Oleh: Ermansyah R. Hindi*
Sejauh ini, hasrat diperhadap-hadapkan dengan ego cogito. Birahi menantang logos. Esensi tidak diberikan secara percuma dari ‘mekanisme penerimaan dan penolakan’. Agar hasrat, kesenangan dan proposisi berubah menjadi suatu pernyataan langsung, maka sesuatu yang lahiriah dibentuk oleh jalinan relasi antara libido dan modal, kalimat dan logika, lukisan dan teks. Definisi hasrat (cupiditas) dan kesenangan (laetitia) telah dijelaskan dalam teks Spinoza Ethics. Hasrat menurut Spinoza merupakan esensi manusia dan kesenangan adalah peralihan manusia dari hal yang kecil ke kesempurnaan yang lebih besar (Ethics, 1959, hlm. 128). Tentu saja, definisi tersebut sekedar dikutip dari salah satu dari sekian banyak apa yang dimaksud dengan hasrat dan kesenangan dari filsuf besar lainnya.
Sejak obyek hasrat memiliki rangkaian tuntutan yang mendasar untuk memilih apa-apa yang dapat dialiri dengan kesenangan, relasi logika dan kalimat, libido dan kata-kata tidak lagi bertitik tolak dari penampakan yang eksklusif, melainkan pergerakannya melalui diskursus teoritis, yang dipilih melalui diskursus ilmu pengetahuan dan kesenangan terhadap tulisan yang tidak berada di dalam arus hasrat, tetapi, di taraf relasi, seperti ilmu kimia dan parfum (teori dan konsumerisme). Dari sudut pandang ini, kita akan melihat perubahan tidak datang dari cerita-cerita yang hanya sisi terucapkan, tetapi, permainan bertopeng. Obyek menyerap tiruan mengikuti produksi melalui arus-arus permulaan dimana ia pertama kali dibentuk.
Bandingkan, situasi sekarang yang terkait dengan pergerakan arus hasrat dari ketidakhadiran cara berpikir logis formal, mirip serdadu bergerak secara teratur dan linear, dibandingkan dengan figur moneteris yang terbentuk meletakkan seluruh kurva di titik puncak menyertakan diskursus keuangan ke pernyataan-pernyataan telah diverifikasi tiba-tiba menuntut tapal batas nilai ilmiah, arus dimana proposisi-proposisi dibangun. Tatkala sampai saatnya kelak, jejak-jejak tanpa tubuh lahiriah akan melibatkan tapal batas pertukaran nilai, yakni nilai tanda menjadi nilai nyata berada dalam ketidakseimbangan dan ketidaksimetrisan. Dalam hal ini, kelengahan tidak berarti nilainya sama dengan ketidakseimbangan, tetapi, kekosongan yang tidak terkatakan. Rezim dalam rezim. Wilayah pembentukan diskursus teoritis tentang hasrat dan kesenangan dari sudut pandang yang lain. Dalam persfektif Deleuzean, hasrat sebagai energi dihubungkan dengan aksioma kuantitas yang abstrak bernama modal-uang terjalin relasi saling mengisi antara individu dan sosial dalam rezim tanda.
Betapa ilmu pengetahuan tidak menuntut kelegitimasian atau keotoritasannya, tetapi, makna perbedaan dan ketidaksemitrisan sesuatu banyak ditemukan dalam diskursus teoritis. Sebaliknya, seringkali kita lebih melihat benda-benda diantara jejak-jejak permainan menjadi pertukaran tanda, padahal, kesenangan tidak dilibatkan secara otonom, arus kehidupan keluar dari tapal batas-tapal batas penantian panjang bagi definisi atau proposisi baru muncul diantara susunan-susunan lama yang tidak terpecahkan. Menyangkut nilai ilmiah tidak dipertaruhkan di hadailmu pengetahuan dan filsafat berada di tempat yang sama dalam ragam perbedaan sejauh perubahan terus menerus memiliki korelasi dengan kekuatan ganjil yang berada dibelakangnya atau barisan kritis yang menyokongnya. Di sini, kekuatan ganjil dimaksud adalah suatu keadaan khas yang terbentuk jauh sebelum posisi depan dan belakang dinyatakan dengan teks dan simbol. Mustahil muncul pergerakan kode-kode di balik pertukaran, tanpa dimuati arus teks atau simbol, apapun kegigihan proposisi untuk mempertahankan alasan-alasan secara ilmiah dan non ilmiah, ia akan menemukan arus-arus lain di luar dirinya hingga tapal batas ilmiah. Dalam hal ini, segala sesuatu yang tidak diketahui dalam kehidupan, disitu pulalah teks-teks akan mengatur dan menuntut kita lebih terbawa arus yang semestinya kitalah yang menciptakan arus kehidupan, bukan teks ilmiah di setiap saat akan menyerang balik dari kebenaran-kebenaran yang diboncengkan dengan hasrat atau tubuh. Ketidaksadaran, keindahan, penjelajahan, dan (de)teritorialitas masih penting untuk diperbincangkan sepanjang mereka dikaitkan dengan pembentukan relasi-relasi. Dari tapal batas-tapal batas perbedaan dijelajahi agar pembentukan arus-arus membatasi halangan dapat diuraikan oleh pengetahuan. Tidak penting juga untuk dibicarakan tapal batas keilmiahan sepanjang masa-masa pembentukan arus-arus yang ditantang oleh permulaan teori yang hanya berpijak pada satu susunan dalam ketidakseimbangan. Setiap pembentukan relasi-relasi yang disusun, disebar dan dinilai menjadi teks-teks ilmu pengetahuan terpilah dalam bidang-bidang disiplin paling diminati individu sebagai kesenangan yang diperjuangkan dan tidak terpusat diantara ketidaktuntasan dari pembacaan, dari jejak-jejak kekosongan berada dalam apa yang dibicarakan dan apa yang ada di dalam penampakan disebut diferensiator. Esensi perbedaan tidak menerima rujukan pada selain dirinya, berarti ia bukanlah penyebab dari seluruh rangkaian dan peristiwa ilmiah dan filosofis. Di dalamnya telah ada a priori matematika sebelum kemunculan aktor-aktor yang membaca dan mementaskan apa yang terdapat dalam naskah, arsip atau teks tertulis. Konseptor, penulis atau pengarang adalah ‘diferensiator’ yang menggabungkan keadaan konseptual dan keadaan faktual, diskursus teoritis dan diskursus praktis dalam ragam adegan yang mencakrawala dan melintang dalam ruang dan waktu. Dalam kesenangan yang dipandang dunia secara keseluruhan, bukanlah polarisasi yang serta merta dapat dimasukkan dalam diferensiatologi. Ia bukanlah siklus hidup dan rantai keremeh-temehan yang dimanfaatkan, tatkala kekosongan dari cara berpikir secepat ia pergi, sebagaimana teks tertulis yang tidak menarik isinya dibaca. Sehingga akibatnya, ia begitu mudah direnggut oleh bukan kemalasan pembaca, sekalipun terdapat ruang yang mendukungnya untuk tetap melengkapinya, tetapi ketidaktuntasan relasi antara cogito-kegilaan dan ingatan-jejak menjadi bentuk pembacaan kembali atas kekosongan arus yang berulang-ulang. Diferensiatologi selalu berkaitan dengan seluruh arus yang kita ketahui berada di bawah arus permukaan. Setiap penampakan arus untuk mengatasi hal-hal yang hanya mampu diucapkan tidak lebih dari tubuh seksual menyeruak ke bagian permukaan. Hasratlah dapat terjerumus ke nasib kedalaman. Untuk kepentingan siapa, sehingga pemikiran belum menerobos rahasia besar tentang kematian, seiring teka-teki permainan dimasukkan sebagai perubahan menuju titik akhir diskursus teoritis. Segala sesuatunya yang tidak dapat dipikirkan, berarti kesenangan keluar dari kedalaman sebagai batas hasrat dan arus-arusnya. Batas alam datang dari arus ini, karena takhyul muncul di tempat lain.
Ada pula, pernyataan seseorang dinyatakan tidak gila lagi justeru menemukan dirinya dalam titik akhir dari kesenangan. Setiap kali ilusi, citra dan simulasi di sekitar kita datang membawa korban, disanalah kesenangan terjatuh dalam “kesenangan radikal”. Peristiwa ironi kesenangan terjatuh dalam keimanenan. Demi mekanisme pembentukan wilayah permukaan lebih nyata, arus hasrat dan kesenangan yang imanen keluar dari kedalaman yang kosong hanya melalui tubuh dan diantara benda-benda melebihi permukaan itu sendiri.
Hasrat diikuti kesenangan pada yang nyata melalui permukaan tubuh; sepasang mata dengan tatapan tajam menjadi arus di atas permukaan diantara benda-benda, suatu permukaan yang tidak ditolak melalui ingatan dan kata-kata. Pergerakan rangsangan permukaan tubuh yang melingkar hanya perkara relasi antara hasrat dan kesenangan bergerak secara mekanis dari tatanan organik ke tatanan mesin. Katakanlah, rangkaian teks Foucault, Lyotard, Derrida, Deleuze, dan Guattari memilikii pemikiran tentang bio-mesin, yaitu hasrat, ingatan, mimpi, fantasi, modal, dan citra. Selain relasi pengetahuan, kesenangan dan hasrat nampak tidak mudah bebas dari oposisi duaan, seperti bagaimana ‘permukaan’ dan ‘kedalaman’, ‘tinggi’ dan ‘rendah’, ‘pinggiran’ dan ‘pusat’, dimana ada wujud dan keluar dari tempat yang berbeda. Segalanya adalah kesenangan pada yang nyata. Kesenangan yang menandai dirinya sendiri memberikan suara pada rangkaian kata-kata dalam kesatuan energi kosmik ‘Bumi’, ‘Ayah’-‘Ibu’-‘Anak’, dimana kekuatan yang lahir melalui usaha kehidupan yang tidak berakhir datang dari mereka.
Disamping mata menjadi satu hal yang dapat memunculkan imajinasi, bukan sebagai tanda menjadi kegemaran diri (akolasia), karena seseorang telah mencapai tingkat kesenangan meraba, mengelus, dan merayu dengan dilintasinya suatu obyek hasrat melalui tubuh.
Ada banyak alasan, mengapa relasi-relasi semakin mendekat pada kata-kata yang tidak bisa diisi dan diawali dengan kepenuhan materi. Apa yang dikatakan di sini, tubuh, ingatan dan hasrat menjadi sesuatu yang tidak dinamakan atas dirinya, kecuali mulai merangsang ketidakhadiran yang menyolok. Ketidakhadiran (re)produksi mimpi: hasrat-modal-sutradara-aktor (dimiripkan sang subyek), media-layar-pertukaran-teks-tontonan (dimiripkan sang obyek). Titik pergerakan tanda, yaitu tubuh ditambahkan dengan arus produksi hasrat dan arus modal. Dimanakah pikiran kita? Tetapi, hasrat individual keluar dari dirinya sebagai cara untuk memasuki kegilaan dalam bentuk lain. “Kegilaan tidak dapat diterima bagi subyek yang sangsi”, kata Derrida (Writing and Difference, 2001, hlm. 56).
Sejak rayuan, kesenangan terhadap musik berkenaan dengan momentum kehidupan benar-benar diarahkan pada relasi-relasi yang memungkinkan terbentuknya sumber-sumber penandaan, diantaranya analisis tentang musik dari Marcel Proust, Roland Barthes, Nietzsche, dan Derrida. Dari sini, serangkaian relasi logis-numerik: “volume” dan “durasi”; relasi tanda: “akustik”; relasi penanda: “citra visibel”; relasi retorika: “suara”, relasi analogis: “teater”, “aktor”, “komposer” dan sebagainya terbentuk.
Mereka membawa ke puncak kejayaan musik, bukan hanya telaah buku-kotak musik, tetapi juga dari pembentukan relasi-relasi. Lupakanlah penderitaan! Bernyanyilah! Melalui teks musik, satu waktu, ia menjadi buku kuno, tanpa pesan atau kata akhir, dan di waktu lain menjadi garis-garis permukaan melalui pembacaan atas topeng yang tidak memiliki titik celah.
Kita tidak diganggu oleh perangkap ganda: tuturan dan tulisan, Perangkap dalam perangkap dari benda-benda yang dipantulkan oleh pikiran, bukan materi jejak. Setiap bacaan kita atas teks atau tanda-tanda lain selalu menunjukkan materi jejak. Materialisasi ketidaksadaran tidak berada di luar pikiran, tetapi dalam tanda yang tercelup. Tanda ini bukanlah gambar-suara tertulis biasa, tetapi, “sang penghimpun” jejak-jejak.
Apa yang terjadi dari akhir konsumsi melalui kekerasan kode, yaitu tanda hasrat yang kabur, bukan dari teks-bacaan asing yang sulit dipahami. Karena kekaburannya, hasrat murni dan hasrat mengambang ditelan oleh hasrat ‘sang Lain’. Seseorang di sekitar kita mengatakan: “hasrat ‘sang Lain’ merasukiku, hasratku yang menggelikan didalam diriku keluar diantara obyek-obyek yang tidak dapat disalurkan”. Hasrat yang terkekang tidak untuk dihasut karena kekaburan realitasnya sendiri, kecuali disalurkan oleh hasrat seseorang kepada sang lain tidak mudah goyah. Kata lain, perangkap dari nilai tanda yang menggelincirkan orang berhasrat yang terkekang dan gerakannya dibutakan oleh teks tertulis, karena hasrat yang terkekang menetralisirnya. Dapat saja seseorang memilih bacaan yang disenanginya dan memberinya suatu penilaian, bahwa segalanya mudah termakan dengan obyek kesenangan seseorang dalam membaca teks yang dengan cara sembrono menafsirkan apa yang dikandungnya. Tidak ada teks yang sama, kecuali titik kebutaan atas teks, berarti melupakan dirinya sendiri. Justeru, setiap orang yang dengan mudah terperangkap dalam kefatikan buta dengan teks tertulis yang dimilikinya adalah semudah-mudahnya perangkap. Satu perangkap dari kefanatikan buta atas teks (terutama taraf ideologi) yang dimilikinya setelah kita keluar dari permainan Cogito Cartesian tertutup bagi dunia lain. Terhadap kesalahan penafsiran, mungkin hanya satu sisi, tatkala kita melarutkan diri tanpa diagnosis, pengacakan, peretakan dan pembaruan kembali apa-apa yang menjadi bahaya perangkap teks yang kita gumuli secara tidak sadar. Dari kekuatan yang tersisa, mimpi dan halusinasi melebur menjadi suatu permainan nyata seperti rangkaian teks tertulis memiliki agen pertukaran dari nilai simbolik matematika. Sebagai tanda, matematika memiliki relasi-relasi individuall, jika dimaksud sebagai tatanan logika dan kekonsistenan terhadap sesuatu. Misalnya, kesepakatan umum telah ditegakkan, semuanya mesti menjaga secara lebih konsisten. Nota kesepakatan yang memuat teks tertulis menjadi ejakulator. Logika kesepakatan umum menjadi rezim tanda menunjukkan bagaimana cara bermain. Terlepas logika kesepakatan umum mengandung ironi atau bukan, nampak benar-benar bagi kita melihat kerawanan melodrama perjuangan dari novel sejarah budak di bawah arus produksi hasrat tuan.
Kita tidak memulai perbincangan setelah teks dirampungkan hanya dengan mesin kata-kata, tetapi juga mesin ingatan melalui bank kenangan, album foto, kaleidoskop dan arsip film yang tidak melawan relasi antara arus produksi hasrat dan ekonomi, seperti rokok atau busana. Tidak peduli harga dan indeksnya menjadi wilayah permainan dengan kode yang dibentuknya. Telinga-telinga dipasang alat pendengar jauh dari ambang batas teks filsafat, ilmiah-revolusi, peperangan dan penaklukan. Tetapi, kepada sang penemu besar, kukatakan (pengarang) padanya: “Aku ingin menulis tentang kisah getir Anda”. ”Aku tidak memulai kisah Anda dengan masalah bulu kuduk. “Anda ingin mengkonsumsi obat sambil membaca buku”. Segalanya adalah arus hasrat sekaligus kesenangan. Model mekanis menjadi permainan sederhana yang keluar dari kedalaman melalui hasrat, dimana kesenangan mengambil-alih titik celah dalam peristiwa.
