Beranda Mimbar Ide Kembali ke Founding Fathers, Kembali ke Ekonomi Kerakyatan yang Berkeadilan

Kembali ke Founding Fathers, Kembali ke Ekonomi Kerakyatan yang Berkeadilan

0
Syahganda Nainggolan

Oleh : Syahganda Nainggolan*

“Barusan ikut seminar the Next Economy by Inst for Ecology and Civilization (Stewart Wallis, David Korten, Gunna Jung, Kate Raworth dan Mar Jorie Kelly) mendiskusikan opportunity memaksakan perubahan sistem ekonomi yang bias market ala adam smith. Menurut Wallis, ekonom Inggris, harusnya krisis 2008 ada kesempatan. Sayang hilang. Nah, menurutnya, semua ini tergantung seberapa besar organisasi2 rakyat di dunia menuntut perubahan.

Tesis mereka sistem ekonomi harus berpusat pada people, community based planing dan well being approach.

Nah, saya sebenarnya berpikir tentang 3G. GOD, GREEN dan GOOD PEOPLE. Adam Smith, Karl Marx dan Keynes tetaplah pemikir besar ekonomi yang bias pada dominasi manusia. The Age of Anthropocena. Manusia mendominasi manusia dan alam. Dengan 3 G approach, manusia harus membuat keseimbangan dengan alam dan aturan pemilik alam (God Almighty).

Jika kita bisa punya konsep beyond UMKM or ekonomi kerakyatan, bagus sekali untuk dikembangkan dalam sebuah konsep.” -Syahganda Nainggolan.

Kapan Rakyat Sadar? Atau Sudah Terlambat Ketika Negara Sudah Hancur Berkeping-keling Seperti Uni Soviet – Yugoslavia

Rakyat mesti mengorganisir diri ‘gugur gunung – gotong royong – egaliter’, sesuatu yang oleh Bung Hatta terus diperjuangkan bahkan ide-nya diberangus Orde Baru di saat dia hidup.

Berlaku “Homo homini lupus” yang bertolak belakang dengan azas pendirian negara, dengan makhluk Leviatan (elit-elit oligarkis yang menjadi proksi kaum Nekolim – Neo Kolonialism Imperialism/ Bung Karno atau Sistem Kekaisaran Korporatokrasi Global – Lokal/ Amien Rais).

Rhoma Irama dengan lagu dangdutnya yang fenomenal sejak akhir tahun 1970-an telah menulis sejak Orde Baru: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

Gimana caranya wong negara tidak hadir, hak-hak kewargaan rakyat diabaikan & demokrasi prosedural-representatif yang justru ‘menindas – menjajah daulat rakyat’ oleh segelintir kecil orang (oligark & pemilik modal/kapitalis sejak Orde Baru Global & Lokal).

Mereka membeli hukum yang mandul (tajam ke bawah tumpul ke atas) dan elit-elit politisi dengan harga yang amat sangat murah, serta aparat birokrat dengan ‘ekonomi rente’. Herannya lagi pada anak-anak bangsa ini yang 90%-nya tak menikmati kue kemerdekaan/ Prof Yowono Sudarsono (miskin pendapatannya tak cukup untuk memenuhi standar kehidupan layak hidupnya / citizenship rights). Sebagai ‘kaum tertindas’ rakyat tak menyadarinya bahkan dari sejak Orde Baru diperlakukan sebagai Klien-Kawulo yang harus nurut patuh oleh sang gusti/ patron tunggal yang memerintah dengan otoriternya (Eef Saifullah Fatah, 1988). Sekarang justru lebih parah karena kaum Nekolim begitu nyata.

Para elit-elit oligarkis & kaum nekolim ini yang nabung uangnya di luar negeri dengan “tanpa nurani & jiwa nasionalisme” 20.000T lebih, 2,3% menguasai 80% ekonomi nasional (KH Hasyim Muzadi), menguasai tanah-hutan 60% lebih (melalui pribadi/korporasi), 50 orang terkaya = 80% orang Indonesia seputar 235 juta lebih (Soegen Sarjadi Sind), membeli politikus dengan 1 partai 1T (Bambang Soesatyo), membeli hukum, mendangkalkan ‘pendidikan & agama yang tak transformatif’, mendangkalkan jiwa kebangsaan tanpa budaya nasional (utama character building/ modal sosial yang melimpah dari agama), membuat masyarakat tak berkembang dengan ‘sosiologi – ilmu kemasyarakatannya’ karena sejak Orde Baru diganti dengan Pembangunanisme (Budayawan Wiratmo Soekito), juga ekonomi kerakyatan yang berkeadilan ‘dibunuh’, dengan dasar negara nilai-nilai universal Pancasila dibaikan-dikhianati-diingkari oleh anak-anak bangsa ini tanpa eling-kesadaran penuh (Anhar Gonggong, Sujiwo Tejo, KH Hasyim Muzadi, Letjen Sayidiman Suryohadiprojo, Prof Salim Said dkk) dst-dst.

Gila kita memang gila, kita masuk Jaman Edan yang tak edan tak kebagian, tapi masih lebih baik orang yang eling (berkesadaran penuh) lan waspodo (berhati-hati) walau hidup pas-pasan.

*) Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT