Penulis : Raihan, S. S. M. Hum*
Corona Virus Disease 2019 atau yang disingkat Covid-19 merebak seluruh dunia. Virus yang bermula dari Wuhan ibukota Provinsi Hubei China itu sudah menginveksi banyak negara dengan jumlah orang yang terinfeksi 3,22 juta orang, dengan kematian mencapai 19, 228.215 Orang. Tingginya angka kematian membuat semua orang panik tidak terkecuali umat Islam.
Sebagai musibah yang sudah mengglobal, Covid-19 menerjang kehidupan umat manusia dari level internasional, hingga individu dan rumah tangga. Siapa saja dapat terinfeksi oleh virus ini, tanpa memandang agama, negara, suku ataupun strata sosial lainnya. Baik yang kaya maupun yang miskin semua dapat terinfeksi Covid-19. Karena itu ia menjadi musuh bersama umat manusia, dan salah satu cara melawannya ialah memutus mata rantai penyebarannya dengan menjaga jarak atau dalam istilahnya Physical distancing.
Karakter Covid-19 yang menyebar sangat mudah di keramaian dengan sifatnya yang agak sulit diketahui gejalanya atau orang yang terpapar sulit untuk dikenali dari penglihatan mata dapat menjadi dengan mudah tersebar pada umat Islam dan masjid. Sebab Masjid adalah tempat berkumpul umat Islam dalam menjalankan ibadah dan silaturrahim, pengajian, sholat berjamaah, sholat jumat, sholat Ied, buka puasa bersama dan sebagainya. Karenanya, umat Islam Covid-19 dapat dengan mudah menulari umat Islam. Tidak hanya umat Islam, umat beragama lain pun demikian.
Untuk menghindari bahaya bagi umat Islam itu, maka pemerintah dan majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan himbauan agar masyarakat mantaati himbauan jaga jarak dari pemerintah dan MUI. Jaga jarak itu, bagi umat Islam adalah dengan tidak mengadakan sholat jumat, sholat berjamaah, buka puasa bersama, sholat Ied dan kegiatan keagamaan lainnya yang mengumpulkan orang banyak.
Tidak hanya negara Indonesia yang melakukan pembatasan terhadap akses ibadah akibat covid-19 ini, Negara-negara Islam seperti Arab Saudi atau umumnya di Timur Tengah menghadapi wabah ini dengan cara yang sama. Kerajaan Arab Saudi memberlakukan Lockdown dan menutup semua akses termasuk ibadah Umrah… Masjidil Haram yang menjadi pusat ibadah kaum muslimin dan tempat suci umat Islam lainnya seperti Masjid Nabawi ditutup akibat Wabah ini.
Di Mesir, Al-Azhar dan Lembaga Fatwa Mesir (Dar Isfta’ al-Mishriyyah) juga mengeluarkan Fatwa atau semacamnya untuk memberikan pemahaman dan penyadaran kepada publik. Salah satu yang menjadi perhatian ulama adalah soal beribadah di rumah. Bahkan Kementrian Wakaf Mesir mengeluarkan maklumat untuk menutup masjid selama Pendemi Covid-19.
Tindakan tersebut dilakukan untuk menghindari bahaya bagi kehidupan umat Islam. Karena tujuan beragama atau Maqashid al-Syari’ah, menegaskan bahwa semua aktivitas ibadah tanpa terkecuali dilaksanakan dalam rangka menjaga agama, akal, diri, keturunan dan Harta. Dalam Al-Quran Allah Berfirman: “Dan Janganlah kamu menjerumuskan dirimu dalam bahaya” (Q.S. Al-Baqarah: 195)
Karena itu apabila ada persoalan yang menggangu aktivitas tersebut, mestinya harus dihindari. Menghindari bahaya lebih diprioritaskan daripada mencari maslahat. Ulama menegaskan “La dasar wa la dhirar” bahwa ibadah tidak boleh berbahaya bagi dirinya atau bagi orang lain. Demikianlah ulama memberikan pandangannya kepada umat Islam dalam menghadapi wabah ini.
Islam Menghadapi Wabah.
Wabah yang dihadapi dunia Islam tidak terjadi hanya kali ini saja. Berulang kali terjadi dan itu tercatat dalam sejarah Islam. Salah satunya pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Ketika hendak memasuki Wilayah Syam, Amirul Mukminin Umar Ra, disambut oleh Abu Ubaidillah bin Jarrah ketika itu Gubernur Syam di perbatasan Syam, kemudian menyampaikan bahwa di dalam negeri tersebut ada wabah Tha’un yang sedang menimpa wilayah kekuasaannya.