Kembali ke tema yang mungkin dilupakan sejenak dalam pergerakan ingatan dan khayalan, yang menerawang kosong setelah tidak ada lagi yang dapat dipertahankan, dari pertukaran tanda hasrat dan kesenangan dalam peristiwa sebagai “jejak-jejak yang terpencar”. Setiap celah kata-telah yang dituliskan yang selanjutnya menjadi bahan pembicaraan tidak akan pernah solid tanpa pergerakan teks yang benar-benar hidup untuk diresapi melalui ‘teks tidak tertulis’, mencakup hal-hal yang kita usahakan dalam kegiatan pengamatan terhadap obyek atau benda-benda, seperti gedung pencakar langit, teknologi, dan sebagainya. Tema kehidupan terus menerus bersama teks tidak tertulis tidak pernah melawan hasrat dan kesenangan, karena teks tidak tertulis merupakan titik temu antara arus hasrat dan kesenangan tidak bergelimang dalam kemubaziran. Teks tidak tertulis menyamarkan meditasi dan kebebasan. Teks tidak tertulis adalah ketidakhadiran bentuk penandaan yang independen. Sementara, taraf yang jelas dan samar dalam teks tertulis bergerak di sekitar kita sebagai kesenangan padanya yang khas. Misalnya, “Seorang filsuf membaca kurs mata uang terdepresiasi di berita utama koran” atau “Dokter membaca teks berjalan sebuah iklan parfum di televisi”. Kedua frasa tersebut bukanlah relasi antara permukaan dan rangsangan, melainkan titik “kebutaan rujukan”. Teks sebagai tubuh menunda rujukan terhadap pembentukan relasi antara istilah dan produksi nampak jejak-jejak lain sebagai mesin ketidaksadaran. Peristiwa kecil dalam rantai teks tidak tertulis menuju korban kesadaran. Kurs mata uang dan iklan parfum bukan lagi bagian dari citra modal atau tanda hasrat. Ketidaksadaran teks muncul di saat tidak ada lagi ‘mesin dalam mesin’: mesin kertas atau tulisan otomatis. ‘Mesin uang’ sebanyak ‘mesin tulisan’. Tidak jauh dari manusia, tulisan yang disusun dan kesenangan apa saja terhadap huruf atau jaringan alfabetik. Huruf-huruf yang tersembunyi apalagi nampak pada mesin uang atau mesin kertas digunakan oleh orang dan saat tulisan otomatis muncul sebagai aparatur kesenangan dalam kehidupan. Hal lain, mesin uang menyatu dalam mesin tulisan juga tidak lebih nyata dari ketidakhadiran perbedaan kesenangan pada yang nyata. Uang sebagai tanda nyata akan berubah menjadi kesenangan pada yang nyata.
Betapa kengerian dinetralisir oleh kesenangan. Tatkala seseorang melepaskan sisi kengerian, citra deus ex machina keluar dari fungsi sebagai sutradara, aktor dan panggung atau pengarang, pembaca dan kertas. Terlalu lambat sesuatu yang tidak tepikirkan menjadi ‘kegilaan’. Kehidupan dimasukkan dalam kolom, paragraf dan fragmen yang tersusun untuk dintimi: “Anda tahu ini adalah produksi citra yang dipasarkan. Kami sedang mengawasi produk terlarang. Demikian juga kami. Terima kasih pada Anda, berkat gerakan Anda, produksi telah merosot. Anda memainkan permainan itu, aku menghentikan kebusukan rencana jahat Anda. Akhirnya, tidak ada pengadilan dan tidak ada hukuman, kecuali hanya daftar tuntutan”.
