki dan Matriarki

0
Yayuk Astuti

Oleh : Yayuk Astuti*

“Tulisan ini hanya mengulas konsep budaya patriarki dan matriarki, budaya ini tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang, dimana pesatnya kemajuan Ilmu Pengetahuan Tekenologi Informasi dan Komunikasi serta kajian agama dan sosial-budaya tentang posisi perempuan dan laki-laki”

Patriarki dan Matriarki

Patriaki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Beberapa masyarakat patriarkal juga patrilineal yang berarti bahwa properti dan gelar diwariskan kepada keturunan laki-laki. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki serta menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki.

Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Dominasi mereka tidak hanya mencakup ranah personal saja, melainkan juga dalam ranah yang lebih luas seperti partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain. Dalam ranah personal, budaya patriarki adalah akar munculnya berbagai kekerasan yang dialamatkan oleh laki-laki kepada perempuan. Atas dasar “hak istimewa” yang dimiliki laki-laki, mereka juga merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. Secara historis, patriarki telah terwujud dalam organisasi sosial, hukum, politik, agama dan ekonomi dari berbagai budaya yang berbeda. Bahkan ketika tidak secara gamblang tertuang dalam konstitusi dan hukum, sebagian besar masyarakat kontemporer adalah, pada praktiknya, bersifat patriarkal.

Budaya patriarki bukan perbincangan yang baru, sejak munculnya gerakan feminisme pada abad 18. Di Indonesia juga sudah lama menjadi perbincangan hangat mulai dari perjuangan R.A. Kartini yang terdokumentasi oleh sejarah. Kritik terhadap budaya patriarki bukan tanpa alasan, melainkan karena disegala ranah aktivitas social, ekonomi, politik bahkan dalam aspek payung hukum perempuan masih mejadi second class. Segala kebijakan tidak berimbang pada aspek budaya dan kodrati. Hal ini merupakan kebalikan dari budaya matriarki.
Matriarki adalah dominasi kepemimpinan perempuan. Dalam masyarakat atau kelompok yang menganut matriarki, otoritas menurun dari garis ibu, berbeda dengan patriarki yang merupakan dominasi kepemimpinan laki-laki. Matrarki cukup umum ditemukan di negara Asia dan Afrika.

Matriarki mengimplikasikan adanya negosiasi kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki sebagai upaya menentang tradisi patriarki dimana laki-laki lebih dominan dalam membuat keputusan-keputusan penting. Matriarki menentukan bentuk-bentuk kultural, khususnya dalam persoalan agama dan keluarga. Perempuan akan mempunyai pilihan dari pasangan suaminya dan anak akan mengikuti nama keluarga ibunya serta warisan diturunkan menurut garis ibu. Keluarga ibu berhak akan anak-anak dan dapat melakukan klaim terhadap pemeliharaan keluarga. Walau begitu, laki-laki tertua dari keluarga memainkan peranan sebagai kepala keluarga dan karenanya dapat dilakukan negosiasi kekuasaan dalam suatu keluarga. Salah satu masyarakat matrilineal terbesar di dunia merupakan suku Minangkabau Sumatera Barat. Kaum wanita dalam suku Minangkabau memiliki keistimewaan khusus serta dapat mengambil peranan penting di dalam komunitas.

Peranan-peranan tersebut temasuk peran sebagai pemilik harta warisan, penerus keturunan, serta ‘manajer’ bagi keluarga masing-masing. Dalam sistem sosial matriarki di Minangkabau, seorang lelaki bagaikan “orang luar” dari keluarga matrilineal istrinya. Anak-anak dari suatu keluarga secara otomatis akan menjadi keluarga ibu mereka karena sistem matrilineal, memakai nama suku ibu alih-alih nama suku ayah.

Beberapa contoh suku yang menganut budaya matriarki yaitu :

1. Musou

Berada di perbatasan Tibet di provinsi Yunna dan Sichuan, suku Mosuo adalah bagian dari etnis minoritas Naxi. Orang-orang dari suku ini tinggal bersama keluarga besar mereka dalam satu rumah. Semua harta wariskan kepada anak perempuan. Perempuan Mosuo biasa menangani urusan bisnis, sementara laki-laki mengurus politik. Anak-anak dibesarkan oleh keluarga besar ibunya dan diberi nama belakang sesuai nama ibunya.