Umar ra tidak langsung memutuskan untuk tetap masuk atau meninggalkan wilayah itu. Terjadi Musyawarah untuk memutuskan apakah perjalanan dilanjutkan atau tidak. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Amirul Mukminin memutuskan untuk tidak memasuki Syam. Keputusan untuk tidak memasuki wilayah Syam setelah Abdurrahman bin Auf, menyampaikan sabda Rasulullah SAW: “Jika Kalian mendengar wabah melanda suatu Negeri, maka jangan Kalian memasukinya, dan Jika Kalian berada di daerah itu, jangan kalian keluar untuk lari darinya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad dalam Musnadnya pernah mencatat beberapa sahabat yang wafat karena wabah. Diantaranya Mu’adz bin Jabal dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dalam beberapa Buku disebutkan bahwa Mu’adz menyerukan untuk tetap tinggal di rumah dan beribadah di rumah Masing-masing. Seruan itu dalam istilah sekarang adalah physical distancing, sebagai ikhtiar untuk mencegah penyebaran wabah, sehingga tidak menelan banyak korban.
Dalam catatan Ibnu Hajar dalam Kitab Inba’ Al-Ghumr bin Abna al-‘Umr mencatat Peristiwa wabah mematikan di Mekkah, termasuk Masjidil Haram. Peristiwa tersebut yang membuat orang terpaksa mengambil keputusan untuk tidak melaksanakan shalat di Masjidil Haram. Demikian umat Islam menghadapi wabah.
Dalam sejarah Masjidil Haram pernah ditutup pada 827 H akibat Wabah yang melanda Makkah yang menelan korban sebanyak 1.700. Ibn Hajar al-Asqalani juga mencatat peristiwa merebaknya wabah Tha’un di Damaskus pada 749 H. Kemudian beliau mengkritisi praktik warga dan pemuka masyarakat yang berkumpul untuk melaksanakan doa bersama, karena justeru itu yang terjangkit wabah Tha’un pun meningkat tajam setelah doa bersama tersebut.
Dengan menghentikan aktivitas sholat berjamaah dan sholat jumat serta aktivitas lainnya di Masjid untuk sementara agar memutus rantai penyebaran wabah merupakan anjuran Rasulullah SAW. Rasulullah bersabda, “janganlah yang sakit bercampur baur dengan yang sehat” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan sifat penyakit yang sulit diketahui gejala dan karakternya seperti Covid-19, tidak menutup kemungkinan orang yang terdampak virus ikut berbaur dengan jamaah yang lainnya tanpa mengetahui bahwa dirinya terinfeksi Covid-19. Dengan demikian penyebaran virusnya akan semakin cepat.
Sikap Umat Islam Indonesia.
Sebagai warga negara dan umat Islam wajib bagi kita untuk mentaati perintah ulama dan pemerintah dalam mengatasi wabah mematikan ini, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kebijakan pemerintah yang mementingkan maslahat wajib didengarkan. Anjuran dari Ulama juga wajib kita dengarkan. Ketaatan kita pada dua institusi ini sejalan dengan al-Quran Surah An-Nisa’ : 59.
Maka perlu kerjasama antara seluruh elemen, mulai dari masyarakat umum dan pemerintah serta Ulama harus kompak dalam menghadapi wabah ini. Dengan berbagai pertimbangan medis dan berbagai pertimbangan yang bersifat keselamatan bersama, pemerintah tentu punya keputusan tersendiri dalam menghadapi wabah ini.
Begitupun dengan para ulama yang telah memberikan anjuran untuk menghindari sholat berjamaah di Masjid disaat wabah ini. Tentu keselamatan umat menjadi penting dalam ijtihad para ulama tersebut.
Sudah 6 Jumat umat Islam Indonesia, yang daerahnya berdampak Covid-19 tidak melaksanakan sholat jumat. Sholat berjamaah juga sudah ditiadakan untuk sementara. Tidak ada lain, yaitu menyelamatkan jiwa umat Islam dari ancaman wabah ini.
Tentu pertimbangan keagamaan MUI lebih menyeluruh ketimbang pandangan yang dimiliki umat Islam. Ulama menjadi sangat penting dalam memberikan pencerahan umat dalam menghadapi wabah. Demikian cara Islam untuk menghindari wabah, sehingga kita selamat dari wabah mematikan ini.
Wallahualam bis shawab.
*) Penulis adalah Dosen di Universitas Muhammadiyah Mataram, Fakultas Agama Islam. Jurusan PBA dan koordinator Bahasa pondok lenterahati LHIBS Mataram