Sebagaimana kesenangan untuk merenungkan tulisan dari seseorang, suatu tubuh tidak lagi digunakan untuk saluran pemuasan, dari pengakuan ke kesaksian di dalam relasi antara produksi dan teks. Tubuh fisik bukan digunakan untuk menawarkan dan mengendalikan, tetapi sebaliknya digunakan oleh hasrat dan kesenangan, tatkala ada sesuatu yang tidak terpikirkan. Tubuh dapat muncul, tatkala teks ditemukan didalamya. Tetapi, tubuh fisik bukanlah kumpulan teks. Semakin teks dicari di belantara musik atau lukisan, semakin meningkat arus produksi hasrat yang tidak terbendungkan. Segalanya terjadi bukan lantaran penggunaan persepsi atau representasi ingatan. Kita akan kehilangan jejak karena tubuh tidak ditemukan lagi teks yang ada didalamnya. Sejauh orang-orang yang memiliki kesenangan untuk membebaskan dunia dari kecanduan teks tampak cukup dekat dengan hasrat sebagai kuasa yang memprogram dan mengendalikan permainan.
Dalam permulaan kata terakhir di tengah malam dan “dari seluruh kalimat yang muncul, dari terbit sampai tenggelamnya matahari, saya meletakkan reproduksi setelah produksi hasrat untuk mengetahui dan kesenangan menulis bilangan ganjil, dari terminal ke terminal lain”, titik bacaan terhadap tanda yang terang muncul di tengah kata-kata sunyi sekaligus bergelora. Ia bergerak di dalam diri saya dari teks bacaan yang tidak akan selesai untuk ditulis secara tuntas. Segalanya adalah kesenangan abstrak yang mesti dicari jalannya kembali, untuk menemukan sesuatu yang tidak diketahui dari mana memulai menuangkan kata-kata yang tertulis, tatkala perjuangan masih berada di dalam teka-teki mimpi. Tanda mimpi membuat penasaran untuk ditulis titik celah yang belum pernah dibaca. Bacaan berulang-ulang memiliki teka-teki penggodaan yang memproduksi kesenangan untuk berbagi dan hasrat untuk mengetahui. Satu contoh, “Aku menyenangi bacaan yang belum pernah dibaca”. Bentuk kesenangan atau hasrat ini melintasi citra modal atau bahkan glosari dan katalog buku sebagai penjelajahan. Setelah bermain, tubuh tanpa bayangan menjadi kesatuan dalam bahasanya sendiri. Bahasa demi bahasa, rangkaian kalimat atau proposisi umum melalui mesin tulis menunjukkan tidak ada perbedaan bahasa matematika dalam mesin hitung. Mesin yang satu mengganti mesin yang lain.
Teks kesenangan masih perlu ditafsirkan kembali secara luas dan beragam sampai pembaca dan pejuang hiburan dengan permainan yang bergerak dari satu celah ke celah lain. Figur ideal dan citra otoriter berbeda dalam penafsiran tanda kuasa yang disebarkan keduanya lebih meledak melalui hasrat atau kesenangan perang tulisan-media. Kesenangan di malam hari tidak muncul di tempat hiburan dengan penampilan pada kesamaran cahaya dan kerlap-kerlip lampu, kesenangan muncul dari kesenangan itu sendiri. Kesenangan memiliki mekanisme. Sebaliknya, citra artifisial yang dianggap nyatapun tidak dikutuk kesenangan, malahan lebih meluapkannya.
Kesenangan menghitung secara matematis akan digagahi dengan kesenangan menulis secara mekanis, karena keduanya saling memaafkan untuk mengisi celah dirinya, memperingatkan dan membuka dirinya untuk diluapi dengan pengetahuan, khayalan dan hasrat. Tidak ada representasi diantara energi, karena kepluralan dalam ketidakjarakan arus. Kesenangan membaca buku dari seseorang meletakkan dirinya menjadi kuasa untuk memasukkan, menularkan, merapikan, dan menggandakan teks mimpinya sendiri untuk diserap oleh pihak yang menggabungkan dirinya dengan rezim tanda. Bagi pihak yang bersentuhan dalam rezim tanda, kumpulan teks tertulis di dalam program atau dokumen setelah dibaca hingga diperbincangkan secara umum tidak harus ditepati dan dijalankan, tetapi diacak dan didiuji kembali. Setiap sesuatu yang telah dibaca dan diperbincangkan dari teks kuasa, khayalan dan hasrat melucuti dan membelokkan arus produksi gagasan massa menjadi ‘auto-kesenangan’ menjadi mesin kuasa. Disinilah, teks tertulis dilucuti keheterogenan tanda dan relasi dalam setiap produksi massa: gaya, hiburan, hidangan dan teks tertulis menjadi aparatur kegilaan yang mengambang bebas; dari rezim kuasa melalui mekanisme hasrat dan kesenangan sebagai mikrosistem abstrak. Saya melihat, tidak ada representasi teks dan (re)produksi kesenangan, jika rezim tanda hanya menjalin satu relasi dan mendominasi yang lain, karena rezim tanda sendiri berada dalam relasi produksi. Taruhlah satu contoh sederhana, perang tulisan-media. Proposisi dan analisis tentang perang dengan tanda yang dimainkan didalamnya merupakan bagian dari hasrat sekaligus kesenangan. Di sini, auto-kesenangan adalah kekuatan dari sebagian dan keseluruhan dalam kehidupan.
Dalam ketidakhadiran logos dan luapan petanda transendental, perjuangan untuk kesenangan tidak berkaitan dengan penafsiran teks. Perjuangan yang direkam atau diingat melalui teks lagu, pidato, citra virtual dan buku revolusioner yang disenangi mengatasi petanda transendental yang cukup membingungkan. Petanda transendental hanyalah titik kehadiran pusat. Tetapi, permainan naif muncul dari wilayah permainan tanda hasrat untuk menaklukkan kehadiran pusat: subyek atau logos. Suatu strategi pertahanan sedang dijalankan dengan permainan bersama hasrat, titik dimana arus bolak-balik dari kesenangan dibentuk untuk melepaskan dirinya dari penyesalan dan kontemplasi, kebutuhan dan kepuasan diri.
Peristiwa yang melintasi kita diikuti dengan perkembangbiakan citra telah menandai dunia. Perkembangbiakan citra menjadi peristiwa tentang akhir dari ilusi. Kesenangan untuk menonton tidak terelakkan bersamaan munculnya perkembangbiakan citra. Jelas, bahwa tatanan nyata tidak hanya muncul dan pergi bersama kesenangan atas citra sinematografi. Citra dan ilusi lebih mirip dalam kerahasiannya sendiri. Rahasia sinema adalah tetap rahasia dan rahasia citra tetap rahasia citra. Dalam arena citra sinematografis dan jejak-jejak bujuk rayunya non manusia. Intinya, citra sinematografi merupakan bagian dari penyaluran kesenangan.
Apa yang penting kita jelaskan mengenai wujud virtual yang disenangi? Adakah ilusi dalam hiburan malam, minuman keras dan narkotika sama seperti jejak dan pola. Mungkin, kita masih melihat citra sinematografi tidak lebih dari peristiwa tentang tidak terhukumnya pergerakan citra artifisial atau wujud virtual, karena setelah sentuhan wujud aktual, muncullah benturan, yaitu benturan yang kompleks dan teracak. Saat ini, nilai tanda (konsumsi, kemakmuran) menciptakan lebih banyak mimpi dan ilusi tentang kebutuhan, dibandingkan kemampuan kita melakukan sirkulasi hasrat dan kesenangan hingga pelepasan aliran oral-modal melalui (re)produksi libido (status, gaya hidup) yang pada akhirnya tidak mampu menahan beban kepenuhan residu atau ampas. Hasrat dan kesenangan pada yang nyata mestilah diberkahi, yang ditandai dengan hidup lebih bersahaja dalam kehidupan. Setiap tanda hasrat maupun kesenangan pada yang nyata perlu diungkapkan menurut jalan hidup tanpa mubazir, yang diseimbangkan dengan diskursus dalam kehidupan.
*) Penulis adalah Anggota Masyarakat Pos-Filsafat/Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto









