2. Iroquois

Sebelum orang Eropa datang, benua Amerika dihuni banyak suku, salah satunya Iroquois. Perempuan di suku ini berhak memiliki semua harta, termasuk ternak dan tanah dari keluarga mereka. Para perempuan Iroquois bahkan bisa membuang suami mereka tanpa diberi harta sepeser pun dan mengambil alih hak asuh anak. Tetua-tetua perempuan juga punya hak veto buat nentuin ketua suku. Menurut survei terakhir di tahun 1995, sekarang ada sekitar 82.000 jiwa suku Iroquois yang tinggal di Amerika Serikat dan Kanada.

3. Akan

Merupakan suku mayoritas di Ghana, seluruh identitas, hak waris, kekayaan, dan politik organisasi sosial suku Akan ditentukan oleh perempuan. Meskipun para pendiri suku ini adalah perempuan, tapi laki-laki tetap mendapatkan posisi sebagai pemimpin masyarakat. Meskipun begitu, posisi pemimpin ini ditentukan berdasarkan garis keturunan keluarga perempuan, yaitu lewat ibu dan kakak perempuan si laki-laki.

4. Bribri

Suku pedalaman berjumlah 13.000 jiwa yang tinggal di Kosta Rika ini dibagi jadi beberapa klan. Setiap klan terdiri dari keluarga besar yang ditentukan dari garis keturunan perempuannya. Selain diberikan hak waris tanah dan segala kewenangan lainnya, perempuan juga punya hak untuk menyiapkan daun kokoa dalam upacara-upacara suci suku ini.

5. Minangkabau

Suku Minangkabau adalah suku matriarki terbesar di dunia. Seperti yang kita bersama, suku ini sangat menganggap penting peran perempuan. Di beberapa daerah di Sumatera Barat, masih berlaku kebiasaan perempuan “membeli” calon pengantin pria yang harganya bisa bervariasi tergantung latar belakang pendidikannya. Untuk setiap perempuan yang menikah, mereka punya rumah untuk tidur sendiri-sendiri. Untuk laki-laki yang sudah menikah, setelah tidur bersama istrinya di malam hari, mereka harus bangun pagi untuk membuat sarapan di rumah ibunya. Selain itu, meskipun ketua klan seringkali adalah laki-laki, yang memilih dan yang mencopot sang ketua tetaplah para perempuan di dalam klan itu. Meski seiring berjalannya zaman budaya ini sudah mulai menghilang.

Jadi jika pada hari ini budaya patriarki selalu digaungkan sebagai budaya diskriminasi terhadap perempuan lantas apa bedanya dengan budaya matriaki ini. Keduanya punya cara pandang sama. Matriarki hadir sebagai perlawanan patriarki. Salah satu yang menjadi alasan budaya patriarki masih membudaya hari ini karena apek dominasi, budaya matriarki semakin hari telah terhapuskan, namun tidak dengan patriarki.

Hadirnya konsep keadilan gender pada hari ini yang telah dikaji dalam persepektif agama, dan sosial-budaya menjadi alternatif hidup seimbang laki-laki dan perempuan. Dalam tatanan masyarakat global sampai pada tatanan masyarakat lokal sudah menerapkan kondisi hidup seimbang dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Tidak ada lagi deskriminisasi dan istilah subordinasi bagi perempuan, karena perempuan telah punya tempat yang sama di masyarakat sekarang. Perjuangan gerakan perempuan pada ranah ini telah usai, namun ada masalah lain atas diterimanya persamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan ini yang tetap di kawal oleh para aktifis gerakan perempuan. Seperti misalnya pada kebijakan ketenagakerjaan, buruh perempuan tetap harus memiliki hak katas kodratnya karena bekerja bukan hanya tentang aspek individu tetapi berhubungan dengan sosial kemasyarakatan.

Kesimpulannya tetap pada aspek keseimbangan. Laki-laki dan perempuan berbeda dari segi penciptaan, berbeda dalam pandangan agama (dalam hubungan keluarga), namun punya hak yang sama dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi bukan hanya budaya matriarki dan patriarki yang mulai hilang namun juga budaya-budaya lainnya. Sebagai seorang yang memahami kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi haruslah tetap merawat kearifan lokal yang masih relevan dengan kondisi zaman, seperti budaya “siri naa pacce” masyarakat bugis Makassar yang tetap harus dirawat sebagai panduan etika masyarakat.

27 April 2019

*) Penulis adalah Ketua Bidang Immawati DPD IMM Sulsel periode 2018 – 2020

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT